Monday, October 30, 2017

Menjadi Jokowi

http://www.yuswohady.com/2012/01/14/menjadi-jokowi/
by yuswohady

Random header image... Refresh for more!

Sebelum demam mobil Esemka menyeruak di koran-koran beberapa hari lalu, terus terang selama ini saya berpikir bahwa membuat mobil nasional (mobnas) itu pekerjaan paling sulit di dunia. Kenapa begitu? Karena sudah berkali-kali bangsa ini merintis proyek mobnas tapi proses yang dilalui seperti benang ruwet dan ujung-ujungnya gagal hancur-lebur, persis banget kasus Bank Century

Jalannya betul-betul berliku. Pertengahan 1990-an Mazda membuat MRalias Mobil Rakyat, lalu Habibie yang Menristek waktu itu merintis Maleo, kemudian Tommy Soeharto tampil dengan Timor, Bambang Trihatmojo tak mau kalah bikin Hyundai Accent, lalu Grup Bakrie dengan mobil B-97, terakhir PT Dirgantara Indonesia tak mau kalah merintis mini car Gang Car. Hampir semua rintisan mobnas itu pekat beraroma politik, ditekak-tekuk, dan akhirnya gagal total.
SMK Bisa
Membaca berita Esemka saya seperti tersambar petir. Saya kaget luar biasa karena dulu-dulu konglomerat sekelas Bakrie atau Bimantara saja KO merintis mobnas; anak presiden se-powerful Tommy Soeharto KO merintis mobnas; ikon tenologi selegendaris Habibie KO merintis mobnas; eh sekarang tiba-tiba kita mendengar anak-anak SMK begitu perkasa merintis mobnas… ruarrrr biasa!!! Serta-merta saya pun kemudian berpikir: “Ooh, bikin mobnas itu pekerjaan paling gampang di dunia, buktinya anak SMK aja bisa… ehem-ehem”.
Saya mohon ampun, karena selama ini meremehkan SMK. Saya juga mohon ampun kalau memandang sebelah mata slogan “SMK Bisa”; ya karena saya pikir itu hanyalah slogan kosong yang hobi dilakukan birokrat kita. Saya mikir, wong universitas, akademi, atau politeknik saja masih banyak yang menjadi pabrik pengangguran, apalagi SMK. Saya masih berpikir SMK itu kayak SMEA atau STM jaman saya muda dulu yang sering dianggap sebagai sekolah untuk menampung “anak buangan”.
Keberhasilan SMK menelorkan Esemka membuktikan kepada kita semua bahwa SMK memang bisa. Slogan “SMK Bisa” bukan pepesan kosong. Tak hanya, itu kerja keras anak-anak muda negeri ini mengusik rasa nasionalisme kita semua dari Sabang sampai Merauke. Mereka membangkitkan kebanggaan kita sebagai bangsa besar, bukan bangsa kecoa. Mereka menebarkan aura positif yang menyejukkan di tengah goncang-ganjing kealpaan bangsa ini yang tiap hari membombardir otak kita — Nazaruddin, toilet seharga 2M, sandal untuk Kapolri, kisruh PSSI.
Gadis Molek
Esemka punya nilai strategis luar biasa di tengah Indonesia yang menggeliat menjadi bangsa besar. Tahun 2050 Indonesia menjadi kekuatan ekonomi no 4 di dunia. Dengan jumlah penduduk besar, ukuran pasar kita bakal gedhe luar biasa (tahun 2011 telah mencapai Rp 3500 triliun). Kekuatan pasar dalam negeri itu akan berpotensi menjadi driver bagi perekonomian kita yang solid dan mandiri. Ingat, kini 60% GDP kita di-drive oleh konsumsi domestik. Dengan semua itu, maka kini Indonesia adalah gadis dusun yang molek bukan main. Seluruh merek global kepincut kepadanya.
Kekuatan besar pasar domestik itu akan sangat powerful jika dibelanjakan ke produk-produk lokal kita: batik lokal, pariwisata lokal, buah lokal, hingga (insya Allah) mobil lokal. Karena dengan begitu maka batik lokal akan berkembang, pariwisata lokal akan berkembang, agrobisnis lokal akan berkembang, industri otomotif lokal akan berkembang. Ketika semua industri lokal itu berkembang, maka pengrajin batik lokal akan makmur, petani buah lokal akan makmur, dan teknisi perakit Esemka (sekali lagi insya Allah) akan makmur. Ketika kita semua makmur, maka ini bakal melipatgandakan kekuatan pasar domestik kita yang akan makin perkasa.
