Friday, April 8, 2011

Menjadi Mr. Fix It yang Andal

http://swa.co.id/2011/03/menjadi-mr-fix-it-yang-andal/


Thursday, March 17th, 2011
oleh : Joko Sugiarsono


Memimpin proses turnaround perusahaan tidak hanya butuh keterampilan manajerial, tetapi juga keterampilan leadershipyang kuat. Apa saja modal yang biasanya paling dibutuhkan?
“Ini hal yang tidak mudah,” begitu yang ada di benak Hery Angligan ketika pada April 2009 Sofyan Djalil, Menneg BUMN kala itu, menempatkannya sebagai komandan baru Inna Hotel Group. Anggapan itu makin kuat begitu ia mengetahui ada sejumlah masalah yang membelit BUMN perhotelan ini dan memberinya kesimpulan harus ada pembenahan total yang serius.
Ya, memimpin perusahaan memang pekerjaan keren. Namun, memimpin proses turnaround atau transformasi perusahaan yang sedang bermasalah adalah sebuah pekerjaan berat (tough job). Keterampilan manajerial saja tidak mencukupi. Dibutuhkan juga keterampilan kepemimpinan (leadership) yang cukup lengkap dan kuat. “Memang tidak setiap orang bisa menjadi Mr. Fix It (yang baik),” kata pakar manajemen Firmanzah, Ph.D.
Itulah yang mungkin juga bisa menjelaskan mengapa dalam kasus pembenahan manajemen dan organisasi tak sedikit orang yang ditunjuk berasal dari luar perusahaan. Pasalnya, selain faktor kepemimpinan dan posisi untuk bisa melihat masalahnya secara lebih jernih, sang tokoh juga harus siap berbenturan dengan pihak-pihak yang menginginkan status quo. “Banyak kepentingan yang masuk dalam hotel kami,” kata Hery mengakui. Di lingkungan BUMN, fenomena ini lebih kentara. “Lingkungan BUMN memang kekurangan orang-orang profesional,” ujar Firmanzah.
Melihat beratnya tugas transformasi perusahaan, ada sejumlah modal kepemimpinan yang mesti dimiliki seorang Mr. Fix It yang baik. Pertama, menurut Firmanzah, harus punya visi-misi yang jelas, hendak dibawa ke mana organisasi yang akan dibenahinya itu. Visi-misi ini yang kemudian mesti dituangkan dalam perencanaan. “Orientasi saya waktu itu hanya satu: bagaimana menjadikan Inna Hotel sebagai tuan rumah di negeri sendiri,” kata Hery yang kemudian menuangkan strateginya dalam sebuah program sistematis. Adapun Melyana Taslim ketika dipercaya membenahi perusahaan emas milik keluarganya, Goldmart, berupaya mewujudkan diferensiasi yang jelas dibandingkan toko-toko emas lainnya, yakni menjadikan gerai Goldmart sebagai gerai toko emasfashionable.
Modal kedua, menurut Firmanzah, adalah kemampuan komunikasi yang baik. Sang tokoh harus mampu menjelaskan mengapa, kapan dan bagaimana organisasi harus diubah. Masalahnya, dalam banyak kasus turnaround perusahaan, sering banyak pihak yang enggan melakukan perubahan. “Saya mendapati orang-orang yang sulit diajak berubah, karena mereka kadung merasa nyaman sebagai pegawai BUMN,” ungkap Hery. Selama enam bulan pertama ia merasa perlu mendatangi satu per satu dari 12 unitnya. “Saya menantang dan mengajak mereka keluar untuk melihat pesaing,” ujarnya. Lintong G. Hutasoit, Ketua Tim Re-engineering PT Aetra Air Jakarta, berangkali lebih beruntung bisa menerapkan proses komunikasi perubahan yang lebih sistematis di perusahaaannya, karena didukung Tim Re-engineering. Ke bawahnya, tim ini masih didukung tim-tim yang beranggotakan para change agent (kalangan karyawan level supervisor).
