Saturday, November 26, 2011

Ketika Marketing 3.0 Tiba

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2009/08/31/08184027/ketika.marketing.3.0.tiba
Hermawan Kartajaya | Senin, 31 Agustus 2009 | 08:18 WIB




Saat ini kita hidup di dunia yang baru di mana krisis dan chaos menjadi ‘menu makanan’ sehari-hari. Lingkungan bisnis semakin complex, penuh dengan kekacauan.

Di kurun waktu sepuluh tahun terakhir, kita sudah melihat betapa hebatnya badai-badai dan kekacauan yang terjadi di lingkungan bisnis mulai dari krisis ekonomi di Asia, meledaknya balon dot-com, skandal pelaporan keuangan (contoh Enron dan Worldcom), gerakan teroris, gerakan anti-globalisasi, perubahan iklim, krisis energi, krisis pangan, skandal investasi, sampai resesi perekonomian global tahun 2008.

Di tengah berbagai macam badai dan munculnya Scumbag Millionaire mulai dari Jeffrey Skilling (Enron) sampai Bernard Madoff yang telah menghasilkan 50 triliun dollar AS dari investasi berskema Ponzi (atau skema piramid), langkah bisnis perusahaan terus menjadi sorotan publik. Tingkat kepercayaan diri di internal perusahaan terus menurun. Tingkat kepercayaan publik terhadap perusahaan juga terus menurun. Dan celakanya lagi, teknologi new-wave yang memperluas jaringan media informasi, menjadikan dunia semakin transparan, sehingga sudah semakin susah bagi perusahaan untuk memutup aib dirinya.

Publik membutuhkan aktivitas dan proses bisnis yang didasari oleh prinsip dan nilai-nilai yang lebih etis dan fair. Kini tidak cukup lagi bagi perusahaan untuk searching for excellence, karena di tengah perubahan lanskap seperti sekarang yang menjadi keharusan adalah searching for meaning.

Di tengah badai-badai krisis dan jatuhnya reputasi perusahaan, sudah saatnya bagi pemasar adalah meninjau ulang dan menjual nilai-nilai, prinsip, dan karakter yang dimiliki dan dijunjung-tinggi, agar dapat tampil stand-out dan terus berupaya senantiasa meninggalkan warisan bagi masyarakat.

Marketing 3.0

Di era sekarang, pemasaran saat ini tidak hanya diterjemahkan dalam pengertian positioning, diferensiasi dan merek yang dibungkus dalam identitas merek, integritas merek, dan menghasilkan citra merek. Dunia pemasaran perlu menunjukkan nilai-nilai (spiritual) dalam pemasaran.

Nilai-nilai yang ditebarkan itu diyakini tidak hanya mendongkrak profit tetapi juga menjamin kelanggenan dan penguatan karakter brand, sekaligus membentuk diferensiasi yang tidak tertandingi.

Di dalam buku ”Marketing 3.0: Values-Driven Marketing” Philip Kotler dan saya mengatakan, perusahaan seharusnya tidak hanya memasarkan produk dengan manfaat fungsional ataupun manfaat emosional, melainkan harus pula menonjolkan manfaat spiritual.

Pendekatan pemasaran berbasis nilai ini diyakini akan memperoleh hasil yang berbeda. Karena perusahaan atau pemilik merek tidak sekadar memberikan kepuasan atau mengincar profitabilitas, melainkan memiliki compassion, dan keberlanjutan. Model bisnis yang menyeimbangkan pencetakan profit dan tanggung jawab sosial seperti itu sungguh didambakan oleh banyak pemain bisnis.

Kita tahu bahwa, perjalanan waktu telah membuat model pemasaran berubah, dari Marketing 1.0 ke Marketing 2.0 - dari product centric ke customer-centric era. Dan sekarang marketing telah mentransformasi diri ke dalam human-centric era. Itulah yang dikatakan sebagai Marketing 3.0.
   
Perbandingan Antara Marketing 1.0, 2.0, dan 3.0
Marketing 1.0
Product-centric Marketing
Marketing 2.0
Customer-oriented Marketing
Marketing 3.0
Values-driven Marketing
Objektif Perusahaan
Menjual produk
Memuaskan dan membuat konsumen loyal
Membuat dunia yang lebih baik
Pemicu Arus Pergerakan
Industrial Revolution
Teknologi informasi dan komunikasi
Teknologi New Wave
Bagaimana Perusahaan Melihat Konsumen
Mass buyers dengan kebutuhan fisik
Konsumen yang memiliki rasional dan emosional
Konsumen yang secara holistic memiliki mindheart, dan spirit.
Kunci Konsep Pemasaran
Pengembangan produk
Diferensiasi
Nilai-nilai (values)
Panduan Pemasaran Perusahaan
Spesifikasi produk
Positioning perusahaan dan produk
Visi, Misi, dan Values dari Perusahaan
Nilai yang Dijual Perusahaan
Fungsional
Fungsional dan emosional
Fungsional, emosional, dan spiritual, Emotional, and Spiritual
Interaksi Dengan Konsumen
Transaksional yang bersifat top-down (One-to-Many )
Hubungan intimasi yang bersifat one-to-one
Kolaborasi antar jejaring konsumen (many-to-many)
  
Marketing 1.0 mengandalkan rational intelligent: Produk bagus, harga terjangkau. Konsumen memilih produk berdasarkan tinggi-rendahnya harga yang ditawarkan produsen. Pada level ini konsumen sangat mudah berpindah.

Marketing 2.0 berbasiskan emotional intelligent: Sentuhlah hati customer. Meski suatu produk lebih mahal dibanding yang lain, tapi tetap dipilih konsumen, sebab ia sudah memiliki ikatan emosional dengan produknya.

Marketing 3.0 berdasarkan spiritual intelligent: Lakukan semua dengan Nilai-Nilai Universal seperti kasih dan ketulusan maka profit akan datang. Pada tahap ini, merek telah menjadi “reason for being.” Karena merek itu maka si konsumen diakui keberadaannya.

Values-driven marketing adalah model untuk Marketing 3.0, yang melekatkan nilai-nilai pada misi dan visi perusahaan. Gagasan ini akan memperbaiki persepsi publik terhadap marketing dan membimbing perusahaan dan pemasar untuk menginkorporasikan visi yang lebih manusiawi dalam memilih tujuan mereka.

Marketing 3.0 ini akan terlihat dari seberapa dalam hubungan hubungan produsen dengan konsumen atau stakeholder-nya. Wujud spiritualisme adalah bagaimana mencintai jejaring stateholder bisnis kita dengan modal dan menjunjung tinggi kejujuran. Jika sudah sampai tahap spiritual sedemikian itu, hubungan antara perusahaan dengan siapapun yang berkepentingan, apakah itu konsumen, karyawan, supplier, akan langgeng terus.

Marketing 3.0 inilah yang merupakan cikal bakal pemikiran bahwa pada akhirnya marketing menjadi horisontal, di mana sisi humanisme si pemasar membuat pasar menjadi datar. Artinya, tidak ada perbedaan status antara Marketer dan Customer. Marketer dan Customer sama rata. Marketer sudah berbaur dengan Customer-nya.

Thursday, November 24, 2011

Clips on brand

Brand Crisis


Andaikan sekolah atau kuliah,brand crisis atau krisis merek bisa diibaratkan sebagai ujian. Merek dites seberapa mampu mereka menghadapi segala ujian di pasar. Apabila bisa menangani ujian dengan baik, maka merek itu akan tetap hidup, bahkan lebih baik daripada sebelumnya. Sebaliknya, jika tidak bisa menjawab ujian dengan benar—istilah konsumen sekarang—silakan “ke laut aja”.

Tentu saja banyak faktor yang memengaruhi terjadinya krisis merek. Selain kelalaian dari merek itu sendiri, krisis merek biasanya juga disebabkan oleh faktor eksternal. Kelalaian yang disebabkan oleh merek itu, misalnya memasukkan zat tertentu yang tidak direkomendasikan oleh regulator kesehatan ke makanan atau minuman; tidak mencantumkan komposisi secara jujur—yang kemudian diketahui oleh konsumen; atau bisa juga karena faktor lingkungan sekitar—cuaca dan lain-lain.

Ingat akan susu Dancow yang diduga mengandung lemak babi pada tahun 1998? Karena pasar Indonesia mayoritas beragama Islam, maka kandungan lemak babi bisa menjadi krisis serius. Lain halnya jika lemak babi—atau babinya sekali pun—dipasarkan di China, Hong Kong, Korea Selatan, atau negara lain. Kasus dugaan penggunaan zat haram itu juga melanda Ajinomoto tiga tahun kemudian.

Berkat penanganan yang baik, Dancow dan Ajinomoto bisa keluar dari krisis merek dan masih disukai sampai sekarang. Krisis itu sudah dilupakan konsumen. Pasar juga sudah melupakan kasus minuman Mizone, Okky Jelly Drink, dan obat antinyamuk Hit. Lagi-lagi ini berkat kepintaran pemasar mengatasi krisis merek.

Sekarang krisis merek sedang menghantui industri otomotif. Beberapa merek otomotif di dunia sedang berusaha menarik produknya dari peredaran karena terjadi kesalahan pada sistem tertentu. Jika tidak diperbaiki akan membahayakan pengemudi. Ironisnya, kenyataan seperti itu sering kali tidak disadari konsumen, kecuali setelah ada pengumuman resmi dari produsennya.

Krisis begitu dekat dengan merek, dan jelas ini amat tidak disukai. Karena itu, apabila konsumen sampai mengetahui sebuah merek telah mengalami krisis, maka merek tersebut sudah menemui ambang pintu kehancuran. Krisis merek bisa melumpuhkan perusahaan, lalu sakit-sakitan, akhirnya “mati” mengenaskan.

