Friday, July 15, 2011

Tujuh komponen CQ [Charisma Quotient]

New Wave Marketing – Marketeers












Pada 14 Juli 2011, kapal melewati Lintang Utara 80 derajat. Berarti sepuluh derajat lagi sampai di Titik Kutub Utara.  Waktu itu, saya ke Sun Deck di Lantai 13 atau yang paling atas, saya ternyata tidak bisa melihat apa-apa. Kapal ini ternyata seperti sebatang kayu kecil yang terombang ambil di tengah samudera besar. Dan, karena banyak awan dan kabut, saya tidak bisa melihat apa pun. Bahkan, tidak ada horison sama sekali. Kapten mengumumkan bahwa dia tidak mau lanjut ke Utara.
Safety First! Karena jarak pandang yang sangat pendek dan kontak telekomunikasi pun hilang. Akhirnya kapal berputar balik ke Selatan dan langit pun mulai kelihatan dan gunung-gunung es pun bermunculan kembali. Sepanjang hari, semua penumpang berada di kapal dan disuguhi banyak acara.
Ada satu acara Lecture yang mau saya share di sini, yakni tentang bagaimana meningkatkan CQ atau Charisma Quotient. Pembicara sudah tiga puluh tahun melakukan riset di bidang ini dan kesimpulannya semua orang bisa jadi “kharismatik” asal mau. Hebat, kan?








































My favourite Things Show pada 14 Juli malam




















Computer University at Sea
Biasanya, orang putus asa karena menganggap kharisma itu harus ada sejak lahir. Tapi, dia memberi contoh bagaimana George Forman yang dulu “menakutkan” sekarang malah “kharismatik” sesudah jadi bintang iklan. Lady Diana yang dulunya digelari “the Shy Di” akhirnya punya kharisma sangat tinggi ketika meninggal. Kuncinya?
Berikut tujuh komponen CQ tersebut:
1.SILENT MESSAGE.
Cara kita berpakaian maupun berbicara sambil mengatur “body language” sangat memengaruhi kesan pertama. Kalau di sini keliru, susah untuk menggunakan yang lain. Karena itu, “pancarkan” Silent Message sesuai dengan yang kita maui.
2.SPEAKING SKILL.
Semua politisi, selebriti, pemimpin harus “nyaman” melakukan public speaking. Menurut riset, pada umumnya yang paling ditakuti orang adalah “public speaking”, sedang kematian ada di ranking tiga. Nasihatnya adalah bicaralah dengan One Goal dan pelajari audiens kita sebelum bicara.
3.LISTENING SKILL
Empat puluh lima persen waktu seharusnya dipakai untuk mendengarkan orang lain. Tentunya dengan atensi dan kejujuran untuk mendengarkan. Dengan demikian, kita akan menunjukkan respek pada orang itu dan kita akan punya kharisma.
4.PERSUASIVE TALENT
Skill untuk persuasi secara benar dalam kejujuran untuk menolong orang lain sangat ampuh. Tidak ada orang yang mau di-jualin tapi semua orang suka dibantu. Karena itulah, cobalah mengerti dan mem-persuade orang untuk membantu dia. Sekali dia menerima tawaran Anda, Anda akan berkharisma ke dia.
5. USE SPACE OF TIME
Berusahalah lebih “dekat” pada orang lain karena kedekatan akan menimbulkan kharisma. Bukan sebaliknya untuk menjaga wibawa.  Selain itu, berusahalah selalu menepati janji “on time” bahkan datanglah sebelumnya. Harga diri Anda tercermin di situ.
6. VISION
Orang yang terlihat visinya dengan jelas dan disertai passion untuk mencapainya selalu akan menimbulkan kharisma bagi orang lain. Orang akan “kagum” karena belum tentu dia punya visi seperti itu.
7. ADAPATABILITY
Berusahalah untuk selalu cepat melakukan adaptasi pada suatu situasi baru. Jangan “memaksakan” gaya Anda sendiri. Berusahalah menyesuaikan diri pada orang lain.
Ketujuh hal ini oleh Dr Tony Alessandra yang menulis banyak buku tentang Kharisma, disebut Komponen Kharisma. Lihat diri kita sendiri, carilah mana yang kita sudah punya dan mana yang belum. Tidak perlu punya semuanya, paling tidak ada satu atau dua yang bisa 100 persen. Tapi kalau kita bisa semuanya maka kharisma kita akan naik.
Selamat mencoba oleh-oleh dari Crystal Serenity ini!