Modal ketiga adalah kemampuan negosiasi. Ini diperlukan karena biasanya ada hal-hal “pahit” yang harus dijalankan. Melihat jumlah karyawannya terlalu banyak, Hery merasa harus melakukan perampingan (slimming down). Program pensiun dini menjadi salah satu solusinya. Ia pun harus bernegosiasi menciutkan wadah staf legal dari divisi menjadi subdivisi di bawah sekretaris korporat. Adapun Lintong, meskipun tak sampai mem-PHK-kan karyawan, mengaku sempat menurunkan level jabatan beberapa posisi. “Awalnya sulit dikomunikasikan, tapi mereka akhirnya bisa mengerti situasi dan kondisinya,” ujar Direktur Pengelola Aetra ini.
Modal penting lainnya yang terkait dengan kemampuan komunikasi dan negosiasi adalah kemampuan berempati dan akomodatif. “Mr. Fix It memang perlu berempati terhadap kondisi karyawan. Apalagi, jika sebelumnya ia berasal dari luar perusahaan, yang membuat kecenderungan adanya resistensi karyawan,” ujar Firmanzah. Hery menjalaninya dengan melakukan dialog dengan para karyawan di tiap unit. Lintong juga mengaku merangkul semua level dan bagian. “Saya juga sering memberikan personal motivation, bisa dalam bentuk diskusi atau bincang-bincang biasa,” katanya.
Modal selanjutnya adalah keberanian mengambil keputusan atau solusi, meskipun mungkin tidak populer. Penolakan, resistensi, ataupun vested interest sebagian pihak di tubuh perusahaan biasanya akan menjadi perintangnya. Hery mengaku tak segan melakukan pemecatan bila ada karyawan yang kedapatan mencuri barang atau aset perusahaan. Dan, kalau ada isu-isu yang tidak sesuai dan bisa merusak suasana kerja, ia tak berlama-lama untuk meng-counter-nya. Untuk “mengamankan” segala keputusannya, Hery sudah membuat rencana program berikut target dan cara pencapaiannya, agar jelas hitam-putihnya. “Jika saya tak mampu mencapainya, saya siap keluar,” katanya tegas.
Menurut Patricia Susanto, CEO The Jakarta Consulting Group, kadang-kadang Mr. Fix Itmemang harus bertangan besi. “Kalau tidak, mungkin sulit jalan,” ujarnya. Apalagi, masa pembenahan ini biasanya relatif tidak lama. “Situasinya memang sering tidak nyaman. Kadang kita harus memilih, antara ‘menyenangkan’ karyawan atau men-drive bisnis,” ujarnya lagi.
Agar proses turnaround atau transformasi lebih mulus, Patricia menyarankan juga perlunya modal lain berupa tim pendukung yang solid, beranggotakan orang-orang yang piawai dan berdedikasi tinggi, yang mungkin jumlahnya tak banyak. Ia mencontohkan proses kepemimpinan transformasi Emirsyah Sattar di Garuda yang punya tim pendukung yang cukup solid.
Jelas sudah, tak gampang mengomandani proses turnaround/transformasi perusahaan. Sebab, itu lebih merupakan proses kepemimpinan ketimbang proses manajerial semata. Pengalaman yang dituturkan beberapa pelaku berikut ini mungkin bisa memberikan sedikit gambaran.
Ya, tak semua dan sembarang orang bisa jadi Mr. Fix It yang andal. (*)

Lintong G. Hutasoit (Direktur Operasional PT Aetra Air Jakarta):
Gunakan Aneka Cara untuk Ubah Paradigma Karyawan
Ada beberapa fakta yang kami temukan yang membuat kinerja perusahaan ini tidakperfomed. Target-target perusahaan yang disepakati PAM Jaya tidak pernah tercapai, seperti volume penjualan air dan non-revenue water-nya. Padahal, tantangan ke depan makin besar. Waktu itu, kondisi perusahaan tidak performed, karena organisasi saat itu tidak efisien.
Penunjukan saya sebagai Ketua Tim Re-engineering adalah sebuah tugas dan tanggung jawab yang besar. Tidak main-main. Kami diberi waktu sembilan bulan untuk melakukan pembenahan itu. Tahun 2008 kami mulai tancap gas.