Namun, kematian hanya berlaku jika pemasar tidak memiliki kepekaan terhadap krisis atas merek yang dikembangkannya. Kepekaan terhadap krisis yang baik—dan bisa menjadi contoh—sudah ditunjukkan oleh Garuda Indonesia di saat salah satu armadanya mengalami kecelakaan.

Sebagai contoh, pada 7 Maret 2007 pesawat Garuda Indonesia GA 200 berjenis Boeing 737-400 tiba-tiba mengagetkan pasar penerbangan. Tak disangka, pendaratan pesawat—dari Jakarta—di Bandara Adi Sucipto, Yogyakarta, pagi itu berakhir naas. Malang tak dapat ditolak dan nasi sudah menjadi bubur. Pesawat itu terbakar, meledak, hingga menewaskan puluhan penumpangnya.

Lantas, apa yang dilakukan manajemen Garuda Indonesia ketika itu? Secara sistematis penanganan krisis langsung berjalan. Setiap petugas (dalam penanganan krisis) langsung mengendalikan urusannya tanpa diperintah. Meski demikian, maskapai pelat merah tersebut secara periodik menyiarkan perkembangan atas kecelakaan itu melalui satu pintu.

Hal yang lebih menarik juga ditunjukkan oleh Garuda Indonesia pada kecelakaan sebelumnya. Pada 2002, tiba-tiba dua mesin pesawat Boeing 737-300 jurusan Ampenan-Yogyakarta mati. Berkat kepiawaian sang pilot, pesawat akhirnya berhasil mendarat darurat di Sungai Bengawan Solo, Jawa Tengah. Atas kejadian itu, manajemen langsung menginformasikan kronologinya secara terbuka.

Apa respons pasar? Krisis itu justru berbuah simpati. Garuda Indonesia mendapat pujian dari pasar atas penanganan-penanganan krisis yang cepat dan benar. Jika tidak, mungkin Garuda Indonesia sudah dicap sebagai merek yang buruk dan dihindari. Buktinya, sampai sekarang maskapai penerbangan ini masih menjadi pilihan utama pasar perjalanan udara di Indonesia.

Contoh yang lain sedang diperlihatkan oleh raksasa otomotif, Toyota, saat ini. Tak disangka Toyota Motor Corporation mengumumkan akan menarik kembali (recall) mobil-mobilnya di Amerika Serikat dan Eropa, menyusul ditemukannya masalah pada pedal gas. Tidak jelas berapa juta unit mobil yang akan ditarik dan diperbaiki, tetapi di mata konsumen itu adalah bukti atas janji yang diberikan.

Honda juga melakukan hal yang sama. Februari 2010, Honda menarik lebih dari 437 unit mobilnya dalam berbagai tipe di Amerika Serikat dan Jepang karena mengalami kelainan pada sistem kantung udara (airbags) yang bisa membahayakan penumpang. Kantung udara itu menghasilkan tekanan internal berlebihan yang kemungkinan bisa menimbulkan serpihan.

Rupanya tren ”menarik kembali” mobil akibat ada permasalahan pada produk juga diikuti Volkswagen. VW sedikitnya menarik 200 ribu mobil di Brazil dan 20 ribu unit di Meksiko akibat ketidakcukupan pelumas pada bantalan roda belakang. Roda belakang dapat terkunci jika bantalan roda belakang itu digunakan terus-menerus.

Beruntung merek-merek otomotif itu tidak menjadi “bulan-bulanan” konsumen. Mereka telah melakukan hal yang semestinya: menangani krisis dengan cepat, menginformasikan perkembangannya secara berkala, bertanggung jawab penuh, dan jujur pada konsumen. Biasanya, semakin tinggi ekuitas merek dan citra perusahaan, akan semakin besar potensi penenangan “badai” yang menimpanya.

Semua pemasar juga tahu, jika krisis—meski tanpa sengaja—seperti itu semakin lama ditanggapi, maka akan semakin meluap kesan negatif yang melumuri merek tersebut. Maskapai Adam Air akhirnya benar-benar “terjun ke laut” dan mati setelah berkali-kali mengalami kecelakaan serius dan tak dapat mengelola krisis mereknya dengan benar.

Padahal, semakin jujur informasi yang disampaikan perusahaan, serta semakin kuat keinginan perusahaan untuk memperbaikinya (baik dari sisi servis maupun produk), akan semakin kecil kemungkinan konsumen membentuk gumpalan kesan buruk merek terkait. Chevrolet, Ford, dan Subaru di Amerika Serikat (berdasarkan riset Customer Report) justru melambung indeksnya di benak konsumen karena kejujuran mereka menangani krisis yang luar biasa. Jadi, jujurlah pada konsumen meski kejujuran itu “pil pahit” yang harus Anda telan saat menangani krisis merek.

Successful Brand



Setiap hari kita dijejali informasi yang begitu banyak, baik iklan maupun berita, yang masuk ke dalam ruang-ruang otak kita. Banyak konsumen merasakan kelelahan dalam menerima informasi tersebut. Studi Prof. Kroebel-Riel (University of Saarbucken, Jerman), menyebutkan, rata-rata kita hanya merespons 2–3 persen informasi yang ada secara keseluruhan. Berarti, 97–98 persen informasi yang kita terima termuntahkan. Ini menandakan bahwa kapasitas otak manusia sangat terbatas.
Penelitian tersebut telah memberikan dampak kurang baik terhadap kegiatan komunikasi pemasaran. Sebab, dari hasil penelitian tadi, ternyata sebagian besar di antara kita sangat terbatas dalam merespons informasi. Fenomena ini perlu dicermati dengan baik oleh para insan pemasaran yang menginginkan mereknya diingat terus oleh konsumen.
Elemen-elemen fungsional dan peta persaingan dalam pikiran konsumen perlu dipahami dan didalami. Hasil penelitian Prof. Kroebel-Riel memperkuat pendapat Al Ries dan Jack Trout, bahwa perang yang sesungguhnya terletak pada pikiran konsumen.
Lima Portal Konsumen
Dalam literatur ilmu pemasaran, aliran pikiran konsumen semacam itu disebut sebagai aliran marketing cognitive. Belakangan aliran tersebut diperkaya dengan kehadiran satu konsep mengenai suksesnya merek dari Buchholz & Wordermann (2000). Konsultan merek asal Jerman itu mengatakan merek-merek menjadi sukses karena mengandung lima p0rtal dalam pikiran konsumen yang mendorong motivasi pembelian.
Lima portal yang dimaksud antara lain benefits and promises, norms and values,perceptions and programsidentity and self expressions, dan emotions and love
Yang pertamabenefits and promises; manfaat produk, baik factual benefit atau pun virtual benefit, serta janji-janji yang ditawarkan produsen kepada konsumen.
Saya kira kita semua mengenal Coca-Cola dan pesaingnya, Pepsi. Mereka jelas sama-sama menyebut paling enak, nikmat, dan pas di lidah. Tapi, hanya konsumen yang bisa menjawabnya. Juga, tidak ada yang tahu persis mana yang lebih berkualitas, Mercedes-Benz atau Volvo? Konsumen kebanyakan tidak ada yang tahu pasti apakah oli merek Top 1 benar-benar nomor satu, dan berbelanja di Alfamart lebih murah atau mahal daripada Indomaret.
Di sini yang berperan penting adalah virtual quality benefit, bukan lagi factual quality benefit. Artinya, mayoritas konsumen lebih mempertimbangkan faktorintangible, virtual, dan emosional sebuah merek ketimbang faktor-faktor fisik (tangible). Konkretnya, konsumen normal akan mencari merek yang menawarkan manfaat-manfaat emosional, seperti yang dianggap paling baik, paling berkualitas, paling cocok di hati, paling awet, dan lain sebagainya.
Keduanorms and values; norma-norma dan nilai-nilai hidup yang dilekatkan pada sebuah merek menjadi pertimbangan tersendiri bagi konsumen. Ingat, konsumen hidup dalam batasan norma-norma dan nilai-nilai tertentu. Yang membedakan hanyalah budaya konsumen itu berasal. Orang Amerika yang terbiasa sarapan pagi dengan susu dan Coco-Crunch tidak diikuti oleh orang Eropa yang terbiasa sarapan roti, telur, dan susu. Orang Indonesia sendiri sarapan nasi.
Mungkin Anda masih ingat ketika Pall Mall menyelenggarakan pesta di Solo, Jawa Tengah, dulu. Pesta itu justru berujung di meja hijau karena PT BAT menyuguhkan wanita-wanita yang hampir bugil sehingga melanggar norma dan nilai setempat. Oleh karena itu, agar tidak terulang kembali, analisislah terlebih dahulu norma-norma dan nilai-nilai sosial hidup masyarakat setempat.
Ketigaperceptions and programs; persepsi konsumen terhadap sebuah merek dan diferensiasi program dari fitur produk. Persepsi merupakan sekumpulan asosiasi yang membentuk citra merek, seseorang, dan segala sesuatunya. Buchhols & Wordermann berpendapat, persepsi konsumen terhadap merek dapat diperbarui dengan tujuan menghubungkan merek tersebut dengan daya tarik motif pembelian. Yang terpenting adalah persepsi di mata konsumen. Persepsi lebih penting daripada realitas. Kalau konsumen sudah menvonis sebuah produk kualitasnya rendah, maka kualitas produk itu akan menjadi rendah, walaupun realitasnya tidak demikian.
Jadi, jika pemasar melihat gejala negatif dari persepsi merek di pasar, maka mereka sebaiknya segera melakukan reanalysingremapping, dan repositioning terhadap mereknya itu. Merek pasta gigi Pepsodent memiliki basis legitimasi yang kuat untuk memperluas mereknya di kategori perlindungan kesehatan gigi dan gusi. Maka, Pepsodent memperluas mereknya ke kategori sikat gigi dan mouthwash. Apakah ini berhasil? Kita semua bisa melihatnya di pasar.
Keempat, identity and self expressions; merek yang baik harus dapat memproklamasikan identitas dan karakter konsumennya di pasar. Merek yang baik harus bisa menonjolkan identitas diri dan mengekspresikan karakter pribadi seseorang. David A. Aaker bahkan menjelaskan bahwa nilai ekspresi diri merupakan bagian dari nilai emosi. Nilai emosional berpusat pada diri sendiri, sedangkan nilai ekspresi diri kebanyakan berpusat pada publik. Contoh pada portal yang paling jelas adalah Marlboro. Merek Marlboro mempunyai identitas diri sebagai pria jantan. Bagaimana cara Marlboro membangun identitas diri sebagai pria jantan?
Marlboro yang sudah berumur seabad ini terus menjaga identitas mereknya yang ditransformasikan ke identitas pengguna Marlboro. Marlboro meramu komunikasi pemasarannya dengan ciri khas cowboy man dan mengajak pria jantan untuk “Come to Marlboro Country” dan lain sebagainya. Maskulin diekspresikan oleh Marlboro. A Mild dan LA Light pun berupaya menentukan identitasnya sendiri sebagai rokok putih rendah kandungan tar, dengan banyak mengumbar nilai ekspresi diri.
Kelimaemotions and love; langkah untuk menghasilkan perasaan-perasaan yangpowerful, yang mampu mendorong konsumen untuk membeli sebuah merek. Seperti yang sudah sering dibahas di mana-mana terkait pemasaran, kalau merek kita powerful di mata konsumen, itu artinya kita sudah bisa mengeruk hasilnya. Pada tahap ini, konsumen akan loyal pada satu merek tertentu.
Dan mudah rasanya mencari contoh bagi pilar kelima ini. Seperti contoh, konsumen Indomie terbukti masih tetap banyak dan tak mau pindah ke merek lain, padahal ada Mie Sedaap dan lain-lain. Begitu banyak konsumen yang tetap cinta kepada Indomie walaupun rayuan maut Mie Sedaap terus-menerus dilakukan. Ibu-ibu masih tetap mencuci pakaian dengan Rinso padahal ada So Klin, Attack, Boom, Daia, atau lainnya. Konsumen Kratingdaeng tak mudah digaet M150, Hemaviton Energy, dan sejenisnya.
Itulah lima portal pikiran konsumen yang harus betul-betul disadari, dipahami, diselami, dan didalami oleh pemasar dan diaplikasikan ke dalam merek yang dipasarkan sehingga sukses. Merek yang sukses bukan sekadar ngetop, tetapi harus mengandung unsur-unsur dari lima portal pikiran konsumen tersebut. Apakah merek Anda sukses? Tanyakan pada merek Anda sendiri.