Nasionalisme Merek
Dengan logika seperti itu, saya meramalkan bahwa sentimen nasionalisme merek lokal bakal marak di Indonesia. Wajar saja, karena kita tak mau hanya menjadi bangsa penikmat. Nurani kita terusik jika kita hanya dijadikan pasar oleh merek-merek hebat dunia. Kita harus menjadi pemain tangguh (bukan pemain kelas teri) di negeri sendiri. Caranya, kita harus manfaatkan potensi captive pasar domestik yang luar biasa besar di atas untuk mempertangguh merek-merek lokal kita.
Contohlah Cina. Dengan kekuatan pasar luar biasa dengan 1,3 miliar manusia, Cina tahu persis bahwa dia punya bargaining position lebih kuat melawan merek-merek asing. Karena itu siapapun yang mau ikutan menghisap manisnya madu pasar Cina harus tunduk pada aturan-aturan yang diberlakukan pemerintah. Skenarionya gampang ditebak, bahwa aturan itu dirancang untuk mendewasakan dan mempertangguh (bukan sekedar melindungi secara membabi-buta) merek-merek lokal Cina.
Nasionalisme Konsumen
Ketika Esemka sudah digulirkan, maka kini kita semua dari Sabang sampai Merauke ditantang dan diuji nasionalismenya. Sebut saja ini nasionalisme modern, bukan nasionalisme dar-der-dor merebut kemerdekaan. Nasionalisme melalui pembangunan merek lokal yang menyejahterakan rakyat kebanyakan. Nasionalisme melalui penggunaan produk-produk berkualitas hasil karya anak negeri. Sebagai konsumen kita ditantang untuk bangga menggunakan Esemka.
Jokowi adalah orang hebat. Ia menjadi model nasionalisme konsumen yang menjadi panutan kita semua. Dengan perkasa dia menunjukkan kebanggaannya memakai mobil lokal ciptaan anak negeri. Ia juga menjadi powerful evangelist yang ngomong di mana-mana mengenai hebatnya Esemka. Jokowi adalah pahlawan kita semua. Pahlawan modern kita, setali tiga uang kepahlawanannya dengan Panglima Besar Jendral Sudirman.
Berkorban
Saya salut pada jawaban jujur Jokowi ketika ditanya wartawan, apakah Esemka memang hebat? Jawaban sang walikota: “Sejauh ini oke, tapi kalaupun nanti tidak oke, ya nggak papa, kita perbaiki terus-menerus.” Sebuah jawaban yang lugas khas Dahlan Iskan.
Mengatakan bahwa Esemka lebih hebat dari Toyota atau Honda itu namanya ngelindur. Kalau Esemka kalah kualitas dibanding Toyota, itu pasti. Justru karena itu kita sebagai konsumen dituntut “berkorban” memberikan kesempatan kepada anak negeri untuk terus membangun dan memperbaiki diri dengan cara membelinya. Inilah esensi nasionalisme konsumen. Kalau Esemka tak ada yang beli, mana ada kesempatan emas itu?
Saya bermimpi ada jutaan orang seperti Jokowi di negeri ini. Presiden, menteri, gubernur, anggota DPR, petinggi partai, koruptor, penyuap, ketua FPI, bupati, camat, lurah, demonstran, aktivis LSM, pengusaha, petani, ibu rumah tangga, mahasiswa, semua. Seperti Jokowi mereka bangga menggunakan produk anak negeri. Di mana-mana mereka ngomong kehebatan produk lokal. Mereka menjadi salesman dan ambasador semua-semua yang lokal: buah lokal, batik lokal, kuliner lokal, warung lokal, laptop lokal, sepatu lokal, motor lokal, ponsel lokal. Kalau mimpi saya ini kejadian, saya jamin 1000% ekonomi kita bakal mampu melibas raksasa Cina.
Mari menjadi Jokowi.

CROWD “Marketing Becomes Horizontal” – Manifesto #3: Your Core Competence Is CONNECTING the Customers

http://www.yuswohady.com/2008/08/19/e-wmc2-manifesto-3-your-core-competence-is-connecting-the-customers/
by yuswohady

Random header image... Refresh for more!