Agar customer tak pindah ke lain hati

http://marketing.co.id/service/2011/07/08/agar-customer-tak-pindah-ke-lain-hati/


Melayani konsumen bukan pekerjaan mudah. Apalagi menyangkut garapan bisnis yang menyasar niche market. Pasalnya, karakteristik konsumen di pasar ini cenderung kritis. Lambat melayani, bisa ditinggalkan.
Dalam ilmu kesehatan ada pepatah ”lebih baik mencegah daripada mengobati”. Soalnya, kalau sudah sampai pada tahap mengobati, banyak yang harus dikeluarkan; biaya, tenaga, pikiran dan perasaan. Pepatah ini bisa juga diterapkan pemasar dalam men-treatment pelanggan. Jangan sampai mereka keburu kecewa sehingga lepas dari genggaman. Sebab, kalau sudah lepas, banyak yang harus dikorbankan. Itu pun belum tentu menjamin “sembuh”. Pelanggan yang telanjur kecewa akan berat hati untuk kembali lagi. Karena itu, barangkali penting bagi pemasar untuk mencermati syair Katon Bagaskara agar pelanggan “tak pindah ke lain hati”.
Salah satu perusahaan yang mengadopsi pepatah di atas dalam divisi Customer Service-nya (CS) adalah Soewarna Business Park (SBP). Perusahaan yang menawarkan jasa lahan, kantor, dan pergudangan di area Bandara Soekarno-Hatta ini memang paling berkepentingan terhadap kepuasan layanan konsumen. Bayangkan bila mereka kehilangan sedikit saja dari 60 customer, yang semuanya perusahaan besar itu, dampaknya pasti langsung terasa. Makanya, SBP tidak mau main-main dengan fasilitas layanan konsumennya.
Agaknya, perusahaan yang menyebut pelanggannya sebagai community itu relatif gampang mengintip keinginan pelanggan. Tapi tunggu dulu, bukan berarti mudah pula memenuhi kepuasan pelanggan segmented seperti itu. Naluri ketanggapan yang cepat dan cerdik dalam memberikan berbagai fasilitas layanan kudu dipunyai. Dengan kata lain, fasilitas layanan mereka tak boleh yang standar-standar saja, apalagi harus diminta dulu. Kiatnya, seperti dituturkan Ishak Chandra, Senior GM Operation SBP, ialah selalu berusaha mendahului apa yang akan menjadi kebutuhan customer sebelum itu jadi sesuatu yang mendesak. Misalnya, perkembangan IT yang makin canggih mengharuskan pihaknya memprediksi kebutuhan-kebutuhan pelanggan di masa mendatang. Dengan cara inilah, SBP berharap persaingan tetap bisa dimenangkan.
Tampaknya, kiat mereka cukup berhasil. Padahal, kalau dilihat dari sisi harga, yang ditawarkan SBP jauh lebih besar –mencapai 8 kali lipat dari perkantoran lain. “Konsep kepuasan pelanggan kami adalah memberikan yang mereka butuhkan secara lebih. Tidak perlu menunggu mereka meminta dulu pada kita,” kata Chandra.
Baru-baru ini, SBP yang menguasai lahan seluas 102 Ha yang “dipinjam” dari Angkasa Pura, kembali melakukan terobosan lewat fasilitas layanan terbarunya. Februari lalu, bekerja sama dengan pihak bea cukai, mereka merealisasikan sistem layanan keluar-masuk barang secara on line. Sistem baru yang diberi nama Lease Line itu diberikan untuk memudahkan para tenant SBP mengatur arus keluar-masuk barang. Berbeda dengan sistem lama yang masih manual, sistem ini bekerja secara cepat dan hanya memerlukan interaksi dengan satu orang. Sisanya secara elektronik. Ini merupakan jawaban atas kebutuhan yang diperkirakan akan menjadi tuntutan paratenant. “Kami berikan sebelum ini dituntut para tenant kami,” tegasnya.
Namun, pemberian fasilitas layanan terbaru itu bukan pekerjaan mudah. Setidaknya, SBP butuh tiga tahun hingga sistem tersebut dapat diimplementasikan. Pasalnya, SBP harus melibatkan pihak bea cukai sebagai pemegang otoritas keputusan. Proses panjang yang mengedepankan rasa saling percaya kedua pihak itu akhirnya disepakati dalam perjanjian Memorandum of Understanding.
Memang sih sudah seharusnya kepentingan para klien “diperjuangkan” habis-habisan, meskipun harus meyakinkan pihak lain. Apalagi, tujuan dari pengadaan sistem itu untuk kenyamanan dan kecepatan layanan yang dibutuhkan klien. Pada gilirannya, langkah itu akan memberikan keuntungan besar bagi perusahaan penawar jasa tersebut. (Tajwini Jahari/Rofian Akbar)