Evaluasi Efektivitas Iklan



Sering kali kita kesulitan mengetahui apakah iklan kita efektif atau tidak. Padahal, biaya iklan yang dikeluarkan sangat besar. Apalagi jika kita memasang di TVC (TVCommercial). Berbagai model telah diciptakan untuk mengetahui efektivitas iklan. Model adalah penyederhanaan dari sesuatu yang mampu mewakili sejumlah objek atau aktivitas (Mc Leod, Raymond Jr).
John Howard mengatakan bahwa sebuah model dapat digunakan secara kualitatif maupun kuantitatif. Dalam mengukur efektivitas iklan digunakan model, dengan pertimbangan bahwa konsumen hidup di dalam lingkungan yang kompleks. Perilaku konsumen pun sangat kompleks. Dengan menggunakan model, perilaku konsumen dapat dijelaskan lebih sederhana.

Secara umum, dikenal tiga kriteria yang dapat digunakan untuk mengukur efektivitas iklan, yaitu: penjualan, pengingatan, dan persuasi.  Efektivitas periklanan yang berkaitan dengan penjualan dapat diketahui melalui riset tentang dampak penjualan, sedangkan efektivitas periklanan yang berkaitan dengan pengingatan dan persuasi bisa diketahui melalui riset tentang dampak komunikasi.

Kriteria pertama adalah penjualan. Mengaitkan iklan dengan penjualan akan cukup sulit dilakukan karena banyaknya faktor di luar iklan yang berpengaruh secara signifikan terhadap keputusan konsumen dalam aktivitas membeli. Faktor-faktor tersebut antara lain: fitur produk, harga, ketersediaan, dan juga reaksi pesaing. Makin kecil pengaruh dari faktor tersebut atau makin terkendali faktor-faktor tersebut, makin mudah diukur seberapa kuat dampak iklan terhadap penjualan. Namun demikian, dengan alat analisis yang tepat, kita dimungkinkan untuk melihat peran parsial iklan terhadap penjualan suatu produk.

Kriteria kedua adalah pengingatan. Kriteria ini banyak digunakan dalam mengukur kemampuan mengingat konsumen terhadap iklan atau bagian dari iklan. Misalnya, dalam suatu telaah daya ingat konsumen pada satu hari setelah iklan ditayangkan, para peneliti dapat menggali informasi dari konsumen dengan mengajukan pertanyaan kepada pemirsa, “Apakah mereka menonton program televisi tertentu kemarin?” Jika mereka menonton program tersebut, kemudian konsumen bisa ditanyai, “Apakah mereka mengingat adanya iklan yang ditayangkan, dan hal apa saja yang mereka ingat sehubungan dengan iklan yang ditayangkan?”

Kriteria ketiga, yaitu persuasi yang berkaitan dengan pengukuran dampak pemahaman konsumen terhadap suatu iklan, terhadap perubahan kepercayaan konsumen pada ciri atau konsekuensi produk, sikap terhadap merek, sikap terhadap membeli merek atau keinginan membeli. Pendekatan lain yang dapat digunakan adalah suatu iklan dapat menciptakan rantai akhir suatu pengetahuan produk sebagaimana yang diingatkan, yaitu menemukan apakah konsumen membentuk pengasosiasian yang tepat antara merek dengan pribadi konsumen.

Guru pemasaran dunia, Philip Kotler, mengatakan ada tiga metode utama prapengujian iklan dalam riset dampak komunikasi, suatu riset yang dilakukan sebelum iklan dimasukkan ke media dan setelah dicetak atau disiarkan. Metode yang pertama adalah metode umpan balik konsumen (consumer feedback method), dilakukan dengan menanyakan reaksi konsumen terhadap iklan yang diusulkan. Konsumen diminta menjawab pertanyaan-pertanyaan: apakah pesan utama yang Anda dapatkan dari iklan ini?; menurut Anda, apa yang mereka inginkan Anda ketahui, yakini atau lakukan?; seberapa besar kemungkinan iklan ini akan mempengaruhi Anda untuk melakukan tindakan yang dimaksudkan?; apa saja yang bagus dan apa yang tidak bagus dalam iklan ini?; bagaimana perasaan Anda tentang iklan ini?; di mana tempat terbaik menjangkau Anda dengan iklan ini?; di mana paling memungkinkan Anda melihatnya dan memberi perhatian terhadapnya?; di mana Anda berada ketika Anda mengambil keputusan tentang tindakan ini?

Metode kedua adalah pengujian portofolio, meminta konsumen melihat atau mendengarkan suatu portofolio iklan dengan menggunakan waktu sebanyak yang mereka perlukan. Konsumen kemudian diminta mengingat kembali semua iklan tersebut dan isinya, dibantu atau tidak dibantu pewawancara. Tingkat daya ingat mereka menunjukkan kemampuan suatu iklan untuk menonjol dan perannya dimengerti serta diingat.

Metode ketiga adalah pengujian laboratorium, menggunakan peralatan untuk mengukur reaksi fisiologis detak jantung, tekanan darah, pelebaran bola mata, respons kulit tubuh, keluarnya keringat—terhadap iklan. Atau, konsumen mungkin akan diminta menekan tombol untuk menunjukkan kesukaan atau ketertarikan mereka dari waktu ke waktu pada saat melihat bahan yang ditampilkan berurutan. Pengujian ini mengukur kemampuan menarik perhatian, tetapi tidak mengungkapkan apa pun mengenai pengaruhnya terhadap keyakinan, sikap, dan niat  konsumen.

Dengan demikian, jelas bahwa untuk membuat iklan yang efektif menjadi sangat rumit dewasa ini, iklan yang mampu meraih konsumen menjadi semakin kompleks dan membuat konsumen  duduk diam untuk mendengarkan pesan sebuah iklan, adalah tantangan berat bagi pemasar. Diharapkan para pemasar perusahaan dan profesional dalam agensi periklanan dapat terus-menerus menciptakan iklan yang efektif, iklan yang dapat diterima oleh konsumen dengan sepenuh hati, seperti yang diungkapkan oleh John Mc Neil (mantan Art Director Ogilvy & Mather), “If you say it with a degree of sincerity and honesty and with a great love of the craft, it will come through.

Aura Merek



Sebelum membaca panjang lebar artikel ini, coba luangkan mata sejenak untuk melirik ke kanan dan ke kiri Anda. Setelah itu, silakan menilai—tentu saja dalam hati: siapa teman kantor Anda yang paling cantik, menarik, dan tak membosankan untuk dicuri-curi pandang? Bagi yang cewek, silakan amati cowok-cowok di sekitar Anda dan perhatikan hal yang sama.