* Ini adalah tulisan berseri saya mengenai E = wMC2 di Majalah Warta Ekonomi bulan Agustus 2008
Anda tak akan membantah bahwa pelanggan adalah modal paling krusial dari sebuah perusahaan. Pelanggan adalah “nyawa” perusahaan Anda!!! Pelanggan adalah “darah” yang mengalir di dalam nadi perusahaan Anda!!! Tanpa “aliran” pelanggan perusahaan Anda akan pucat pasi, loyo, kering-kerontang, dan akhirnya mati membusuk tanpa bekas. Kalau memang begitu, pertanyaan saya: Pelanggan jenis apa yang membuat perusahaan Anda kokoh dan sustainable? “Darah” macam apa yang paling baik “mengaliri” nadi-nadi perusahaan Anda?
Reeds Law
Reed's Law
Apakah jumlah pelanggan banyak, yang setiap kali membeli produk Anda? Apakah pelanggan yang 100% puas pada produk Anda? Atau, apakah pelanggan yang loyal abis pada merek Anda? Dulu repeat buyers, satisfied consumers, dan loyal customers memang sangat penting, namun kini ketika semua perusahaan mampu melakukannya, itu semua menjadi generik. Lalu, (balik lagi) jenis pelanggan macam apa yang menjamin sukses jangka panjang Anda?
Jawabnya adalah apa yang saya sebut advocate customers. Mereka adalah pelanggan yang tak hanya puas atau loyal, tapi lebih jauh lagi mati-matian “membela” Anda. Mereka layaknya “jihad”, yang mau berkorban bagi merek Anda sampai ke “titik darah penghabisan”. Mereka secara sukarela memberikan rekomendasi kepada pelanggan lain untuk membeli produk Anda. Mau contoh? Lihat pelanggan Harley-Davidson; lihat pelanggan Apple Machintos; lihat alumni pelatihan ESQ. They’re your truly sales force!!! They’re your ultimate equity.
Kalau advocate customers menjadi modal paripurna bagi Anda, pertanyaan saya berikutnya: “Bagaimana kita menciptakan dan membangunnya?” Yang jelas Anda tak akan bisa menciptakan pelanggan Jihad dengan alat komunikasi massal seperti iklan TV, radio, atau koran yang bersifat “vertikal” satu arah. Untuk membangun advocator customers Anda harus menggunakan pendekatan pemasaran “horizontal” dengan cara mengoneksikan pelanggan Anda satu sama lain.
Dalam pemasaran horisontal—saya lebih suka menyebutnya: “customers to customers (C2C) marketing”—merek Anda harus mampu memfasilitasi terjadinya interaksi pelanggan satu dengan pelanggan lainnya. Semakin intens interaksi itu, maka semakin kokohlah basis pelanggan Anda, dan ujung-ujungnya semakin kokoh pula daya saing Anda. Itulah yang dilakukan Harley-Davidson dengan Harley Owners Group (HOG); Begitu juga Apple dengan komunitas Mac-nya.
Jadi di sini, interaksi intens tak hanya terjadi antara pelanggan deng
an merek Anda, tapi justru yang lebih penting adalah interaksi antara pelanggan satu dengan pelanggan lainya secara “horizontal”. Karena kenyataan tersebut, koneksivitas pelanggan (customer connectivity) menjadi sangat krusial dalam C2C Marketing. Daya saing dan kesuksesan perusahaan Anda akan ditentukan oleh seberapa dalam dan seberapa berkualitas konektivitas ini.