Kami mulai membenahi mulai dari siapa yang menggerakkan bisnis ini, yakni faktor manusia atau karyawan. Kami juga melibatkan konsultan untuk bekerja sama dalam membangkitkan kembali bisnisnya, yakni dengan menggandeng Dunamis.
Sebagai penggerak dan yang terjun langsung ke level bawah, kami membentuk dua tim lagi. Yakni, pertama Tim 22 yang terdiri dari supervisor sebagai change agent yang bertugas menegakkan nilai-nilai perubahan sekaligus memberi teladan dalam proses perubahan. Kedua, Tim 33 yang terdiri atas para manajer yang bertugas membuat SOP baru sesuai dengan bidang dan divisi masing-masing. Kami membentuk tim tersebut agar pencapaian re-engineering bisa berjalan sesuai dengan track-nya.
Sebelum melakukan proses ini, kami tentunya melakukan konsolidasi terlebih dulu dengan tim dan jajaran direksi. BoD juga memberikan pengarahannya. Untuk penyampaian ke karyawan, awalnya susah-susah gampang. Banyak orang yang belum siap kami arahkan. Banyak yang marah. Namun, kami jelaskan kepada mereka bahwa manajemen tidak pernah membuat karyawan susah dan tak bermaksud mengurangi hak-hak mereka.
Kami sama sekali tidak mengurangi karyawan. Kami tidak mau timbul konflik baru karena PHK. Kami menganggap karyawan adalah aset kami. Cara menyiasatinya, dengan melakukan rotasi ke beberapa lini atau divisi sesuai dengan kebutuhan dan kompetensi.
Kami menggunakan aneka cara dan strategi agar paradigma karyawan kami bisa berubah. Pertamakami mengirimkan semua karyawan, dari level bawah hingga atas, untuk ikut pelatihan ESQ Ary Ginandjar. Sebanyak 2.500 karyawan kami ubah pola pikirnya. Kesadaran mereka harus terbangun. Religi mereka juga harus terbangun.
Kedua, saya rajin memberikan personal motivation kepada karyawan. Bisa dalam bentuk diskusi ataupun bincang-bincang biasa. Saya cekoki mereka dengan pengetahuan-pengetahuan yang lebih luas lagi. Melalui pelatihan, mereka disadarkan untuk melakukan perubahan.
Ketiga, saya ingin karyawan tahu persis apa visi-misi perusahaan. Bukan hanya sebagai slogan, tetapi menjadi pengingat bahwa kami satu dan ada misi yang kami pikul bersama. Biasanya setiap Senin ada Aetra Morning Meeting. Formatnya seperti upacara bendera, karyawan berbaris, pemimpin divisi mengingatkan visi-misi dan nilai-nilai Aetra. Kami juga punya yel-yel Aetra agar kerja kami lebih semangat. Selain itu, ada Mars Aetra yang terpasang di setiap telepon seluler karyawan. Ini dimaksudkan agar seluruh SDM menghayati dan mengamalkan nilai-nilai Aetra.
Hasilnya, organisasi kami lebih sistematis sekarang. Tidak ada tumpang tindih tanggung jawab. Setiap individu tahu porsi tugas masing-masing. Kami juga punya standar yang sangat jelas untuk menilai kinerja karyawan. Antusiasme karyawan pun semakin tinggi. Karyawan bisa lebih menangani pelanggan. Bukan hanya itu, kebocoran dan pencurian pun perlahan terus berkurang, walaupun hingga saat ini kami masih terus berjuang memerangi pencurian air. (*)
Melyana Taslim (Direktur PT Goldmartindo):
It’s about Service and Human”
Tahun 2003, saya berkesempatan melihat kinerja PT Goldmartindo, perusahaan keluarga kami yang membidangi ritel modern perhiasan emas merek Goldmart dan Primagold. Saya melihat ada yang tak beres. Suasana yang terlalu kekeluargaan membuat manajemen perusahaan kurang efektif dalam mengelola cash flow-nya. Selain itu, pada periode 1995-2002, Goldmartindo rajin berekspansi.
Lalu, pada 2004 perusahaan ini ekspansi gila-gilaan seiring dengan pengembangan yang dilakukan Matahari Dept. Store, tempat di mana Goldmart menjadi mitra penyewa. Selain tidak fokus, ternyata banyak gerai yang minus. Karena ekspansi gila-gilaan, kami panik. Pengembangan gerai yang terus- menerus membuat manajemen tak sempat lagi memberikan pelatihan untuk karyawan.
Saya pun melibatkan diri pada tahun 2005 untuk membantu divisi penjualan. Dengan menggandeng suami saya, Marcus Taslim, yang sebelumnya sudah sukses mengelola bisnis laundry Jeeves, kami membedah Goldmartindo.
Kami menemui banyak ketidakefisienan dalam pengelolaan Goldmartindo. Dari segi citra,misalnya, ternyata selama kurang-lebih 19 tahun citra yang tertanam di benak konsumen bila mendengar Goldmart adalah (penjual) wedding ring.
Maka, sejak 2008 Golmartindo melakukan pembenahan internal dan mengubah citra Goldmart. Mulai dari melatih SDM sampai merombak gerai-gerai kami yang tersebar di 18 kota di Indonesia.
Hasilnya, banyak perubahan yang terjadi dalam tubuh organisasi ritel modern perhiasan emas pertama di Indonesia ini. Terutama, ada diferensiasi yang jelas antara Goldmart dan toko-toko perhiasan lain yang menyasar kelas menengah-atas.
Selain tampilan gerai, perubahan pun terlihat pada pramuniaganya. Mereka ramah, tetapi tidak dibuat-buat. Kami ingin pengunjung yang datang ke tempat kami merasa nyaman.
Kami melakukan turnaround dengan mengelola karyawan. Lewat salah satu usaha kami di bidang seni pertunjukan panggung, Gathaya, kami memberikan pelatihan bagi seluruh karyawan dengan metode seni peran. Dengan cara ini, kami mampu membentuk para karyawan menjadi lebih baik.
Ketika pelatihan, ada yang sampai menangis karena mereka harus mengeluarkan semua unek-unek. Mereka dilatih bagaimana menghadapi klien yang komplain, ketika bertemu pelanggan yang agak aneh, dan sebagainya.
Hal ini berimbas pada penjualan mereka masing-masing. Ada energi positif yang membangkitkan semangat mereka bekerja. Ternyata mereka mampu menaikkan penjualan karena sikap mereka ke pelanggan berubah menjadi lebih baik.
Ya, buat saya, it’s about service and it’s about human.
Selain membenahi internal perusahaan, kami juga mencoba membenahi strategi pemasaran dan komunikasi yang kini lebih banyak melalui event below the line, seperti seminar untuk mengedukasi pasar tentang arti dan fungsi perhiasan secara luas, tentang kehidupan rumah tangga, dan seminar pre-wedding. Kami ingin melakukan komunikasi dua arah dengan pelanggan.
Saya dan suami memiliki kemampuan yang berbeda. Suami saya lebih detail dalam menganalisis persoalan. Sementara saya memiliki sikap yang lebih cepat dan tegas dalam mengambil keputusan. Setiap ada masalah, saya merasa harus cepat diselesaikan saat itu juga. Adapun otoritas pengembangan produk kami berikan kepada mitra kami, Emilia J. Widjaja.
Sekarang kami bangga dengan percepatan pertumbuhan dan pengembangan Goldmartindo. Kami harus menjaga dan meningkatkan kondisi tersebut ke tahap yang lebih baik, bukan dari segi ekspansi bisnisnya saja, tetapi yang lebih penting dari segi kualitas dan kinerja. (*)
Hery Angligan (Presdir PT Hotel Indonesia Natour/Inna Hotel Group):
Berani Bongkar Kejelekan dan Pangkas Sana-Sini
Saya ditunjuk Menneg BUMN Sofyan Djalil untuk mengangani Inna Hotel Group pada April 2009. Saya masih ingat kalimat pertama yang dilontarkan Sofyan: “It’s time for you to serve this country.” Kalimat itu cukup menggugah. Saya menyadari bahwa itu hal yang tidak mudah, tetapi saya percaya diri saja.