Jika sudah, Anda harus menjawab pertanyaan berikut ini: mengapa Anda menyatakan si A cantik sedangkan si B jelek? Kenapa si C Anda anggap ganteng dan si D tidak? Mungkin Anda bingung menjawabnya, selain kata-katanya sama dengan yang ditanyakan: cantik, menarik, ganteng, putih, tinggi, gagah, dan lain sebagainya. Padahal, yang Anda perhatikan itu bisa jadi auranya.

Aura, menurut kebanyakan ahli, adalah sebuah daya tarik yang terpancar dari diri seseorang. Aura ibarat daya hipnotis yang mampu menarik, memikat, memukau, dan menumbuhkan rasa kagum orang lain, dan menundukkan hati seseorang, tanpa disadari oleh mereka. Aura mirip energi yang bersinar terang dan menghiasi jiwa raga—namun, tak semua orang memiliki aura yang baik.

Lantas, apa hubungannya dengan merek? Begini, sebetulnya sosok orang tadi hanyalah perumpamaan yang bisa saja diganti dengan merek “I” atau “U”. Silakan kembali bertanya dalam hati: mengapa Anda memilih merek yang ini daripada yang itu? Jawabannya jelas sekali bukan? “Yang ini lebih menarik daripada yang lain.” Daya tarik sebuah merek itulah yang disebut aura merek. John F. Sherry (2005) bahkan mencatat bahwa sebuah merek harus memancarkan energi tertentu yang dapat mempengaruhi konsumen (physical and metaphysical presence).

Jadi, aura merek adalah daya tarik yang terpancar dari sebuah merek sehingga menarik, mengagumkan, dan lain sebagainya, yang membuat konsumen “terpesona” dan terhipnotis untuk membeli. Oleh karena itu, merek harus bisa menonjolkan aura sebaik mungkin agar target market terpikat dan terhipnotis. Roger D. Blackwell (2001) mengatakan bahwa banyak konsumen kadang-kadang tidak mengetahui apa yang membuat mereka membeli suatu merek. Banyak wanita Indonesia yang tidak bisa menjelaskan secara rasional mengapa mereka membeli tas Louis Vuitton puluhan juta rupiah dan rela antri untuk mendapatkannya. Itulah hebatnya aura merek kalau sudah bekerja.

Daya Hipnotis
Di dalam proses pembelian, siapa pun memahami—tidak harus pakar yang mengatakan—bahwa telah terjadi dua kemungkinan: “dihipnotis” atau “terhipnotis” oleh merek. Apabila aksi pembelian itu dikarenakan konsumen terhipnotis satu merek tertentu, besar kemungkinan akan terjadi hubungan yang lebih intim antara merek dengan konsumennya. Di sini konsumen sudah menunjukkan loyalitas mereka.

Tapi, jika pembelian tersebut didasarkan atas rasa terhipnotis secara tiba-tiba, berarti aura mereklah yang berperan. Simpelnya seperti ini: “Kenapa ya, sekonyong-konyong saya membeli merek ini, padahal tak punya rencana membelinya tadi. Habis saya pikir menarik juga sih untuk dibeli. Apa salahnya kalau mencoba,” tutur salah seorang konsumen.

Kalau ukurannya “tiba-tiba” dan konsumen melakukan pembelian karena terpesona akan aura merek tersebut, maka kadar loyalitas konsumen itu masih rendah. Bahkan, sama sekali belum layak digolongkan ke dalam loyalitas. Ini berbanding terbalik dengan proses pembelian konsumen yang memang dihipnotis oleh sebuah merek.

Pada dasarnya, aura sama dengan citra merek yang kemudian diejawantahkan ke dalam pikiran konsumen sebagai persepsi. Aura yang baik berarti bentuk dari citra merek yang baik dan sebaliknya. Di jantung aura itu terdapat kualitas produk berikut atribut merek seperti desain atau tampilan, tekstur, dan warna.

Mari kita mengambil contoh yang paling gampang, lihatlah Garuda Indonesia dan (almarhum) Adam Air. Barangkali kita sepakat mengatakan perbedaannya dengan jelas bahwa aura Garuda Indonesia lebih baik daripada Adam Air—yang sudah tutup beberapa tahun lalu. Penumpang merasa lebih nyaman naik Garuda ketimbang Adam Air atau merek-merek lainnya di Indonesia.

Di kancah otomotif, misalnya, Kijang Innova dari Toyota memiliki desain yang bagus, mesin tangguh, tidak repot untuk menempuh jarak jauh, cocok untuk keluarga, dan kelihatan mewah. Kalau ada apa-apa—semisal terjadi kerusakan—layanan purnajualnya mudah ditemui dan suku cadangnya juga mudah didapat. Begitulah aura yang terpancar dari merek tersebut sehingga amat disukai pasar di negeri ini.

Mesti Diciptakan
Setelah mengetahui pentingnya aura merek, para marketer memiliki tugas untuk membawa mereknya ke arah yang positif. Aura positif akan menjadi daya tarik bagi konsumen untuk memiliki merek tertentu. Contohnya sudah jelas, penumpang pesawat akan tetap memilih Garuda Indonesia meskipun tarifnya mahal daripada Adam Air yang sering kecelakaan.

Atau, seperti memilih pacar, Anda menimang-nimang mana yang paling cantik, seksi, pintar, dan lain sebagainya. Itu namanya aura positif. Kalau jelek, bau ketek, itu masuk kelompok aura negatif. Kalau sampai sebuah merek dipandang memiliki aura negatif, dipersepsikan jelek oleh pasar, tidak akan mungkin merek itu akan berkembang.

Maka, manajemen merek itu penting. Saat bayi dilahirkan, disuapi bubur, dimandikan, dan seterusnya, ia akan menjadi orang besar yang bisa bertahan mengikuti kehidupan ini di kemudian hari. Bayangkan jika bayi yang lahir itu dibiarkan begitu saja, tanpa dirawat kalau sakit, apalagi disekolahkan saat besar. Mungkin si bayi tak bisa bertahan sampai menginjak dewasa.

Merek pun demikian, harus dikelola dengan baik agar tetap menarik sehingga konsumen terhipnotis  untuk “meminangnya”. Jagalah pancaran aura positif, bila perlu terus tambah dan tumbuhkan lagi pancaran itu hingga mencapai puncak kemenangan. Kita menyadari bahwa aura merek yang paling positiflah yang akan diingat konsumen tanpa rasa terpaksa. Aura positif juga berfungsi sebagai pelindung merek yang kuat, yang sanggup menahan serangan-serangan musuh. Lihat saja Nokia, diserang kiri-kanan tetap bisa bertumbuh, karena auranya kuat. Di kuartal pertama 2010, penjualannya 107,8 juta unit—naik 16 persen dibanding tahun lalu. Bahkan di Cina, sumber hand phone murah, Nokia sanggup menjual 21,1 juta unit—naik 20 persen dibanding tahun lalu. Penjualan di Cina saat ini mencapai 19,57 persen dari penjualan global Nokia dengan penguasaan pasar mencapai 40 persen. Fantastis, aura Nokia sanggup menghipnotis konsumen Cina yang sangat kritis.

Jikalau aura yang dipandang konsumen itu bersifat negatif, maka tak ubahnya seseorang yang sudah dekat dengan “liang lahad” alias kematiannya. Kalau hidup dilihat tidak baik oleh orang lain, lalu untuk apa? Jadi, bangunlah aura merek Anda sepositif mungkin, dan silakan Anda menikmati hasilnya. Kalau merek sudah dicap negatif, Timor umpamanya (walau sebenarnya tak jelek-jelek amat), ya mati. Apabila sudah mati, sulit untuk hidup kembali. 