Saking krusialnya customers connectivity ini, sampai-sampai saya menetapkannya sebagai salah satu manifesto E = wMC2. Saya katakan bahwa: “Your core competence is connecting your customers.” Menurut Hamel-Prahalad core competence (kompetensi inti) merupakan ”jantung” kemampuan bersaing perusahaan di mana bersumber core competence tersebut muncul bisnis-bisnis baru, pasar-pasar baru, maupun produk-produk baru.
Selaras dengan pemikiran Hamel-Prahalad, saya berani katakan bahwa customer connectivity akan menjadi “jantung” kemampuan bersaing Anda. Kemampuan Anda mengoneksikan pelanggan akan menjadi sumber kekuatan bersaing dan dari situ Anda akan mampu menciptakan bisnis-bisnis baru, pasar-pasar baru, maupun produk-produk baru. Customer connectivity is your ultimate source of competitiveness.
Bicara mengenai customer connectivity saya jadi teringat dua hukum paling ngetop di internet saat ini yang menjelaskan nilai dari internet connectivity. Hukum itu popular disebut Metcalfe’s Law dan Reed’s Law. Gampangnya, Metcalfe’s Law mengatakan bahwa nilai total sebuah jaringan (internet) akan bertambah seiring dengan kuadrat jumlah orang/komputer yang dikoneksikan (atau n2, jika n adalah jumlah orang/komputer yang dikoneksikan). Sementara Reed’s Law menyempurnakannya, dengan mengatakan bahwa, jika orang/komputer yang terkoneksi itu berinteraksi secara intens membentuk grup atau komunitas, maka nilai jaringan tersebut melonjak pesat secara eksponensial menjadi 2n.
Saya mencoba mengadaptasi hukum “internet connectivity” tersebut ke dalam konteks “customer connectivity”. Hukum adaptasi itu bunyinya begini: Jika Anda punya 15 pelanggan, tapi antar pelanggan tersebut tak saling kenal dan tak saling berinteraksi, maka nilai total ekuitas pelanggan (customer equity) anda tersebut sebesar n = 15. Jika 15 pelanggan yang Anda miliki tersebut saling terkoneksi dan saling mengenal, maka nilai total ekuitas pelanggan Anda (sesuai Metcalfe’s Law) sebesar n2 = 225. Tapi apabila ke-15 pelanggan tersebut tak hanya sekedar terkoneksi tapi lebih jauh lagi saling berinteraksi membentuk grup/komunitas maka nilainya akan melonjak secara eksponensial (sesuai Reed’s Law) menjadi 2n = 32.768. Dari 15 melonjak menjadi 225, lalu meroket menjadi 32.768: Wow!!!… sebuah peningkatan yang luar biasa fantastis.
Apa pesan yang Anda dapat dari dua hukum tersebut? Sederhana saja: Anda akan bisa melipatgandakan nilai ekuitas pelanggan Anda dengan cara mengoneksikannya satu sama lain. Anda bisa melipatgandakannya secara kuadratikal (n2) kalau pelanggan-pelanggan tersebut sebatas terkoneksi saja. Atau bahkan melipatgandakannya secara eksponensial (2n) jika Anda mampu menciptakan interaksi yang intens antar pelanggan tersebut di dalam sebuah medium komunitas.
Ingat manifesto #3 dari E = wMC2, bahwa: “Your core competence is CONNECTING the customers.”