Mengelola Emosi untuk Mendongkrak Penjualan


http://buku.marketing.co.id/2011/07/07/mengelola-emosi-untuk-mendongkrak-penjualan/

Sejak lama, emosi diabaikan dari ranah rasionalitas dan efisiensi. Namun, penemuan baru dalam bidang psikologi menunjukkan bahwa pada dasarnya manusia membuat keputusan secara emosional. Sayangnya, banyak akademisi dan perusahaan yang tidak memahami hal ini dan tidak bertindak atas dasar realitas ini.


Buku Dan Hill ini dibangun menggunakan premis “facial coding,” sebuah sarana untuk mengukur dan mengelola respon emosi pelanggan. Hasil akhir dari analisis facial coding dapat digunakan untuk menyempurnakan strategi branding, rancangan produk, iklan, penjualan, kepuasan pelanggan, kepemimpinan, dan manajemen karyawan agar semakin efektif dan tepat sasaran.
Konsep facial coding sederhana saja, meskipun praktiknya cukup rumit: setiap ekspresi menekankan situasi tertentu. Ekspresi-ekspresi ini biasanya mengalir begitu saja, tetapi dengan analisis yang cermat bisa dimanfaatkan untuk mengukur reaksi subjek terhadap iklan, produk, dan sebagainya. Reaksi-reaksi yang terungkap melalui analisis ekspresi wajah terkadang berbeda bahkan bertentangan dengan apa yang dikatakan individu yang sama ketika mendeskripsikannya secara verbal. Contohnya, meskipun perasaan muak tersirat dalam muka seseorang ketika melihat sebuah iklan, orang yang sama mungkin mengatakan bahwa ia menyukainya.
Hill menyajikan dalam bab awal tentang bagaimana cara kerja facial coding termasuk menggunakan sejumlah ilustrasi dari “seven core emotions” yang menampilkan ekspresi terkejut, takut, marah, muak, sedih, puas, dan senang. Ia juga mencatat bahwa rasa senang ditunjukkan melalui senyuman tulus. Senyuman yang basa-basi hanya melibatkan mulut dan kemungkinan mengindikasikan subyek berbohong. Hill mengevaluasi iklan dalam dua dimensi: Impact dan AppealImpact adalah intensitas emosi yang ditunjukkan, sementara Appeal adalah ukuran dari aspek positif atau negatif emosi. Selain pembagian Impact/Appeal, Hill juga menggunakan dimensi waktu dalam menganalisis iklan seperti tayangan komersial di televisi. Emosi penonton bisa berubah sejalan dengan masa tayang iklan tersebut.
Hill menyajikan apa yang ia sebut sebagai Emotionomics Matrix, semacam diagram berbentuk lingkaran yang berisi motivasi-motivasi dasar manusia: Mempertahankan diri diletakkan di tengah lingkaran, sementara Berkembang, Belajar, dan Bersekutu mengelilingi parameter. Emosi-emosi seperti marah, bahagia, dan muak diletakkan di berbagai titik, baik di dalam maupun di luar lingkaran. Hill mengacu pada diagram ini sebagai landasan mengurai seluruh pembahasannya.
Bagian terbaik Emotionomics adalah contoh aplikasi nyata dari facial coding. Salah satunya adalah contoh dalam industri otomotif. Sebuah perusahaan perakitan mobil meminta jasa firma Hill untuk mengevaluasi sebuah iklan cetak berskala nasional yang berisi permintaan maaf atas cacat produksi yang terjadi pada produk terbarunya. Analisis membuktikan bahwa kampanye itu mendapatkan respon negatif oleh kira-kira 80% pembacanya. Sepertiga dari mereka justru para pemilik mobil terbaru itu—karena iklan tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa pemilik baru telah terjebak membeli mobil rongsokan.
Secara umum, Emotionomics ingin mengatakan bahwa orang bereaksi secara emosional terhadap iklan dan produk yang mereka konsumsi. Contoh-contoh yang sangat kaya, yang menggambarkan pemisahan antara respon yang diucapkan dengan respon yang sesungguhnya terhadap sebuah iklan atau produk, dan penjelasan yang meyakinkan mengenai mengapa beberapa produk dan kampanye iklan berhasil dan mengapa yang lain tidak berhasil, membuat Emotionomics menjadi sebuah buku yang wajib dibaca setiap marketer yang menginginkan pemahaman baru terhadap prilaku konsumen.