Merakyatkan Merek


Brand_Building


Tanpa sengaja, awal April lalu saya bertemu dengan begawan jamu, Irwan Hidayat, di ruang tunggu bandara Soekarno-Hatta. Ternyata saya satu pesawat Garuda Indonesia dengannya menuju Surabaya. Dalam masa kurang lebih satu jam menunggu take off, beliau bercerita panjang lebar mengenai filosofis bisnis dan pandangan hidupnya.
Betul, Irwan tidak omong kosong. Perusahaannya telah menyabet beberapa gelar—dua di antaranya Top Brand Award dan Indonesia’s Most Admired Companies (IMAC). Ini jelas bukan permainan yang bisa diatur skornya seperti pertandingan sepak bola (kadang-kadang) atau klaim yang dibuat sesukanya. Ini adalah pengakuan penting bahwa produk-produk yang dipasarkan Sido Muncul paling diakui oleh para konsumen.
Dan tentu itu bukan pujian yang dilontarkan Irwan sendiri. Sosok yang sederhana dan rendah hati tersebut tidak mungkin melakukan hal yang tak berharga seperti itu. Yang dilakukan Irwan ialah mengubah citra jamu yang dulunya dianggap kuno,ndeso, kampungan, menjadi minuman obat modern pilihan banyak orang. Ia pun membalikkan anggapan jamu yang pahit menjadi manis dan disukai banyak orang.
Sebagai contoh, Anda jelas tahu slogan “Orang pintar minum Tolak Angin”. Kalau mendengar slogan itu, pikiran Anda pasti langsung tertuju pada obat herbal kemasan cair yang rasanya manis agak semriwing (mint). Untuk memasyarakatkan slogan tersebut, Irwan menggandeng artis dan tokoh terkenal seperti grup band Dewa, Sophia Latjuba, Renald Khasali, Lula Kamal, Ikang Fauzy, dan lain sebagainya sebagai endorser.
Kepiawaian Irwan juga ditunjukkan ketika produk baru Kuku Bima Ener-G diluncurkan. Minuman yang merupakan turunan dari merek jamu kuat Kuku Bima itu diposisikan sebagai suplemen energi. Dalam mengomunikasikan produk tersebut, Irwan tergolong berani karena menggandeng endorser iklan yang bisa dikatakan tidak dikenal sama sekali sebelumnya. Mbah Marijan, misalnya, digandeng hanya sesaat setelah Gunung Merapi meletus. Juru kunci gunung api di Jawa Tengah itu dipilih lantaran ia menolak turut mengungsi ketika Gunung Merapi hendak meletus.
Dalam benak Irwan, tokoh seperti itulah yang pas dijadikan ikon Kuku Bima Ener-G, karena Mbah Marijan mencerminkan kekuatan. Karena itu, “Rosa! Rosa!” menjadi slogan yang lucu dan menggemaskan, namun tetap menunjukkan citra yang diinginkan. Minuman suplemen bertarget pasar kelas menengah bawah yang dipadupadankan dengan kekuatan Mbah Marijan, yang notabene adalah panutan masyarakat setempat, amat tepat.
Kasus Sido Muncul memberikan gambaran bagaimana membangun brand strengthmelalui brand relevance (relevansi merek) dan brand resonance (resonansi merek). Kedua komponen tersebut sangat penting dalam pembangunan merek. Membangun merek harus “relevan”, berarti harus sesuai dengan kebutuhan, keinginan, dan ekspektasi konsumen, serta mengikuti perubahan-perubahan yang terjadi di pasar, terutama memahami perubahan perilaku membeli dari pelanggan. Agensi periklanan Young and Rubican (Y&R) mengembangkan suatu model ekuitas merek yang terkenal dengan nama brand asset valuator (BAV). Mereka meriset sekitar 200 ribu konsumen di 40 negara, dan satu dari empat pilar komponen kunci ekuitas merek adalah relevance. Pengukuran relevansi merek dilakukan untuk mengetahui seberapa luas daya tarik sebuah merek.
Konsultan riset pemasaran Millward Brown dan WPP telah menyusun model kekuatan merek BRANDZ. Dalam model BRANDZ tersebut, pengukuran relevansi merek lebih menitikberatkan kepada  seberapa berarti tawaran perusahaan bagi konsumen. Dalam hal relevansi merek, Sido Muncul selalu berusaha memperluas mereknya, dan tawarannya selalu berhasil membuat konsumen membeli. Kita bisa lihat perluasan aneka ragam rasa dari Kuku Bima Ener-G, atau misalnya memperluas merek Tolak Angin sehingga kita mengenal adanya Tolak Angin Flu, Batuk, dan Tolak Angin untuk anak-anak. Bahkan sampai merambah ke industri permen. 


Penggunaan endorser yang sangat merakyat juga merupakan salah satu kelihaian mereka yang tidak sempat dipikirkan oleh lawan-lawannya. Pandangan hidupnya seperti membela yang lemah dan dalam hidup harus selalu mencari keseimbangan diterjemahkan dalam langkah bisnsinya.
Komponen kedua dalam pembangunan merek yang harus diperhatikan adalahbrand resonance (resonansi merek). Kotler mengatakan bahwa resonansi merek biasanya selalu dimulai dengan melakukan identifikasi merek terhadap pelanggan dan asosiasi merek dalam benak konsumen. Kemudian membangun kokoh arti totalitas merek ke dalam pikiran pelanggan dengan strategi mengaitkan banyak asosiasi merek berwujud dan tak berwujud, serta melihat respons konsumen dan menciptakan loyalitas yang kuat dengan pelanggan. Intinya, harus ada penekanan pada dualisme merek, yaitu menyusun rute rasional dan rute emosional. Lihat saja strategi komunikasi yang dikembangkan oleh Sido Muncul, selalu berasakan pada penyusunan rute emosional dan rute rasional.
Pesan iklannya sangat rasional dan jelas, tetapi kita selalu merasakan adanya emosi pada janji merek mereka. Program-programnya selalu didasarkan pada program merakyat yang selalu membuat ikatan emosional terbentuk. Pelanggan selalu merasa “sejalan” dengan merek-merek Sido Muncul, seperti Tolak Angin dan Kuku Bima Ener-G.
Menerjemahkan sejarah keberhasilan Sido Muncul lewat model relevansi merek dan resonansi merek hanya salah satu contoh keberhasilan dari perusahaan yang menjalankan program merakyatkan merek. Setidaknya, Irwan telah berhasil mengusung merek dengan melibatkan masyarakat luas yang menjadi target marketnya. Ingat, nama tanpa gagasan, sekalipun diguyur oleh bermiliar-miliar nilai iklan, bukanlah sebuah merek. Ia hanya nama dan nama tanpa pesan. Jadi, cobalah merakyatkan merek Anda”, maka kesuksesan pasti datang.


Merek Hitam


Diakui atau tidak, belakangan ini semua indera kita tertuju pada PT Pertamina (Persero). Masyarakat bawah menganggap perusahaan milik pemerintah ini tidak bisa mengurusi penyediaan gas dengan benar, sehingga terjadi ledakan di mana-mana. Hingga kini, hampir 100 kasus tak bisa dihindari dan telah memakan begitu banyak korban.

Sementara, masyarakat kelas menengah atas, yang notabene memiliki mobil, menganggap Pertamina sedang “meneror” mereka dengan mendistribusikan bahan bakar premium tak layak konsumsi. Akibatnya, pompa bahan bakar (fuel pump) ribuan kendaraan, khususnya di Jabodetabek, rusak. Pemilik mobil pribadi mengeluh, pengusaha taksi rugi ratusan juta rupiah.

Dua masalah besar itu tak satu pun beranjak dari Pertamina sampai sekarang. Terhadap kasus pertama, yakni meledaknya gas di berbagai daerah, perusahaan pelat merah ini tidak mau disalahkan dengan alasan tabung yang disuplainya sudah layak edar dan lain sebagainya. Begitu pula dengan kasus kedua, soal buruknya bahan bakar premium, lagi-lagi perusahaan ini tidak mau disudutkan dengan dalih kualitasnya tak seburuk yang dituduhkan.

“Pertamina oh Pertamina…,” tiga kata yang mungkin belum beranjak dari benak masyarakat luas sampai saat ini. Dan kalau melihat kasus ini, kita seolah-olah kembali ke masa ketika merek-merek besar seperti Ajinomoto, Mizone, dan lain sebagainya disibukkan dengan kampanye negatif (black campaign) merek.

Memang kampanye negatif pada dasarnya bisa terjadi akibat dari kelalaian kita sebagai pemasar, bisa pula disebabkan kesengajaan yang diciptakan kompetitor. Maraknya kasus fuel pump sejak dua bulan lalu sempat memunculkan isu bahwa itu diluncurkan oleh kompetitor (kompetitor Pertamina di Indonesia hanya ada dua, Shell dan Petronas) untuk mengalihkan pelanggan dari Pertamina.

Kompetitor tidak menanggapi isu itu sama sekali. Justru Pertamina bereaksi cepat dengan menyatakan pihaknya tidak bersalah karena telah memenuhi standar kualitas bahan bakar. Lantas, Pertamina setengah menuduh stasiun-stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU)-lah yang perlu disorot karena tangki penampungannya kemungkinan kotor, sehingga menimbulkan sumbatan di fuel pump kendaraan.

Himpunan Wiraswasta Minyak dan Gas (Hiswana) sebagai asosiasi pengelola SPBU kontan membantah. Mereka mengatakan selalu melakukan kontrol kualitas selama penerimaan dan pengelolaan. Perang dingin pun berlangsung. Pertamina menyalahkan SPBU, pengelola SPBU tidak mau dipersalahkan dan berujung blunder. Tapi, bayangkan jika Pertamina sejak awal mengatakan, “Baik, kami akan segera melakukan pengujian terhadap bahan bakar kami, sehingga kita semua akan mengetahui bagaimana kualitas bahan bakar yang kami impor dari luar negeri. Kalau memang betul penyebabnya adalah jeleknya kualitas premium, kami siap membatalkan kontrak impor dari luar negeri tersebut.”

Ini persoalan komunikasi. Ingat, seorang pemasar harus paham benar bahwa membangun merek itu bukan sekadar menempeli produk dengan nama sesukanya. Merek itu merupakan kumpulan  dari  product,  price,  place,  promotion atau yang sering disebut 4P dan atribut-atribut merek lainnya. Oleh karena itu, melahirkan merek hanya membutuhkan waktu satu hari, tapi membangun merek memerlukan perjuangan sepanjang masa. Kesalahan mengomunikasikan merek, termasuk menanggapi komplain pelanggan, tak ubahnya membunuh merek itu sendiri.

Cepat dan Tepat
Menanggapi komplain pelanggan tentu menjadi kewajiban pemilik merek. Karena itu, hampir semua merek sekarang ini dilengkapi dengan layanan pelanggan lengkap dengan call center-nya. Jika tidak, merek itu sama juga mati saat masih menjadi kecambah. Kalau sudah begitu, untuk apa memasarkan merek (produk),toh tak serius menjalaninya.

Pertamina sebaiknya belajar dari sahabatnya, PT Garuda Indonesia, dalam mengatasi krisis merek. Masih ingat kejadian Boeing 737 Garuda Indonesia jurusan Mataram-Yogyakarta-Jakarta yang mendarat darurat di sungai Bengawan Solo pada 16 Januari 2002? Bagi Garuda, itu merupakan masalah besar dan sudah menjadi hal wajar jika para penumpang menyalahkannya. Tapi, ternyata kondisinya berbalik, para penumpang malah bersimpati pada Garuda Indonesia.