Welcome Leisure Economy

http://www.yuswohady.com/2017/10/28/welcome-leisure-economy/
by yuswohady


Random header image... Refresh for more!


The Phenomenon
Dalam 3 bulan terakhir muncul diskusi publik yang menarik mengenai fenomena turunnya daya beli konsumen kita yang ditandai dengan sepinya Roxi, Glodok, Matahari, Ramayana, Lotus, bahkan terakhir Debenhams di Senayan City.
Anggapan ini langsung dibantah oleh ekonom karena dalam lima tahun terakhir pertumbuhan riil konsumsi masyarakat robust di angka sekitar 5%. Kalau dilihat angkanya di tahun ini, pertumbuhan ekonomi sampai triwulan III-2017 masih cukup baik sebesar 5,01%. Perlu diingat bahwa konsumsi masyarakat (rumah tangga) masih menjadi kontributor utama PDB kita mencapai 54%.
Sebagian pakar mengatakan sepinya gerai ritel konvensional tersebut disebabkan oleh beralihnya konsumen ke gerai ritel online seperti Tokopedia atau Bukalapak. “Gerai-gerai tradisional di Roxi atau Glodok telah terimbas gelombang disrupsi digital,” begitu kata pakar.
Kesimpulan ini pun misleading karena penjualan e-commerce hanya menyumbang 1,2% dari total GDP kita, dan hanya sekitar 0,8% (2016) dari total penjualan ritel nasional. Memang pertumbuhannya sangat tinggi (eksponensial) tapi magnitute-nya belum cukup siknifikan untuk bisa membuat gonjang-ganjing industri ritel kita.
Kalau konsumen tak lagi banyak belanja di gerai ritel konvensional dan masih sedikit yang belanja di gerai online, maka pertanyaannya, duitnya dibelanjakan ke mana?
The Consumers
Tahun 2010 untuk pertama kalinya pendapatan perkapita masyarakat Indonesia melewati angka $3000. Oleh banyak negara termasuk Cina, angka ini “keramat” karena dianggap sebagai ambang batas (treshold) sebuah negara naik kelas dari negara miskin menjadi negara berpendapatan menengah (middle-income country).
Ketika melewati angka tersebut, sebagian besar masyarakatnya adalah konsumen kelas menengah (middle-class consumers) dengan pengeluaran berkisar antara $2-10 perhari. Di Indonesia, kini konsumen dengan rentang pengeluaran sebesar itu telah mencapai lebih dari 60% dari total penduduk.
Salah satu ciri konsumen kelas menengah ini adalah bergesernya pola konsumsi mereka dari yang awalnya didominasi oleh makanan-minuman menjadi hiburan dan leisure. Ketika semakin kaya (dan berpendidikan) pola konsumsi mereka juga mulai bergeser dari “goods-based consumption” (barang tahan lama) menjadi “experience-based consumption” (pengalaman). Experience-based consumption ini antara lain: liburan, menginap di hotel, makan dan nongkrong di kafe/resto, nonton film/konser musik, karaoke, nge-gym, wellness, dan lain-lain.
Pergeseran inilah yang bisa menjelaskan kenapa Roxi atau Glodog sepi. Karena konsumen kita mulai tak banyak membeli gadget atau elektronik (goods), mereka mulai memprioritaskan menabung untuk tujuan liburan (experience) di tengah atau akhir tahun. Hal ini juga yang menjelaskan kenapa mal yang berkonsep lifestyle dan kuliner (kafe/resto) seperti Gandaria City, Gran Indonesia, atau Kasablanka tetap ramai, sementara yang hanya menjual beragam produk (pakaian, sepatu, atau peralatan rumah tangga) semakin sepi.
The Shifting
Nah, rupanya pola konsumsi masyarakat Indonesia bergeser sangat cepat menuju ke arah “experience-based consumption”. Data terbaru BPS menunjukkan, pertumbuhan pengeluaran rumah tangga yang terkait dengan “konsumsi pengalaman” ini meningkat pesat. Pergeseran pola konsumsi dari “non-leisure” ke “leisure” ini mulai terlihat nyata sejak tahun 2015 (Faisal Basri, 2017, lihat bagan).
Leisure vs Non-Leisure
Untuk kuartal II-2017 misalnya, konsumsi rumah tangga tumbuh 4,95%dari kuartal sebelumnya 4,94%. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga ini dinilai melambat lantaran konsumsi rumah tangga dari sisi makanan dan minuman, konsumsi pakaian, alas kaki, perumahan dan perlengkapan rumah tangga, (goods-based) hanya tumbuh tipis antara 0,03-0,17%. Sementara konsumsi restoran dan hotel (experience-based) melonjak dari 5,43% menjadi 5,87%. “Jadi shifting-nya adalah mengurangi konsumsi yang tadinya non-leisure untuk konsumsi leisure,” ucap Ketua BPS, Suhariyanto.
Studi Nielsen (2015) menunjukkan bahwa milenial yang merupakan konsumen dominan di Indonesia saat ini (mencapai 46%) lebih royal menghabiskan duitnya untuk kebutuhan yang bersifat lifestyle dan experience seperti: makan di luar rumah, nonton bioskop, rekreasi, juga perawatan tubuh, muka, dan rambut.
Sementara itu di kalangan milenial muda dan Gen-Z kini mulai muncul gaya hidup minimalis (minimalist lifestyle) dimana mereka mulai mengurangi kepemilikian (owning) barang-barang dan menggantinya dengan kepemilikan bersama (sharing). Dengan bijak mereka mulai menggunakan uangnya untuk konsumsi pengalaman seperti: jalan-jalan backpacker, nonton konser, atau nongkrong di coffee shop.
Berbagai fenomana pasar berikut ini semakin meyakinkan makin pentingngnya sektor leisure sebagai mesin baru ekonomi Indonesia. Bandara di seluruh tanah air ramai luar biasa melebihi terminal bis. Hotel budget di Bali, Yogya, atau Bandung full booked tak hanya di hari Sabtu-minggu, tapi juga hari biasa. Tiket kereta api selalu sold-out. Jalan tol antar kota macet luar biasa di “hari kejepit nasional”. Destinasi-destinasi wisata baru bermunculan (contoh di Banyuwangi, Bantul atau Gunung Kidul) dan makin ramai dikunjungi wisatawan.
Sektor pariwisata kini ditetapkan oleh pemerintah sebagai “core economy” Indonesia karena kontribusinya yang sangat siknifikan bagi perekonomian nasional. Saat ini sektor pariwisata merupakan penyumbang devisa kedua terbesar setelah kelapa sawit dan diproyeksikan 2-3 tahun lagi akan menjadi penyumbang devisa nomor satu. Ini merupakan yang pertama dalam sejarah perekonomian Indonesia dimana pariwisata menjadi tulang punggung ekonomi bangsa.
Tak hanya itu, kafe dan resto berkonsep experiential menjamur baik di first cities maupun second cities. Kedai kopi “third wave” kini sedang happening. Warung modern ala “Kids Jaman Now” seperti Warunk Upnormal agresif membuka cabang. Pusat kecantikan dan wellness menjamur bak jamur di musim hujan. Konser musik, bioskop, karaoke, hingga pijat refleksi tak pernah sepi dari pengunjung. Semuanya menjadi pertanda pentingnya leisure sebagai lokomotif perekonomian Indonesia.
The drivers
Kenapa leisure-based consumption menjadi demikian penting bagi konsumen dan mereka mau menyisihkan sebagian besar pendapatan untuk liburan atau nongkrong di kafe/mal? Setidaknya ada beberapa drivers yang membentuk leisure economy.
#1. Consumption as a Lifestyle. Konsumsi kini tak hanya melulu memenuhi kebutuhan dasar sandang, pangan, papan. Konsumen kita ke Starbucks atau Warunk Upnormal bukan sekedar untuk ngopi atau makan, tapi juga dalam rangka mengekspresikan gaya hidup. Ekspresi diri sebagai bagian inhenren dari konsumsi ini terutama didorong maraknya media sosial terutama Instagram.
#1. From Goods to Experience. Kaum middle class milennials kita mulai menggeser prioritas pengeluarannya dari “konsumsi barang” ke “konsumsi pengalaman”. Kini mulai menjadi tradisi, rumah-rumah tangga mulai berhemat dan menabung untuk keperluan berlibur di tengah/akhir tahun maupun di “hari-hari libur kejepit”. Mereka juga mulai banyak menghabiskan waktunya untuk bersosialisasi di mal atau nongkrong di kafe sebagai bagian dari gaya hidup urban.
#2. More Stress, More Travelling. Dari sisi demand, beban kantor yang semakin berat dan lingkungan kerja yang sangat kompetitif menjadikan tingkat stress kaum pekerja (white collar) kita semakin tinggi. Hal inilah yang mendorong kebutuhan leisure (berlibur, jalan-jalan di mal, atau dine-out seluruh anggota keluarga) semakin tinggi.
#3. Low Cost Tourism. Dari sisi supply, murahnya tarif penerbangan (low cost carrier, LCC) yang diikuti murahnya tarif hotel (budget hotel) menciptakan apa yang disebut: “low cost tourism”. Murahnya biaya berlibur menjadikan permintaan melonjak tajam dan industri pariwisata tumbuh sangat pesat beberapa tahun terakhir.
#4. Traveloka Effect. Momentum leisure economy semakin menemukan momentumnya ketika murahnya transportasi-akomodasi kemudian diikuti dengan kemudahan dalam mendapatkan informasi penerbangan/hotel yang terbaik/termurah melalui aplikasi seperti Traveloka. Kemudahan ini telah memicu minat luar biasa dari seluruh lapisan masyarakat untuk berlibur. Ini yang saya sebut Traveloka Effect.

Monday, October 16, 2017

15 Customer Service Skills that Every Employee Needs

https://www.helpscout.net/blog/customer-service-skills/
GREGORY CIOTTI

content-image

There are certain customer service skills that every employee must master if they are forward-facing with customers.
Without them, you run the risk of finding your business in an embarrassing customer service train-wreck, or you'll simply lose customers as your service continues to let people down.
Luckily, there are a few universal skills that every support member can master that will dramatically improve their conversations with customers.
Below I'll cover the 15 most-needed skills to master this incredibly important position.

The Customer Service Skills that Matter

When most business publications talk about customer service skills, things like "being a people person" tend to take the spotlight.
It's not that this trait is outright wrong, but it's so vague and generic that it is hardly a help to those looking to get involved in support positions within a company, and certainly doesn't help out entrepreneurs/founders who are looking for the right set of skills when hiring the all-important folks who will be taking care of their customers.
With that said, let's get into some specific skills that every support employee can master to "WOW" the customers that they interact with on a daily basis...

1. Patience

If you don't see this near the top of a customer service skills list, you should just stop reading.
Not only is patience important to customers, who often reach out to support when they are confused and frustrated, but it's also important to the business at large: we've shown you before that great service beats fast service every single time.
Yet patience shouldn't be used as an excuse for slothful service either!
Derek Sivers explained his view on "slower" service as being an interaction where the time spent with the customer was used to better understand their problems and needs from the company.
If you deal with customers on a daily basis, be sure to stay patient when they come to you stumped and frustrated, but also be sure to take the time to truly figure out what they want — they'd rather get competent service than be rushed out the door!

2. Attentiveness

The ability to really listen to customers is so crucial for providing great service for a number of reasons.
Last week I went over a few customer feedback systems, and long before that I showed you the data on why listening to customer feedback is a must for many businesses who are looking to innovate.
Not only is it important to pay attention to individual customer interactions (watching the language/terms that they use to describe their problems), but it's also important to be mindful and attentive to the feedback that you receive at large.
For instance, customers may not be saying it outright, but perhaps there is a pervasive feeling that your software's dashboard isn't laid out correctly. Customers aren't likely to say, "Please improve your UX!", but they may say things like, "I can never find the search feature," or, "Where is the _____ function at again?"
What are your customers telling you without saying it?

3. Clear Communication Skills

Make sure you're getting to the problem at hand quickly; customers don't need your life story or to hear about how your day is going.
More importantly, you need to be cautious about how some of your communication habits translate to customers, and it's best to err on the side of caution whenever you find yourself questioning a situation.
An example: The last time I went to get work done on my car, I was told by an employee that if I wanted to get an oil change, it would be "included" in my final bill.
I thought that meant I'd be getting it for free, yet as it turns out, that wasn't the case. The employee apologized and I truly believe it was an accident (they just worked there), but I haven't been back to that shop since because of the miscommunication.
When it comes to important points that you need to relay clearly to customers, keep it simple and leave nothing to doubt.

4. Knowledge of the Product

The best forward-facing employees in your company will work on having a deepknowledge of how your product works.
It's not that every single team member should be able to build your product from scratch, but rather they should know the ins and outs of how your product works, just like a customer who uses it everyday would.
Without knowing your product from front-to-back, you won't know how to help customers when they run into problems.

5. Ability to Use "Positive Language"

Sounds like fluffy nonsense, but your ability to make minor changes in your conversational patterns can truly go a long way in creating happy customers.
Language is a very important part of persuasion, and people (especially customers) create perceptions about you and your company based off of the language that you use.
Here's an example: Let's say a customer contacts you with an interest in a particular product, but that product happens to be backordered until next month.
Small changes that utilize "positive language" can greatly affect how the customer hears your response...
  • Without positive language: "I can't get you that product until next month; it is back-ordered and unavailable at this time."
  • With positive language: "That product will be available next month. I can place the order for you right now and make sure that it is sent to you as soon as it reaches our warehouse."
The first example isn't negative by any means, but the tone that it conveys feels abrupt and impersonal, and can be taken the wrong way by customers.
Conversely, the second example is stating the same thing (the item is unavailable), but instead focuses on when/how the customer will get to their resolution rather than focusing on the negative.

6. Acting Skills

Sometimes you're going to come across people that you'll never be able to make happy.
Situations outside of your control (they had a terrible day, or they are just a natural-born complainer) will sometimes creep into your usual support routine, and you'll be greeted with those "barnacle" customers that seem to want nothing else but to pull you down.
Every great customer service rep will have those basic acting skillsnecessary to maintain their usual cheery persona in spite of dealing with people who may be just plain grumpy.

7. Time Management Skills

Hey, despite my many research-backed rants on why you should spend more time with customers, the bottom line is that there is a limit, and you need to be concerned with getting customers what they want in an efficient manner.
The trick here is that this should also be applied when realizing when you simply cannot help a customer. If you don't know the solution to a problem, the best kind of support member will get a customer over to someone who does.
Don't waste time trying to go above and beyond for a customer in an area where you will just end up wasting both of your time!

8. Ability to "Read" Customers

You won't always be able to see customers face-to-face, and in many instances (nowadays) you won't even hear a customer's voice!
That doesn't exempt you from understanding some basic principles of behavioral psychology and being able to "read" the customer's current emotional state.
This is an important part of the personalization process as well, because it takes knowing your customers to create a personal experience for them.
More importantly though, this skill is essential because you don't want to mis-read a customer and end up losing them due to confusion and miscommunication.
Look and listen for subtle clues about their current mood, patience level, personality, etc., and you'll go far in keeping your customer interactions positive.