Omzet Naik Dengan Senyum

http://marketing.co.id/service/2011/06/01/omzet-naik-dengan-senyum/


Perasaan di dunia customer service, aturan pertama adalah tidak boleh marah. Sebagai seseorang yang melayani pelanggan, pasti banyak dihadapkan dengan hal-hal yang bernada negatif. Mungkin saja, karena pelanggan kecewa akan produk/layanan yang diterimanya tidak sesuai harapan. Meskipun kadang juga salah perkiraan dari sang pembeli sendiri.
Beberapa hari lalu, saya pergi makan siang di satu depot kwe tiau di Surabaya. Berhubung masih ‘fresh‘ di Surabaya, masih belum sadar kalau tarif parkir sudah naik menjadi Rp 1500. Singkat saja saya beri satu lembaran seribuan. Ternyata si jukir mulai berulah tapi lucu dan menyenangkan, sambil menunjukan karcis parkir yang sudah naik. Kita sebagai orang yang diminta untuk membayar lebih jadi lebih rela untuk menerima, bahkan tertawa sampai kilometer berikutnya.
Contoh lain adalah kedai ice cream cepat saji di Chicago, yang mempunyai konsep mencampur ice cream pilihan pelanggan di atas marmer dingin. Tergantung ukuran yang dipilih, cukup membutuhkan tenaga untuk mengaduk ice cream yang masih keras di atas marmer dengan sendok besar. Para pekerja ini sangat mengandalkan tip sebagai pendapatkan mereka, di atas gaji dasar yang minimal. Lucunya, tiap kali pelanggan memasukan uang kecil ke kotak tip, para pelayan mulai bernyanyi untuk berterima kasih sambil mengaduk ice cream. Seru bukan?!
Masih banyak lagi cerita tentang layanan terhadap pelanggan yang berdampak positif, hanya dengan melakukan hal-hal sepele yang notabene tidak perlu bayar atau modal extra. Nyanyi sebisanya tidak apa koq.
Di era globalisasi, cara untuk mendapatkan barang dari para pemasok luar negeri begitu mudah. Anggap saja modal sudah tersedia, namun persaingan masih ada. Di Indonesia, kecenderungan justru mengarah ke banting harga atau adu harga, yang tidak sehat dan berdampak pada para penjual-penjual sendiri. Oleh karena itu, sudah mulai harus diterapkan barisan customer service yang handal dan siap melayani, termasuk dengan senyuman tadi.
Customer service bukan hanya berarti layanan setelah proses jual, tapi juga layanan sebelum proses jual, guna menarik pelanggan baru. Dengan begitu pentingnya barisancustomer service untuk bersaing, saya rasa tidak heran untuk beberapa tahun ke depan adalah era persaingan customer service. Merekalah pententu kesuksesan suatu perusahaan.
Selamat melayani…