Saat itu pesawat sedang dihadang badai dan hal tersebut memaksa pilot melakukan pendaratan darurat. Pilot betul-betul mendapat ujian berat, apalagi mesin dalam keadaan mati. Tapi beruntung, di samping kru, 54 penumpangnya selamat, termasuk lima warga negara asing. Manajemen Garuda Indonesia langsung merespons kejadian itu dengan membuka pusat informasi secara periodik, di samping melakukan evakuasi para penumpang secara cepat. Kepada media, manajemen secara sengaja menceritakan kisah sang pilot dalam mengatasi masalahnya. Alhasil, kecelakaan itu berbuah simpati.

Jadi, strategi komunikasi yang tepat sangat membantu kita dalam mengatasi komplain pelanggan. Jangan segan-segan melibatkan pihak ketiga, baik konsultan, para ahli, regulator, dan lain sebagainya, dalam menjawab berbagai persoalan yang terjadi, karena itu akan sangat membantu. Kuncinya, jangan langsung bilang “tidak” jika Anda tak ingin melihat merek Anda mati suri atau mati selamanya. Berhati-hatilah, kesalahan komunikasi hanya akan mengantarkan merek Anda menjadi hitam dan sulit memutih kembali.

Brand Social Responsibility


Di dunia pemasaran, banyak orang yang mendebatkan satu hal: corporate social responsibility (CSR). Sekelompok orang di garis kanan mengatakan bahwa CSR merupakan kegiatan tanggung jawab sosial perusahaan terhadap masyarakat sekitar yang wajib dilaksanakan tanpa mengharapkan timbal balik dari mereka. Sementara, sekelompok orang di garis kiri berpendapat CSR hanyalah program akal-akalan merek semata yang pada akhirnya bertujuan mengeruk laba.
Perdebatan yang tak ada habis-habisnya itu kemudian menghasilkan kelompok baru, yakni kanan-kiri oke. Mengapa demikian? Karena garis tengah ini tidak fanatik terhadap satu pendapat tertentu, entah kanan atau kiri. Mereka menyadari kedua pendapat sama benarnya. Namun, lupakan pendapat mana yang benar atau salah, dan mari kita belajar bagaimana perusahaan-perusahaan besar (menggunakan dana yang besar) mengemas program CSR-nya dengan baik.
Royal Dutch Shell Plc., perusahaan eksplorasi minyak dan gas bumi terbesar keempat di dunia—setelah BP, ExxonMobil, dan Total—asal Belanda, dituduh menghancurkan lingkungan ekologis dan menyalahgunakan tenaga kerja di Nigeria. Setelah kejadian itu, pada tahun 2003, perusahaan yang masuk ke Indonesia sejak November 2005 tersebut mulai memerhatikan lingkungan sekitar. Kecemburuan sosial dihapuskan, dimulai dari meningkatkan kesejahteraan karyawannya terlebih dahulu.
Dalam upaya itu, Shell rela menghabiskan USD 50 juta per tahun untuk melaksanakan berbagai proyek pengembangan sosial, seperti pembangunan rumah sakit, pendirian gedung sekolah, penyediaan air bersih, perbaikan jalan, dan pengadaan listrik di Nigeria. Tidak hanya itu, merek berlogo mirip kerang dengan nuansa warna kuning ini juga memberikan beasiswa, pelatihan keterampilan, kredit mikro, peralatan dan penyuluhan pertanian, dan lain sebagainya. Semua itu dikerjakan dengan melibatkan lembaga independen.
Demi Masa
CSR, atau kalangan pemasar sering menyebutnya dengan “brand social responsibility” (BSR), alias tanggung jawab sosial merek, memang ada dua tujuan besar: demi massa dan demi masa. Demi massa dimaksudkan untuk membantu dan atau mengembalikan apa yang seharusnya diterima oleh masyarakat di sekitar perusahaan itu berada. Bisa juga untuk mendukung kampanye yang sedang dilakukan, misalnya LG Electronics Indonesia memilih membantu sekolah menengah kejuruan (SMK) ketimbang sekolah menengah atas (SMA).
Apa alasannya? Perusahaan asal Korea Selatan itu merasa peduli terhadap pendidikan dan pemberdayaan SMK. Langkah ini juga dijalankan untuk membantu tekad pemerintah dalam mendongkrak keahlian alumni sekolah tersebut yang selama ini seolah-olah dinomorduakan. Tahun lalu, di SMK Negeri 4 Bandung, LG mengucurkan dana Rp 100 juta untuk merenovasi laboratorium sekaligus melengkapinya dengan segala peralatan. LG berharap para lulusan SMK bisa benar-benar terampil (dan kalau masuk LG akan menghasilkan kinerja positif bagi perusahaan).
Sedangkan demi masa, artinya pelaksanaan BSR bertujuan untuk kelangsungan atau kesinambungan bisnis perusahaan. Perusahaan-perusahaan yang melakukannya berusaha mendekatkan diri dengan masyarakat sekitar, mulai dari karyawan hingga insan-insan yang dijadikan obyek tanggung jawab sosial perusahaan atau merek tersebut. Sebagai contoh, Sido Muncul tidak segan-segan memberangkatkan ribuan pedagang jamu ke kampung halaman mereka menggunakan bus secara cuma-cuma. Mudik dan jamu memang tidak ada hubungannya. Tapi, setelah yang diberangkatkan pedagang jamu, secara tidak langsung mereka akan bersemangat menjual jamu merek Sido Muncul di kemudian hari.
Lain lagi dengan SariWangi yang mempunyai cara unik dalam memanjakan konsumen di kala musim mudik Lebaran. Sudah beberapa tahun terakhir ini pemimpin pasar teh celup tersebut menggelar mudik bareng dengan program “SariWangi Mobil Mudik”. Sama dengan tahun lalu, tahun ini ada 100 Kijang Innova yang dipersembahkan untuk konsumen yang terpilih secara acak. Konsumen diberi kesempatan menikmati mudik sekeluarga dengan mobil yang difasilitasi SariWangi itu secara gratis. Bahkan, 10 pemenang tahun ini akan mendapat kesempatan kembali memenangkan undian pada tahun depan. Banyak sekali merek yang memanfaatkan Idul Fitri sebagai ajang BSR mereka. Telkomsel, XL, Indosat, BNI, dan Giant adalah contoh-contoh merek yang gencar melaksanakan program tersebut.
Sepertinya ungkapan “Sekali mengayuh dua-tiga pulau terlampaui” layak disandangkan bagi merek-merek yang menggarap program BSR di setiap mudik Lebaran (dan masa yang lain). Sebab, di samping bisa menunjukkan kepedulian kepada pelanggan, merek tersebut bisa mendongkrak penjualan secara signifikan. Bayangkan, pada tahun 2009, konsumen yang mengirimkan bungkus kosong SariWangi ada 58.000 orang. Tahun ini, jumlahnya ditargetkan akan naik menjadi 80.000 orang. Luar biasa, bukan?
Tabungan Merek
BSR ibarat tabungan merek. Atau, orang-orang menyebut “investasi merek”. Nah, sama seperti kita, kalau kita menabung pasti akan untung (asalkan tidak salah pengelolaannya). Begitu pula dengan BSR, akan menghasilkan kinerja positif bagi merek itu sendiri. BSR bisa menjadi obyek komunikasi untuk membangun merek. Mengomunikasikan BSR dengan baik akan menentukan keefektifan dan keberhasilan merek dalam mendongkrak citranya.
A+ CSR Indonesia menyatakan, ada lima hal yang harus diperhatikan di dalam mengomunikasikan BSR. Pertamapublic relations dan komunikasi. Kedua, strategi komunikasi dan manajemen reputasi. Ketiga, pengelolaan risiko reputasi. Keempatdo’s and don’ts dalam komunikasi. Dan kelima, pembinaan hubungan dengan media massa. Artinya, kelima hal tersebut mesti dipahami dan dijalankan betul sehingga akan menghasilkan citra merek secara maksimal. Kesalahan mengomunikasikan BSR akan membuang percuma aksi-aksi yang telah diperankan sebagus apa pun.
Dan mulailah menggarap BSR dari sekarang, komunikasikan secara maksimal, lantas terimalah hasil yang super-optimal. Kapan lagi kalau tidak dari sekarang?




Brand Monitoring

http://www.marketing.co.id/2010/11/09/brand-monitoring/





Percaya atau tidak, mengelola merek itu tak ubahnya merawat anak kita sendiri. Ia harus disuapi ketika masih kecil, diperhatikan saat menginjak besar, diawasi kalau sudah remaja, dan seterusnya. Begitu pula dengan merek, sejak sebelum lahir, ketika lahir, hingga besar, bahkan menjadi pemimpin pasar pun, mesti diawasi keberadaannya. Karena itu, pemasar perlu menerapkan brand monitoring dengan sebaik-baiknya.

Coba Anda ingat-ingat, dulu ketika Anda mengikuti lomba cerdas cermat, Anda diminta si pembaca soal untuk buka mata dan pasang telinga baik-baik agar soal yang dibacakan diterima dengan jelas. Pemasar pun wajib seperti itu. Apa jadinya kalau pemasar tidak perhatian pada mereknya, pasti merek tersebut seperti anak yang busung lapar; kurus karena tak terurus, dan omong kosong untuk dapat  mencapai puncaknya.

Itulah sekelumit gambaran mengenai brand monitoring. Intinya, brand monitoring adalah langkah pengawasan atas tindak-tanduk sebuah merek yang sedang kita pasarkan. Dan brand monitoring hukumnya wajib diterapkan demi menjaga kelangsungan merek kita, apalagi merek itu berada di pasar yang sangat ketat persaingannya.