9. A Calming Presence

There's a lot of metaphors for this type of personality: "keeps their cool," "staying cool under pressure," etc., but it all represents the same thing: the ability that some people have to stay calm and even influence others when things get a little hectic.
I've had my fair share of hairy hosting situations, and I can tell you in all honesty that the #1 reason I stick with certain hosting companies is due to the ability of their customer support team to keep me from pulling my hair out.
The best customer service reps know that they cannot let a heated customer force them to lose their cool; in fact it is their job to try to be the "rock" for a customer who thinks the world is falling down due to their current problem.

10. Goal Oriented Focus

This may seem like a strange thing to list as a customer service skill, but I assure you that it is vitally important.
In my article on empowering employees, I noted that many customer service experts have shown how giving employees unfettered power to "WOW" customers doesn't always generated the returns that many businesses expect to see.
That's because it leaves employees without goals, and business goals + customer happiness can work hand-in-hand without resulting in poor service.
Relying on frameworks like the Net Promoter Score can help businesses come up with guidelines for their employees that allow plenty of freedom to handle customers on a case-to-case basis, but also leave them priority solutions and "go-to" fixes for common problems.
11. Ability to Handle Surprises
Sometimes the customer support world is going to throw you a curveball.
Maybe the problem you encounter isn't specifically covered in the company's guidelines, or maybe the customer isn't reacting how you thought they would.
Whatever the case, it's best to be able to think on your feet... but it's even better to create guidelines for yourself in these sorts of situations.
Let's say, for instance, you want to come up with a quick system for when you come across a customer who has a product problem you've never seen before...
  • Who? One thing you can decide right off the bat is who you should consider your "go-to" person when you don't know what to do. The CEO might be able to help you, but you can't go to them with every single question! Define a logical chain for yourself to use, then you won't be left wondering who you should forward the problem too.
  • What? When the problem is noticeably out of your league, what are you going to send to the people above? The full conversation, just the important parts, or maybe some highlights and an example of a similar ticket?
  • How? When it comes time to get someone else involved, how are you going to contact them? For instance, at Help Scout we prefer to solve small dilemmas over chat, and save bigger problems for email, keeping inbox clutter down to a minimum.

12. Persuasion Skills

This is one a lot of people didn't see coming!
Experienced customer support personnel know that oftentimes, you will get messages in your inbox that are more about the curiosity of your company's product, rather than having problems with it.
(Especially true if your email is available on-site, like ours)
To truly take your customer service skills to the next level, you need to have some mastery of persuasion so that you can convince interested customers that your product is right for them (if it truly is).
It's not about making a sales pitch in each email, but it is about not letting potential customers slip away because you couldn't create a compelling message that your company's product is worth purchasing!

13. Tenacity

Call it what you want, but a great work ethic and a willingness to do what needs to be done (and not take shorcuts) is a key skill when providing the kind of service that people talk about.
The many memorable customer service stories out there (many of which had a huge impact on the business) were created by a single employee who refused to just do the "status quo" when it came to helping someone out.
Remembering that your customers are people too, and knowing that putting in the extra effort will come back to you ten-fold should be your driving motivation to never "cheat" your customers with lazy service.

14. Closing Ability

To be clear, this has nothing to do with "closing sales" or other related terms.
Being able to close with a customer means being able to end the conversation with confirmed satisfaction (or as close to it as you can achieve) and with the customer feeling that everything has been taken care of (or will be).
Getting booted after a customer service call or before all of their problems have been addressed is the last thing that customers want, so be sure to take the time to confirm with customers that each and every issue they had on deck has been entirely resolved.
Your willingness to do this shows the customer 3 very important things:
  • That you care about getting it right
  • That you're willing to keep going until you get it right
  • That the customer is the one who determines what "right" is.
When you get a customer to, "Yes, I'm all set!" is when you know the conversation is over.

15. Willingness to Learn

If you came across this article and read all the way to the bottom, you likely already have this skill (nice job!).
This is probably the most general skill on the list, but it's still necessary.
Those who don't seek to improve what they do, whether it's building products, marketing businesses, or helping customers, will get left behind by the people willing to invest in their skills.
We love how the Buffer team approaches this skill with their wonderful monthly customer happiness updates.
The updates are public, detailed, and go through how the support team (and the company at large) handled incoming emails for the month.
What better way can a startup's support team learn as it goes then breaking down their own customer happiness metrics each and every month, for the public to see?