Belajar dari Kasus Sempati Air

http://marketing.co.id/service/2011/07/01/belajar-dari-kasus-sempati-air/
JULY 01, 2011



Pelanggan punya ekspektasi besar yang harus dikelola secara baik. Service yang tidak sesuai mengakibatkan kaburnya pelanggan.
Nama Sempati Air sempat membubung setinggi awan yang biasa dilalui pesawat ini setiap kali mengantar penumpangnya. Terobosan yang dilakukan Hasan Sudjono benar-benar berhasil melejitkan awareness Sempati Air di kancah industri penerbangan.
Keberhasilannya mendongkrak popularitas merek Sempati Air dipuji oleh berbagai kalangan. Sukses tersebut merupakan sisi lain dari tugas marketing yang dilaksanakan manajemen perusahaan ini. Namun, di sisi lainnya, merek ini dinilai over promise tetapi under deliver. Padahal di dalam service tidak boleh sekali-kali mengkhianati janji terhadap pelanggan.
Sempati Air pada akhirnya gulung tikar. Kejatuhan perusahaan ini bukan semata-mata lantaran janji yang tidak ditepati dengan baik. Banyak faktor yang mempengaruhinya, termasuk manajemen. Namun kiranya menarik untuk membahas Sempati pernah mengumbar janji kepada pelanggannya, yang dari sisi marketing bisa menjadi kesalahan fatal.
Menurut Yuliana Agung, boleh saja sebuah merek secara sengaja melakukan over promise, tetapi dia mesti benar-benar bisa over deliver. Karena pada hakikatnya, bermain di layanan harus seperti itu. Jangan sampai pelanggan hanya melihat dari satu sisi saja, yakni over promise. Jika tidak mampu, maka sebaiknya “under promise” tetapi sebisa mungkin menjadi over deliver. “Itulah service, di mana harapan pelanggan harus dikelola dengan baik,” kata CEO Center for Customer Satisfaction & Loyalty ini.
Di sini, Yuliana melihat kesalahan fatal yang dilakukan Sempati adalah “over promise” tetapi “under deliver”. Meskipun kegagalan itu diakuinya disebabkan oleh banyak kasus, bukan cuma di marketing. “Kegagalannya sudah jelas bahwa Sempati Air over promise dan under deliver,” tegasnya.
Sebelum rontok, maskapai penerbangan ini banyak melakukan manuver yang mencengangkan dari sisi marketing dengan memberikan berbagai value kepada pelanggannya. Sempati bahkan sangat berani memberi kompensasi denda diri (berupa voucher) pada setiap keterlambatan yang terjadi. Pantas saja jika merek ini langsung terangkat. Malangnya, penerbangan mereka malah banyak yang delay. Hingga akhirnya perusahaan terlilit hutang yang mencapai Rp 800 miliar.
Menurut Yuliana, yang sulit di dalam service adalah menjaga konsistensi antarapromise dan deliver-nya. Konsistensi ini sangat penting, karena jika keduanya tidak seimbang (kecuali deliver-nya melebihi promise), sangat berbahaya. Selain itu, konsistensi di dalam service tidak boleh berjalan stabil, perlu improvisasi. Sebab, antara promise dan deliver yang diberikan untuk yang pertama kali biasanya merupakan surprise. Yang kedua juga masih surprise. Tetapi jika sudah yang ketiga, bukan surprise lagi, melainkan sudah menjadi hal yang standar. “Itulah uniknyaservice. Kepuasan pelanggan itu dinamis. Selalu berubah-ubah harapannya,” katanya.

3P Tambahan

Service merupakan bagian dari marketing mix. Namun, bauran pemasaran yang terdiri dari 4 P (product, price, place dan promotion) ini tidak cukup lagi, mengingat persaingan sudah sangat ketat. Karena itu, para ahli menambahkannya dengan 3P lainnya, yaitu physical evidence, process dan people. Ketiga aspek tambahan dalam bauran pemasaran ini sejatinya berbicara mengenai service.
Nah, kedudukan service di dalam marketing sangat jelas. Physical evidence danprocess sangat penting diperlihatkan atau dirasakan sebagai upaya menampilkanexperience bagi customer. Sedangkan people (SDM) juga menjadi bagian yang tidak kalah pentingnya karena segala sesuatu yang ingin dideliver membutuhkan SDM.
Yuliana memberi contoh, jika jualan resto, sebenarnya yang dicari pelanggan adalah enaknya. Dan biasanya, orang mencari resto karena dua alasan: enak dan murah. Indikasi bahwa resto tersebut menawarkan kedua benefit tadi bisa dilihat dari ramainya pelanggan yang berkunjung.
Tetapi, kedua alasan itu (enak dan murah) hanyalah outcome. Di balik itu, yang menentukan adalah process, pshysical evidence dan people. Sedangkan kedua alasan tadi tidak termasuk ke dalam tiga aspek tambahan dalam bauran pemasaran. Karena itu, yang sebenarnya dicari dari kedua alasan tadi adalah kecepatan dalam pelayanan—ini merupakan bagian dari proses. “Bukan outcome yang menyebabkan orang balik lagi. Orang berpikir makanannya enak. At the end, enak dan murah. Padahal kepuasan  dibangun karena prosesnya bagus. Nah, inilah yang menyebabkan proses itu penting di dalam service,” kata Yuliana.
Lalu, soal people. Bayangkan jika SDM-nya kasar, bermuka masam, tidak sopan. Seenak dan semurah apa pun yang ditawarkan, orang tidak akan kembali. Kalau toiletnya tidak bersih, piringnya kotor, tusuk giginya kotor dan segala macamnya lainnya kotor; maka makanan yang seharusnya enak bakal menjadi tidak enak. Semurah apa pun harga yang ditawarkan, orang tidak mau lagi membelinya. Karena itulah physical evidence menjadi penting dalam service. Hal ini ditunjukkan dengan kondisi tempat yang bagus, bersih, dan higienis.
Tidak diragukan lagi, peran service di dalam marketing sangat penting. Apalagi di era sekarang dan yang akan datang, di mana persaingan semakin ketat. Komponenservice ini akan menjadi semakin penting karena di dalamnya bisa menyediakanpeople yang bagus, process yang cepat dan fair serta aspek tangible-nya seperti gedung, peralatan dan sebagainya yang menunjang, membentuk total added value dari seluruh yang ditawarkan.
Nah, kesalahan-kesalahan di dalam service dalam konteks pengelolaan brand, menurut Yuliana, sering terjadi karena pemahaman yang berbeda. Misalnya, layanan yang diberikan tidak sesuai dengan target market. Di sinilah pemberian layanannya sering berlebihan. Sebagai contoh, orang ke restoran tahu-tahu diberikan refleksi. Diexecutive lounge (katakanlah untuk sebuah kartu kredit) disediakan refleksi.
Hal itu berlebihan dan menjadi costly atau memakan biaya tinggi. Seharusnya, ungkap Yuliana, service tidak perlu sampai begitu. Karena kalau tidak memakan biaya bisa menjadi added value yang berguna.
Berkaitan dengan itu, Yuliana menyarankan beberapa hal. Pertama, melakukan segementasi dahulu. Sebab, kalau segmentasi sudah salah akan sulit untuk memberikan layanan-layanan yang ditanggapi oleh pelanggan. Pendefinisian serviceitu sendiri bisa menjadi kabur, tidak kena sasaran.
Kedua, jangan salah memposisikan service itu sendiri. Positioning servis untuk produk-produk yang tangible, jelas untuk memperkuat posisi. Sehingga, servis ini tidak berdiri sebagai suatu layanan yang terpisah. Dia akan memperkaya core positioning dari produk yang dijual. “Salahnya, servis itu seringkali hanya supportingsaja,” kata Yuliana.
Untuk menghindari kesalahan di atas, ia menyarankan pemasar agar mendefiniskan dahulu tentang service. Hal itu menjadi penting karena yang mendeliver service bukan mesin, melainkan manusia. Semua anggota tim harus memiliki persepsi yang sama karena dalam service yang dibutuhkan adalah konsistensi.