Tapi, harus diakui, melakukan brand monitoring saat ini jauh lebih rumit ketimbang di masa satu-dua dekade sebelumnya. Alasannya, pertama, karena peta persaingan semakin ketat. Kedua, media penyampai pesan dari era sebelumnya hanya televisi, radio, dan surat kabar. Kini sudah diubah oleh kehadiran internet yang sangat agresif. Apalagi, internet bukan media biasa karena sifat komunikasinya dua arah.

Banyak merek yang sebelumnya tidak muncul ke permukaan tiba-tiba menjadi besar akibat internet. Produk-produk usaha kecil menengah, industri kreatif, dan waralaba, belakangan ini tumbuh signifikan berkat internet. Hal tersebut didasarkan pada fakta bahwa mempromosikan merek melalui dunia maya lebih efisien jika dibandingkan dengan lewat media konvensional. Walaupun sebenarnya efektivitas memasarkan merek di dunia maya sangat tergantung pada karakteristik produk dan pasar sasarannya.

Silakan membuka Facebook, Twitter, Multiply, dan situs-situs jejaring sosial lainnya, juga blog. Anda akan dengan mudah menemukan merek-merek terkenal terpampang di situ. Centro Department Store, misalnya, aktif menggunakan Facebook untuk menginformasikan semua kegiatannya.

Optik Melawai memanfaatkan Facebook sebagai media promosi mereka. Ritel kacamata itu tampak serius menjadikan Facebook sebagai alat komunikasinya. “Anak Uya namanya Cinta. Dia suka main sulap. Kalo mau cari kacamata, @optikmelawai yang paling mantap!” begitu salah satu statusnya. Kemudian, seorang penggemar menimpali, “Petik dawai tembang meratap…. Optik Melawai emang muantapp.”

Tapi jangan salah, karena komunikasi dua arah, Facebook dan rival-rivalnya itu bisa juga menjadi bumerang bagi sebuah merek. Bagaimana kalau penggemar Facebook menulis komentar miring mengenai merek Anda? Anda tak bisa melarang, kecuali dengan menunjukkan bahwa merek Anda benar-benar bagus luar-dalam, memuaskan pelanggan, dan tak memiliki cacat sedikit pun.

Jadi, di masa sekarang, brand monitoring perlu lebih diintensifkan mengingat merek Anda akan mendapat serangan dari mana-mana. Merek Anda dekat dengan kemenangan, tapi sekaligus dekat dengan ancaman dari kompetitor dan konsumen sendiri. Kebebasan bersuara itu bagus, tapi mengandung kejelekan di sisi yang lain. Sekali konsumen mengetik kata “tidak” untuk produk Anda, Anda akan dibuat susah berhari-hari—bahkan berbulan-bulan, karena dalam hitungan detik, satu pesan itu bisa tersebar ke seluruh pelanggan merek Anda.

Namun, apabila Anda aktif memonitor merek Anda—baik dari sisi produk, harga, distribusi, promosi, dan lain-lain—secara berkesinambungan, merek Anda akan lebih siap bertempur. Tapi, itu saja tidak cukup. Anda juga harus memantau pergerakan merek-merek kompetitor. Gampangnya begini, lihatlah merek Anda dan pantau merek kompetitornya. Ingat, kelengahan Anda merupakan malapetaka bagi merek Anda.

Banyak Contoh
Banyak kasus yang dapat dijadikan contoh bahwa sebuah merek akhirnya harus terlangkahi posisinya oleh kompetitor karena pemasar terlena (pemasar tak memantau langkah-langkah lawannya). Mitsubishi bertahun-tahun “duduk manis” di posisi kedua setelah Toyota. Tapi, setelah Daihatsu melancarkan serangan yang pasti tanpa disadari kompetitor, Mitsubishi akhir-akhir ini harus tersingkir di urutan ketiga penjualan nasional. Daihatsu tergolong fenomenal karena telah melampaui banyak merek—selain Mitsubishi, ada Honda dan Suzuki—setelah merilis Xenia yang mirip Toyota Avanza dan Terios yang serupa Toyota Rush.

Merek lain, Nokia, saya yakin tidak pernah menyangka jika pangsa pasarnya akan tergerus begitu dalam oleh produk-produk Cina, termasuk juga BlackBerry. Semua orang mengakui bahwa Nokia cukup tangguh untuk dikalahkan oleh merek apa pun. Tapi kini, merek asal Finlandia itu sedang berupaya untuk sekadar mempertahankan pasarnya, bukan untuk menambah pangsa.

Jadi, awasi, awasi, dan awasi terus pertumbuhan merek Anda, juga merek kompetitor, demi kedigdayaannya ke depan. Ingat, kesalahan melakukan brand monitoring—apalagi meniadakannya—merupakan penyimpangan fatal yang tak bisa dimaafkan. Mempertahankan posisi lebih susah ketimbang menciptakan merek yang baru. Lihatlah, serangan datang dari mana-mana.

Brand Endorser Effect



Coba bayangkan, apa jadinya jika bintang iklan sebuah merek diambil dari sembarang orang? Iklan itu menjadi tidak menarik, mereknya pun tak dilirik para pemirsa televisi. Maka dari itu, bintang iklan atau yang sering disebut dengan endorser harus disesuaikan dengan merek yang diiklankan. Ini penting untuk menyesuaikan citra dan positioning merek.

Iklan yang tepat, baik endorser maupun kemasannya, akan mendongkrak penjualan dengan cepat. Penggunaan selebriti sebagai endorsement sudah menjadi hal biasa dalam bisnis saat ini. Banyak teori dan praktik lapangan memperlihatkan bahwa penggunaan selebriti sebagai endorsement dalam iklan akan meningkatkan perhatian dan kesukaan publik terhadap produk yang diiklankan. Yamaha, contohnya, terkenal dengan iklan berseri ala Komeng, Didi Petet, dan kawan-kawan. Sejak meluncurkan iklan itu—yang soft selling, penjualan produk merek asal Jepang tersebut langsung melejit dan tak disangka sampai mampu menggeser posisi Honda beberapa kali.

Agak melompat sedikit, Malaysia sepertinya salah satu negara yang berhasil mengemas iklan dengan baik. Diramu dengan jitu, potensi-potensi Negeri Jiran itu dipublikasikan semenarik mungkin sehingga wisatawan ingin berkunjung. Dibanding Malaysia, Indonesia kalah dalam hal jumlah wisatawan. Padahal, potensi pariwisata kita jauh lebih menggiurkan dan beragam.

Jadi, mengemas iklan—termasuk menampilkan endorser—itu bukan perkara mudah. Prinsip kehati-hatian mesti selalu dipegang dan jangan melawan arus yang dikehendaki target pasar. Semisal, apa jadinya jika Unilever terus menampilkan iklan sampo Sunsilk dengan endorser Ariel Peterpan yang diduga menjadi pemeran video porno? Bukan tidak mungkin mereknya akan terpuruk ditinggalkan konsumen. Penggunaan selebriti sebagai endorser juga banyak risikonya.

Dr. Ying Fan, pakar marketing dari University of Lincoln, Inggris, bahkan menyebutkan bahwa risiko terbesar adalah pada selebriti itu sendiri. Ada dua hal penting yang harus diperhatikan.  Pertama, kita harus melakukan analisis mengenai celebrity life cycle terhadap selebriti yang kita gunakan—apakah dia masih bertahan lama, atau sudah masuk dalam tahap penurunan? 

Seberapa lama lagi ia mampu mempertahankan popularitasnya? Kedua, masalah integritas artis tersebut. Kalau banyak skandal tentu akan menurunkan integritas artis tersebut. Pengendalian opini publik terhadap merek kita juga sangat penting.

Langkah Unilever dengan langsung memutus penayangan iklan Sunsilk adalah satu pilihan yang benar. Endorser itu harus bisa diikuti tindak-tanduknya, termasuk menggunakan sampo. Tapi, bagaimana jika seorang bintang bertindak asusila? Masyarakat jelas tidak bersimpati kepadanya, termasuk kepada iklan yang dibintanginya jika terus ditayangkan. Kisah ini tak terkecuali melanda Sharp Electronics Indonesia dan Cut Tari, endorser-nya untuk produk pendingin ruangan.

Di Amerika Serikat, mungkin Anda masih ingat, memasuki awal tahun 2010, perusahaan telekomunikasi AT&T harus memutus kontraknya dengan Tiger Woods setelah pegolf beken itu didera skandal. Tidak hanya berdampak pada retaknya rumah tangga Woods, skandal tersebut juga berbuah pemutusan kontrak sponsor yang ia bintangi. Gatorade, Accenture, dan Gillette adalah tiga merek yang memutuskan kontrak itu.

Mbah Maridjan
Sido Muncul mungkin satu-satunya merek yang berdebar-debar ketika Gunung Merapi meletus tahun ini. Sebab, endorser-nya yang cukup terkenal dengan kata-kata “Rosa-rosa!” menjadi penunggu gunung di perbatasan Jawa Tengah dan DI Yogyakarta itu. Harus diakui, Mbah Maridjan dipilih menjadi endorser iklan minuman energi Kuku Bima karena kekuatannya menjadi kuncen (juru kunci) Merapi. Saat gunung itu meletus tahun 2004, ia malah naik mendekati puncak.

Di dalam diri Mbah Maridjan terdapat sifat kesetiaan, kekuatan, keberanian, yang kira-kira sama dengan konsumen minuman energi Kuku Bima. Namun, letusan tahun ini tak menyelamatkan Mbah Maridjan. Lantas, apa yang dilakukan Sido Muncul setelah kata-kata “Rosa-rosa!” tidak bisa muncul kembali dari mulut Mbah Maridjan?

Sido Muncul langsung membuat iklan berbeda. Seolah mengklarifikasi, iklan yang dimunculkan pascatragedi Merapi bertema “Hidup adalah Kehormatan”. Intinya, kehidupan dan kematian adalah rahasia Tuhan, dan tidak ada manusia yang mengetahuinya. Mbah Maridjan, meski rosa, hanyalah manusia biasa yang ditugasi menjaga salah satu gunung teraktif di dunia itu. Ia telah mampu mengemban tugas sampai akhir hayatnya.

Satu kisah Mbah Maridjan ini jelas berbeda dengan kasus Ariel Peterpan dan Tiger Woods. Mbah Maridjan diputus kontrak atas kuasa Tuhan, bukan karena ulahnya. Sido Muncul pun ingin menjelaskan endorser-nya itu meninggal bukan karena kurang rosa menahan gempuran wedhus gembel, tapi Tuhan yang berkehendak. Sebaliknya, andaikan Sido Muncul tidak langsung mengklarifikasi, sindiran demi sindiran akan terus beredar di masyarakat. Mungkin ada yang bilang, “Mbah Maridjan tidak benar-benar rosa”, dan lain-lain.

Langkah Tepat
Sido Muncul telah mengambil langkah tepat dengan membuat iklan yang mendapat simpati dari masyarakat. Iklan belasungkawa sekaligus “Hidup adalah Kehormatan” tak memberi kesempatan kepada masyarakat untuk memperluas sindiran-sindiran. Unilever juga telah membuat keputusan yang tepat setelahendorser-nya dilanda skandal seks. Bila tidak dihentikan, Unilever akan menjadi sorotan negatif target market.

Sharp Electronics Indonesia tidak kalah tepat setelah tidak meneruskan kontrak atas Cut Tari. Apa yang akan terjadi jika bintang iklan itu terus dipakai, sementaratarget market tidak menyukainya? Bisa saja merek Sharp ikut repot dibuatnya.  Padahal, menciptakan citra positif merek luar biasa susah, tapi menghancurkannya tidak butuh satu-dua hari. Sedetik saja pasar dikecewakan, mereka akan lari menjauhi merek itu.

Jadi, jelas bahwa memang efek dari penggunaan endorser merek memang cukup membantu dalam meningkatkan penjualan. Namun, yang jauh lebih penting adalah bukan soal penggunaan selebriti, tetapi penciptaan brand platform yang efektif seperti konsep brand vision, brand mission, core value, dan scope of competencedari merek tersebut. Jangan sampai kita terjebak bahwa hanya selebritilah yang bisa membuat  penjualan dan pangsa pasar kita dapat meningkat.

Konsep Merek Neolib



Masih ingatkah Anda, paham ekonomi apa yang dituduhkan dianut pasangan SBY-Budiono, oleh lawan-lawan politiknya pada Pemilihan Presiden 2009 lalu? Jawabannya adalah neoliberal. Neolib merupakan paham yang mengacu pada filosofi ekonomi politik akhir abad ke-20-an yang merupakan tindak lanjut dari liberalisme klasik.

Neoliberalisme lebih mengarah pada ekonomi pasar dan perdagangan bebas sehingga kecenderungannya yang kuatlah yang akan memenangkan persaingan. Paham ini juga meniadakan hambatan perdagangan internasional dan investasi sehingga semua negara lebih mudah untuk memasarkan produknya ke negara lain. Dan, sepertinya memang benar, Indonesia sekarang berada di naungan paham ekonomi neolib.

Besarnya jumlah penduduk di Tanah Air menjadi barang dagangan yang lalu dimanfaatkan oleh negara lain sebagai pasar produk-produk mereka. 

Sayangnya, kita sekadar menjadi pasar, bukan pemasar. Jadi, kita cuma bisa membeli barang-barang mereka di negara kita tanpa mampu memasarkan produk ke tanah mereka secara seimbang.

Pasar Indonesia saat ini banyak dikuasai oleh penganut konsep merek neolib, merek yang mampu mendikte pasar, sehingga konsumen takluk hatinya. Konsumen menjadi sangat percaya kepada mereka dan bersedia membayar lebih mahal, sehingga merek neolib tersebut bisa memperoleh laba tinggi tanpa saingan untuk jangka waktu yang lama. Laba mereka supernormal dan membuat mereka mudah menindas pesaing dan mengeksploitasi pikiran konsumen, dan jarang mau melakukan investasi sosial.

Penganut konsep merek neolib gampang kita temukan di  mal. Banyak sekali ritel merek asing yang bertengger di lantai-lantai strategis. McDonald’s, KFC, Dunkin’ Donuts, Starbucks, dan Pizza Hut adalah sedikit pemain global yang menguasai mal-mal di kota-kota besar negeri ini. Di Medan mereka ada, di Surabaya juga ada mereka, di Makassar pun begitu, apalagi di Jabodetabek. Amat disayangkan kita tidak memiliki restoran yang bisa mengalahkan McD atau kedai yang menaklukkan Pizza Hut.

Tak Nasionalis
Karena sifatnya neolib, peran badan usaha milik pemerintah seperti Sarinah pun tak ubahnya pencari keuntungan yang sebesar-besarnya tanpa memikirkan kepentingan-kepentingan lain. Sarinah yang milik pemerintah tidak mau “membantu” menyukseskan pengusaha-pengusaha lokal yang sebetulnya patut didorong. Apa jadinya kalau semua BUMN tidak memiliki strategi politik demi kepentingan nasional?

Marilah kita terbang ke Filipina dan belajar sejenak di sana. Begitu mendarat dan menjauhi bandar udara, silakan Anda cari McD. Di sana ada, tapi tidak akan semudah di sini. Sebab, Jollibee telah berkuasa di sana.

Pada akhir tahun 1970-an, Tony Tan Caktiong, pemilik kedai es krim kecil di kawasan menengah bawah, mendengar raksasa McDonald’s akan hadir di Filipina. Tan khawatir tokonya akan tergeser dan segera menyadari perlu perubahan untuk mengalahkan resto asal AS itu.

Tan pun akhirnya menerapkan teori Sun Tzu. Ia terbang ke AS untuk mempelajari seberapa besar, seberapa kuat, dan apa saja kekuatan musuhnya itu. Setelah beberapa minggu, ia kembali dan siap mengubah Jollibee. Resto kecilnya itu kemudian diubah menjadi besar, punya maskot, seragam warna-warni untuk kru, salam ceria, kentang dan ayam goreng, serta burger dengan harga jauh lebih murah.

Saat McDonald’s masuk ke Manila tahun 1981, pasar Filipina tidak melihatnya sebagai konsep yang aneh. Mereka sudah terbiasa dengan Jollibee. Pada tahun 1984, Jollibee sudah masuk 500 perusahaan top negara itu. Sebab, pada tahun 2005 saja, gerai Jollibee sudah tersebar di sembilan negara dengan total 1.186 lokasi, termasuk 120 gerai di Cina. Kini, barangkali jumlahnya sudah berlipat-lipat, dan McDonald’s tetap kalah dibuatnya.

Kemudian Lotteria asal Korea Selatan. Restoran cepat saji mirip McDonald’s yang dibuka Lotte Group pertama kali di Jepang pada September 1972 ini tersebar di berbagai sudut jalan di Korea. Restoran pertama di Korea dibuka di Seoul pada 25 Oktober 1979. Kini, Lotteria bisa ditemui tidak hanya di Korea dan Jepang, tapi juga di Cina, Taiwan, dan Vietnam. Dan Lotteria ini juga mengalahkan McDonald’s di negara asalnya, Korea Selatan.

Perang Merek
Melihat contoh-contoh resto lokal yang kemudian memenangkan pertarungan di pasarnya sendiri, kita menjadi rindu pada pemain-pemain lokal kita yang “kok enggak ada yang seperti Jollibee dan Lotteria”. Apalagi sekarang pasar Jakarta sudah mulai dipadati 7-Eleven yang dalam waktu singkat telah tumbuh belasan gerai dan sukses.

Karena itu, pemain lokal sebaiknya banyak belajar pada Jollibee dan Lotteria. Kita percaya kedua merek itu memahami betul pasar lokal, memiliki keunikan konsep, dan pintar menangkis serangan-serangan lawan. Starbucks, Coca-Cola, Harley Davidson, dan McDonald’s jelas memiliki daya tarik yang sangat besar dalam pikiran konsumen.

Menembus pertahanan mereka jelas tidak gampang. Kita harus menciptakan relasi yang kuat dengan segmen pasar tertentu dari suatu pasar yang massal. Merek yang diciptakan harus memberikan aneka manfaat kepada aneka ragam konsumen dalam sebuah pasar. Lihat saja Coca-Cola dengan “The Real Thing”, jelas sangat relevan dengan aneka ragam situasi dan kesempatan.
Untuk menembus merek “neolib” tentu sangat memeras pikiran dan keringat. Desain pengembangan merek harus ditujukan kepada beraneka ragam jenis konsumen dan dengan motif mengonsumsi yang berbeda-beda. Konsep eksplorasi nilai, penciptaan nilai, dan komunikasi nilai di antara berbagai segmen yang berbeda harus mendapat perhatian besar dari pemasar. Komunikasi nilai jelas harus mengandung manfaat fungsional maupun emosional.

Kalau konsep di atas bisa kita implementasikan, peluang mengalahkan merek neolib akan sangat besar, tapi tidak mudah. Jadi, jangan serahkan pasar kita ke pihak asing, terutama yang mejadi penganut konsep merek neolib. Berjuanglah!