Saya sengaja mengalokasikan waktu selama tiga bulan untuk hanya melihat dan mempelajari. Sebetulnya dilihat dari pencapaian target, Inna Hotel selalu mencapai target. Namun, jika dibandingkan dengan hotel-hotel lain yang sekelas, pencapaian Inna Hotel tidak ada apa-apanya. Dari sana saya merumuskan strategi, dalam wujud ProgramQuick Winning: Revolusi Positif PT Hotel Indonesia Natour.
Orientasi saya hanya satu: menjadikan Inna Hotel sebagai tuan rumah di negeri sendiri. Maka, tak ada cara lain, Inna perlu perubahan yang konsisten dan total, mulai dari identitas hingga budaya korporatnya.
Masalahnya, saya menemukan orang-orang yang sulit diajak berubah. Mereka telanjur merasa nyaman sebagai pegawai BUMN. Saya pun melakukan langkah-langkah untuk menjalankan perubahan.
Selama enam bulan pertama, saya mendatangi satu per satu dari 12 unit yang ada. Saya mengajak bicara semuanya, mulai dari manajemen hingga karyawan. Saya bongkar semua, bahwa kondisi perusahaan tidak baik. Lalu, saya meminta mereka menerima kenyataan itu dan mau fight memperbaikinya.
Awalnya, misi saya ditanggapi dengan penolakan. Apalagi, saya dulu bukan orang dalam. Akan tetapi, saya meyakinkan diri bahwa saya datang dengan niat baik, untuk membawa ke arah yang lebih baik.
Perombakan organisasi saya lakukan. Secara bertahap saya mengurangi karyawan, supaya perusahaan bisa lebih kencang berlari dan kesejahteraan karyawan bisa ditingkatkan. Saya berencana melakukan slimming down orang-orang di kantor pusat hingga hanya 25 orang dari awalnya 90 orang.
Saya juga terapkan standar baru dalam melayani para tamu. Untuk itu, kami memberi pelatihan bagi SDM dengan para pelatih yang mumpuni di bidangnya. Saya juga mengajak “bergaul” para petinggi Inna Hotel. Maklum, sebagai hotel bintang lima, reputasi Inna Hotel tidak begitu terdengar.
Saya menekankan hal-hal yang berkaitan dengan kejujuran, seperti kebiasaan mencuri uang atau barang. Kalau ada yang seperti itu, saya tidak segan-segan memecatnya. Saya juga memangkas biaya-biaya perjalanan. Sebelumnya, ada banyak perjalanan dinas tak berencana, tetapi selanjutnya tak ada lagi. Dalam program Quick Winning, pembenahan produk adalah urusan terakhir yang saya lakukan.
Pada waktu pembenahan dilakukan, cukup banyak tanggapan negatif. Tak hanya dari karyawan. Pihak komisaris dan pemegang saham pun ikut kaget. Benturan yang muncul misalnya karena vested interest. Ada banyak kepentingan yang ingin dimasukkan ke dalam manajemen Inna Hotel. Contohnya, ketika saya mengganti pemasok sayuran dan bahan baku makanan lainnya dalam rangka menurunkan biaya operasional 30%, ada seorang pemegang saham yang merasa terusik.
Tidak mudah memang, membawa angin perubahan di perusahaan BUMN. Dalam setiap rapat pagi, begitu ada pendapat tentang suatu hal yang tidak sesuai, saya harus memberanikan diri untuk meng-counter. Jadi, setiap ada potensi gejolak, harus segera bisa diatasi.
Untuk menghadapi resistensi pemegang saham, saya menetapkan target sekaligus cara mencapai target tersebut. Dengan begitu, jelas hitam-putihnya. Jika saya tidak mampu mencapainya, saya siap keluar. Namun kalau saya berhasil mencapai target, tidak ada seorang pun yang bisa ikut campur mengelola manajemen perusahaan ini. (*)
Reportase: Rias Andriati, Ario Fajar, Siti Ruslina

No comments: