Friday, April 8, 2011

Kompas.com: Evaluasi Positioning yang Jitu

http://swa.co.id/2011/03/kompas-com-evaluasi-positioning-yang-jitu/


Thursday, March 17th, 2011
oleh : Taufik Hidayat


Sempat tak bergairah selama lebih dari 5 tahun, Kompas.com bangkit dan langsung tumbuh di atas 50% setelah mentransformasi konten, merek dan strategi bisnis. Bagaimana raksasa media ini bermanufer?
Pada awal 2000-an, nama Kompas.com belum dikenal siapa-siapa. Jangankan menjadi referensi pembaca berita online, diakses pembaca pun hanya segelintir orang. Divisi online koran yang didirikan P.K. Ojong ini seperti mati suri. Kendati telah go online sejak 1999, tidak terlalu akrab di telinga. Kala itu masih menggunakan nama kompascybermedia.com yang bernaung dibawah bendera PT Kompas Cyber Media (KCM) yang dibentuk tahun 1998.
Munculnya KCM malah menimbulkan kekhawatiran di benak punggawaKompas cetak. Mereka khawatir media online-nya akan menganibalisasi versi cetak. Permasalahan ini jamak dialami perusahaan media pada masa itu. Bahkan, stigma ini juga mewabah di kalangan jurnalis. Akibatnya, pasokan berita wartawan cetak ke KCM sangat minim. Arogansi cara pandang bahwa cetaklah yang paling bagus, sementara online kurang bagus mewabah di kalangan wartawan. “Itulah anggapan umum yang terjadi, sehingga kontribusi ke online sangat sedikit,” kata Edi Taslim, GM Bisnis KCM seraya menyebutkan, kala itu belum diwajibkan wartawan cetak memberikan kontribusi ke online.
Akibatnya sangat terasa. KCM berjalan sangat lambat. Ini terlihat dari lalu lintas pembaca yang dalam sebulan hanya mampu meraup 40 juta page view. “Walau demikian, sebenarnya kami tetap profit, karena di online kan selalu tumbuh,” ungkap Edi yang juga menjabat Wakil Direktur Bisnis HarianKompas.
Tahun 2007 dibentuklah tim untuk melakukan reborn, kelahiran kembali KCM. Tim ini dipecah menjadi beberapa komite, seperti komite konten (diketuai Taufik Miharja, kala itu Wapemred Kompas), komite bisnis (diketuai Edi Taslim dari divisi majalah), dan komite TI (diketuai Hardanto). Komite tersebut mencari inti permasalahan kemudian memberikan rekomendasi. “Rekomendasinya berupa perubahan merek, konten dan arah bisnis. Manajemen diganti dengan orang-orang dari komite tersebut,” tambah Edi.
Kompas.com selanjutnya memantapkan diri untuk menjadi yang terdepan dalam adopsi teknologi (web dan mobile apps). Proses kelahiran kembali resmi dilakukan pada Mei 2008. Perubahan yang paling kasatmata dalam hal merek, yaitu dari KompasCyberMedia.com menjadi Kompas.com. Url kompascybermedia tidak digunakan lagi, dan hanya sebagai direct link, semua diarahkan menjadi Kompas.com. “Nama tersebut membantu secarabranding dan marketing. Ada impresi yang sama, satu jalan dengan HarianKompas,” katanya. Nama perusahaan sendiri tidak mengalami perubahan, tetap PT KCM.
Bersamaan dengan itu, Kompas.com mulai diintegrasikan dengan HarianKompas. Kompas.com tidak menjadi sebuah entitas bisnis tersendiri, tetapi punya kaitan yang erat dengan Harian Kompas. Apa yang ada di Kompas Online beritanya ditayangkan di Kompas cetak, setelah ditulis ulang. Tidak itu saja, portal Kompas.com juga memasukkan semua terbitan dalam Grup Kompas seperti TribunNovaKompasBola, dan lainnya. “Kontennya kaya sekali,” katanya. Sebelumnya, Harian Kompas punya tim sendiri dan KCM punya tim sendiri, yang terpisah.
Dari sisi isi juga dilakukan perombakan, utamanya dalam kebijakan editorial, yakni online first dan juga multimedia, multiplatform, multichannel(3M)). Skemanya, berita atau informasi yang harus diketahui publik dalam waktu lima sampai 15 menit, harus online lebih dulu, sehingga bisa disebarluaskan lewat jejaring sosial. Edi menyebutkan, walau butuh kecepatan, Kompas.com tetap mengedepankan akurasi dan kredibel. “Segmen yang penting cepat sudah diambil Detik.com,” katanya. Jadi, tidak terlalu cepat, tetapi akurat dan kredibel.
Edi mengatakan, berita dari Kompas.com juga akan digunakan untuk versi cetak, dengan pendalaman berita lebih dulu tentunya. “Karena kami percaya kedalaman berita tergantung pada mediumnya.” Berita yang cepat hanya bisa di online, TV dan radio.
Strategi online first ini, lanjut Edi, awalnya agak berat, tetapi lama-kelamaan menemukan pola seiring terbentuknya karakter pembaca. “Kalau mau cepat ya online, TV dan radio,” kata dia. Konten Kompas.com tidak hanya foto dan teks, melainkan juga video, animasi dan audio. “Ini yang dinamakan multimedia,” Edi menjelaskan. Berkaitan dengan multichannel tentu saja distribusi melalui Internet, paket provider telko, GPRS dan sebagainya. Untuk multiplatform, Kompas bisa dinikmati di web, BlackBerry, iPhone dan Java.
Kami tidak membedakan wartawan cetak atau online. Kami menyebutnya wartawan multimedia,” kata Edi. Seorang wartawan harus tidak peduli tulisannya akan terbit melalui medium apa. Entah itu iPad, BlackBerry,online, audio video atau cetak. “Tugas wartawan adalah menulis,” katanya. Semua wartawan Kompas bekerja untuk cetak dan online. Jumlah wartawan Kompas di Indonesia ada 700 orang.
Kendati begitu, Edi menyebutkan, Kompas.com tetap memiliki wartawan yang khusus bekerja untuk online, jumlahnya 36 orang, yang terdiri dari 12 wartawan buser, 24 editor yang mana 6 orang merangkap sebagai kepaladesk.
Sinergi antara perubahan merek, kekayaan konten dan strategi iklan yang inovatif membuat Kompas.com mampu turnaround,” cetus Edi. Banyak pula perubahan kebijakan yang dilakukan dalam hal periklanan. Kala itu, komite iklan memutuskan inventori iklan Kompas.com harus sesuai dengan standar internasional. Karena, awalnya di Indonesia semua portal media punya standar sendiri-sendiri, tidak seragam. Padahal ada yang namanya Iab.net (Internet Advertising Bureau). Biro ini mengatur ukuran iklan online. “Jadi klien tidak susah. Mereka hanya perlu bikin satu ukuran iklan untuk memasang iklan di mana-mana. Misalnya Kompas, Facebook dan lainnya,” kata dia.
Tim penjualan juga berubah. Sekarang Kompas.com mulai mencoba menerapkan jenis iklan baru. Jadi, tidak saja banner ads, text ads,melainkan mulai menerapkan rich media ads (iklan dinamis, based overlay). Ini menurutnya memberikan benefit tersendiri bagi pemasang iklan yang tadinya monoton hanya dengan banner ads. Promosi offline dilakukan pula seperti menggandeng komunitas dan road show ke berbagai daerah. Juga, menerapkan diskon yang berbeda bagi agensi periklanan. “Kalau agensi digital, dapat diskon lebih besar. Karena kami yakin mereka bisa memberikan banyak iklan,” katanya.
Dengan berbagai upaya yang dilakukan, lalu lintas Kompas.com melonjak drastis. Versi Google Analytic menyebut ada 19 juta unique visitor, 180 jutapage view/bulan di Kompas.com. Lebih dari itu, Kompas.com bisa membalik kekhawatirannya di masa lalu bahwa online akan “memakan” cetak. Keberadaan Kompas online justru mampu merengkuh segmen pembaca baru. Ambil contoh Kompas e-paper (“replika” Harian Kompas) yang terbit Juli 2008, sekarang sudah ada 285 ribu register member yang 60%-nya bukan pelanggan Harian Kompas! Pada saat yang sama oplah cetak sama sekali tidak turun. “Kami survei, kenapa mereka membaca Kompas e-paper.Jawabnya, karena ada dan karena free.
Alasan menggratiskan layanan e-paper karena pertimbangan penetrasi Internet yang masih kecil, dan budaya membaca masyarakat. “Kalau kamicharge, pasti tidak akan jalan. Kami gratiskan semua hingga mobile apps-nya,” Edi menerangkan. Keputusan ini pula untuk memberikan nilai tambah bagi pengiklan. Karena, satu kali pasang iklan di Kompas cetak, dapat tampil juga di Kompas e-paper tanpa tambahan biaya.
Pakar pemasaran online, Nukman Luthfie, menyebutkan keputusan KCM fokus di bisnis media menjadi salah satu kunci keberhasilan turnaround.Sebab, sebelumnya, KCM dimaksudkan untuk menangani bisnis berbasis TI, khususnya Internet. “Dulunya KCM itu kan bikin website juga, dan lain-lain. Tidak cuma portal berita,” katanya. Nah, keputusan untuk fokus ke portal berita inilah yang membuat Kompas online mampu berkibar. “Barangkali mereka terinspirasi dari Detik yang dulu juga ada Agrakom. Barangkali lho ya,” ujar pendiri Virtual Consulting ini setengah menganalisis.
Keputusan untuk fokus ini lantas dibarengi dengan perubahan konten dan arah bisnis. Nukman melihat Kompas online berani mengambil risiko dengan mengubah gaya bahasa. “Gaya bahasa Kompas.com lebih cair, tidak sepertiKompas cetak,” katanya. Sebelum melakukan perubahan, gaya bahasa Kompas tidak ada perbedaan antara online dengan cetak. “Ini keputusan bagus, karena perilaku pembaca online jelas berbeda dari cetak,” katanya. Artinya, antara online dengan cetak punya kekhasan bahasa masing-masing.
Nukman melihat Kompas benar-benar menyiapkan kelahiran kembali Kompas.com. Dari mulai aktivitas pemasaran hingga repositioning tampilan Kompas.com. “Dulu iklan Kompas.com di Kompas cetak kan gila-gilaan,” katanya. Peluncurannya di Hotel Mulia pun terbilang besar-besaran. “Ibaratnya Kompas.com ini menjadi agregator dari hampir semua konten Grup Kompas. Isinya berubah total, bahkan ada video juga.”
Lebih dari itu, Nukman mengacungi jempol pada adaptasi teknologi yang dilakukan Kompas.com. Dari mulai web sampai iPad. “Dan bagusnya, ada beberapa konten yang tidak tampil di online, tetapi konten itu ditampilkan di iPad. Ini merupakan nilai tambah karena belum dilakukan oleh portal lain,” kata dia.
Edi menyebutkan, Kompas.com memang tidak mau setengah-setengah dalam online. “Waktu mau reborn, kami ingin yang lengkap. Tidak saja portal berita dan entertainment, tetapi portal video streaming juga,” tambahnya. Kompas.com kerja sama dengan Seleb.TV yang lantas lahir Kompas TV. Namun dihentikan pada 2010 awal, karena akan ada Kompas TV yang siaran secara konvensional.
Perubahan tersebut memakan tambahan investasi kira-kira Rp 8 miliar. “Itu sifatnya penambahan tetap saja. Setiap tahun bertambah,” kata Edi tanpa menyebut angka pasti pertambahan investasi tiap tahunnya. Namun, yang pasti dana sebesar ini mampu mendongkrak pendapatan Kompas.com melalui iklan. Dari tahun 2007 ke 2008 tumbuh 76%. Sementara tahun 2008-2009 tumbuh 67%. Dan yang paling akhir, tahun 2009-2010 tumbuh 55%. “Presentasenya memang turun, tetapi nilainya bertambah,” ucap Edi tanpa mau memerinci lebih jauh.
Sigit A. Nugroho dan Taufik Hidayat
Riset: Siti Sumariyati

No comments: