Monday, March 28, 2011

Apa Alasan Kita Bekerja?

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/03/07/10152034/Apa.Alasan.Kita.Bekerja

The Future of HR



Editor: Erlangga Djumena
Senin, 7 Maret 2011 | 10:15 WIB



shutterstockilustrasi
"Work is about a search for daily meaning as well as daily bread, for recognition as well as cash, for astonishment rather than torpor; in short, for a sort of life rather than a Monday through Friday sort of dying." - Studs Terkel, author & broadcaster


“Apakah alasan kamu bekerja?” tanya Anto, seorang karyawan swasta, kepada Budi, teman kerjanya. Budi, yang menganggap pertanyaan itu bersifat retoris menjawabnya dengan enggan, “Menurut kamu? kamu pikir saya senang makan batu yah?” Jawaban Budi pada percakapan imajiner di atas mungkin agak ‘nyeleneh’ tetapi di balik jawaban ini adalah salah satu alasan bekerja yang paling sering kita dengar, yaitu untuk mencari uang demi penghidupan yang layak.


Alasan kita bekerja pun mungkin tidak jauh dari itu tetapi apakah uang adalah satu-satunya alasan mengapa orang bekerja? Menurut Dave Ulrich, ‘The Number 1 Management/HR Guru’ versi majalah BusinessWeek dan Wendy Ulrich dalam buku The Why of Work, jawabannya adalah tidak. Selain uang, alasan lainnya adalah pencarian makna.


Karyawan tidak lagi bekerja untuk sekedar membuat asap dapur tetap mengebul. Dalam mencari tempat bekerja, mereka kini juga mementingkan faktor-faktor non uang, seperti kesesuaian pekerjaan dengan minat, kesempatan untuk bertumbuh dan dampak yang berarti bagi orang lain: rekan, pelanggan, dan masyarakat. Melalui pekerjaan, mereka menginginkan tercapainya tujuan hidup, berkontribusi, menjalin hubungan, membuat sesuatu yang bernilai dan mendapatkan harapan.


Penciptaan makna bekerja bagi para karyawannya merupakan hal yang harus dilakukan organisasi yang ingin bertumbuh. Hal ini mungkin terkesan ganjil, khususnya untuk para eksekutif yang berpikir bahwa memberikan gaji adalah satu-satunya kewajiban perusahaan kepada karyawan.


Tetapi ada logika di balik penjelasan tersebut: karyawan yang memiliki makna dalam bekerja akan lebih kompeten, berkomitmen, dan berkontribusi. Kompetensi, komitmen, dan kontribusi karyawan akan meningkatkan kepuasan dan komitmen pelanggan.


Komitmen pelanggan akan menciptakan hasil keuangan yang baik bagi perusahaan. Dengan logika ini, kita dapat melihat bahwa penciptaan makna bagi karyawan bukanlah sekedar membantu karyawan untuk memiliki sikap positif dalam bekerja tetapi juga demi pertumbuhan perusahaan.


Di dalam buku The Why of Work, Dave Ulrich, mendefinisikan organisasi yang menciptakan makna sebagai organisasi yang berkelimpahan (abundant organization). Sebuah organisasi yang berkelimpahan adalah sebuah tempat di mana para karyawan bekerja untuk menciptakan makna bagi diri mereka sendiri, nilai bagi para stakeholders dan harapan bagi masyarakat luas.


Organisasi yang berkelimpahan mendorong karyawannya untuk memiliki makna dalam bekerja dan menciptakan lingkungan yang memungkinkan hal tersebut bertumbuh kembang. Era dimana istilah-istilah seperti Generation Y, War for Talent, Employee Engagement, dan Individual Performance Management kini menjadi istilah yang semakin tidak asing.


Konsep yang ditawarkan Dave Ulrich merupakan angin segar yang dijadikan petunjuk dalam menghadapi perubahan-perubahan yang terjadi di dunia yang pada akhirnya akan berpengaruh pada aspirasi karyawan dan cara mereka memaknai pekerjaan.


Melalui buku The Why of Work, Dave Ulrich menjabarkan berbagai prinsip-prinsip praktis dalam menciptakan makna dalam organisasi, baik di level individu, tim, maupun perusahaan yang berdasarkan pada hasil-hasil riset serta melengkapinya dengan checklist dan kuesioner untuk mengubah aspirasi menjadi tindakan. Kini ada banyak organisasi kelas dunia yang menyadari pentingnya penciptaan makna dalam bekerja telah memulai perjalanan mereka dalam mengimplementasikan konsep Abundant Organization, bagaimana dengan organisasi anda? (Raymond Hadisubrata & Aditya Andhika/Director Consulting and Product Marketing Management of PT GML Performance Consulting)
----------------------------------------------------------------------------

Lihatlah Karyawan sebagai Pelanggan Internal

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/03/10/11202224/Lihatlah.Karyawan.sebagai.Pelanggan.Internal

The Future of HR



Editor: Erlangga Djumena
Kamis, 10 Maret 2011 | 11:20 WIB



SHUTTERSTOCKilustrasi

“Papa.. kita sudah sampai belum?”.  Pertanyaan ini selalu dipertanyakan oleh anak-anak kita saat sedang berada dalam suatu perjalanan panjang menuju tempat wisata di luar kota atau bahkan hanya menuju sebuah tempat perbelanjaan di Jakarta yang memakan waktu lama karena kemacetan yang ada. 

Pada awalnya, pertanyaan tersebut membuat bangga karena ternyata anak yang kita sayangi memiliki rasa antusias tinggi terhadap tempat baru yang akan dituju. Tetapi setelah pertanyaan tersebut muncul beberapa kali, hal ini akhirnya menjadi tambahan gangguan disamping kemacetan yang sedang kita alami.

Dalam dunia korporasi, acapkali praktisi Sumber Daya Manusia (SDM) juga mempertanyakan hal yang sama, “kita sudah sampai belum?”. Para praktisi SDM bekerja keras untuk membangun kualitas SDM dalam organisasi mereka tetapi merasa tidak pernah sampai pada tujuannya. Dalam pelatihan-pelatihan yang kami lakukan untuk para praktisi SDM selalu muncul kesan bahwa bagian SDM dalam perusahaan atau organisasi masih dianggap sebagai administrative expert daripada sebagai business partner. Banyak organisasi yang bahkan masih menyebut bagian SDM-nya sebagai bagian “kepegawaian” atau “personalia” dan belum berani menyebutnya sebagai “Sumber Daya Manusia”.

Sebenarnya, tujuan akhir dari fungsi SDM adalah sederhana, yaitu SDM harus memberikan nilai tambah (value proposition) kepada bisnis. Bila kita tanyakan kepada praktisi SDM, “Apa yang menjadi tantangan terbesar dalam dunia SDM?” Jawabannya akan banyak berkisar pada: membina hubungan dengan para manajer, manajemen talenta, recruitment, manajemen biaya SDM, penanganan permasalahan karyawan, dan sebagainya. Jawaban-jawaban ini menunjukkan bahwa dunia SDM masih banyak terlibat pada apa yang disebutkan oleh Dave Ulrich, seorang profesor dan pakar SDM dunia dari University of Michigan, sebagai administrative work.

Agar dapat lebih memberikan nilai tambah kepada bisnis, bagian SDM harus dapat berkontribusi terhadap keberhasilan bisnis melalui strategi SDM.

Praktisi SDM harus memahami faktor bisnis eksternal yang mempengaruhi kinerja organisasi. Hal ini diperlukan agar SDM dapat mengantisipasi kebutuhan industri dan organisasinya sehingga dapat memberikan respon yang cepat dan bermanfaat.

Jika selama ini fungsi SDM Anda berfokus ke dalam organisasi untuk meningkatkan produktivitas karyawan dan mendukung para manajer dalam mengimplementasikan strategi mereka, ini merupakan suatu kemajuan. Anda telah melihat karyawan dan manajer dalam organisasi sebagai pelanggan internal. Namun, selanjutnya, fungsi SDM juga harus selaras dengan stakeholder eksternal.

Kegiatan SDM harus mendekatkan pelanggan (pelanggan yang membeli jasa atau produk Anda) kepada perusahaan. Misalnya, ada sebuah perusahaan multinasional di Indonesia yang melibatkan pelanggan dalam penentuan kriteria kompetensi seorang account manager dan melibatkan pelanggan tersebut dengan melakukan assessment dalam bentuk proses seleksi. Bahkan sebuah perusahaan lainnya meminta pelanggan untuk memberikan training kepada karyawan internal organisasi.

Dengan ini, SDM akan dapat menempatkan posisinya setara dengan unit lainnya seperti bagian penjualan, pemasaran dan produksi dalam hal peningkatan intensitas hubungan juga kedekatan dengan pelanggan. Dengan adanya hubungan baik yang terbina maka diharapkan loyalitas pelanggan juga akan terbangun. Inilah peran strategis SDM sebagai business partner. Peran SDM akan terus berevolusi. Jika Anda telah menjalankan peran business partner, maka Anda telah hampir sampai. (Suwardi Luis dan Raymond Hadisubrata. CEO dan Exec. Vice President, GML Performance Consulting)
-------------------------------------------------

Manusia adalah Aset yang Paling Penting

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/03/15/10035979/Manusia.adalah.Aset.yang.Paling.Penting


THE FUTURE OF HR



Editor: Erlangga Djumena
Selasa, 15 Maret 2011 | 10:03 WIB



“If you want one year of prosperity, grow grain. If you want ten years of prosperity, grow trees. If you want one hundred years of prosperity, grow people” (Chinese proverb)

Kalau lomba kalimat ter-klise dilakukan, berikut ini adalah calon pemenangnya: “Yang tidak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri,” dan ini favorit saya, “Manusia kita adalah aset yang paling penting bagi perusahaan.” Pernyataan klise selalu diyakini benar, tapi penerapannya sering terabaikan.

Sebuah perusahaan tekstil yang telah go public pernah menuliskan kalimat “manusia kita adalah…” di dalam laporan tahunannya, meskipun hampir tidak pernah berinvestasi dalam pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM).

Dampak positif dari pengelolaan SDM pada pertumbuhan bisnis sudah tidak terbantahkan. Seorang direktur utama dan pemilik sebuat perusahaan ritel terkemuka di Indonesia yang telah bertumbuh hampir sepuluh kali lipat dalam waktu delapan tahun terakhir menyatakan, bahwa saat ini faktor penentu dan juga penghambat paling utama untuk bertumbuh adalah manusia.


Dalam buku HR Scorecard (2001) karangan Profesor Dave Ulrich, seorang guru manajemen dari University of Michigan, memaparkan fakta hasil riset yang menunjukkan bahwa, secara rata-rata, perusahaan-perusahaan yang memiliki praktek SDM yang baik memiliki penjualan per karyawan empat kali lebih tinggi dan market-to-book value tiga kali lebih besar dari perusahaan-perusahaan yang kurang profesional dalam pengelolaan SDM.

Pengelolaan SDM secara profesional bukanlah tanggung jawab bagian atau divisi SDM semata-mata, tapi merupakan tanggung jawab CEO, Directors, dan semua lini maupun bagian dalam perusahaan. Dalam buku HR Champions (1996) dan HR Value Proposition (2005) yang merupakan kitab pegangan bagi praktisi SDM di seluruh dunia hari ini, Dave Ulrich membagi peran pengelolaan SDM menjadi beberapa bagian.

Studi terhadap ratusan perusahaan best practice menunjukkan bahwa peran Employee Championuntuk mendorong karyawan agar termotivasi dan memiliki kompetensi untuk bekerja dengan produktif sehari-hari justru merupakan tanggung jawab dari atasan yang bersangkutan, bukan semata-mata peran divisi SDM.

Konsep HR Champions telah menginspirasi berbagai perusahaan di Indonesia dalam mengelola SDM-nya. Saran dari Dave Ulrich agar divisi SDM bergerak dari ahli di bidang administrasi (Administrative Expert) dan bergerak menjadi Strategic Partner telah mendorong berbagai restrukturisasi.

Sebuah perusahaan consumer goods meng-outsource pembayaran gajinya untuk menciptakan waktu lebih banyak bagi divisi SDM untuk berpikir dan melakukan aktivitas yang lebih strategis. Sebuah bank membentuk divisi Organization Development untuk menjalankan peran Strategic Partner (seperti komunikasi visi misi dan nilai budaya perusahaan atau restrukturisasi organisasi sesuai perubahan strategi perusahaan). Pada dasarnya, divisi SDM diminta untuk melihat satuan kerja bisnis dan operasi sebagai ‘pelanggan’ SDM.

Namun evolusi pengelolaan SDM belum berakhir. Beberapa bulan lalu, Dave Ulrich meminta saya me-review draft artikel beliau yang belum dipublikasikan (dan akan menjadi topik seminar kunjungan beliau ke Indonesia di bulan April mendatang).

Pemikiran terbaru dalam artikel ini sangat provokatif dan akan mengubah tren SDM di masa depan. Tidak lagi sekedar menjadi Strategic Partner bagi satuan kerja bisnis internal di dalam perusahaan, di masa depan, divisi SDM harus menganalisa konteks lingkungan eksternal dimana organisasi berada. Dan SDM harus mampu menciptakan nilai bagi stakeholder eksternal perusahaan: pelanggan, masyarakat, dan pemegang saham.

Perubahan lingkungan teknologi, misalnya, dapat merubah strategi rekrutmen SDM dari yang berorientasi print-media menuju on-line dan network media. Kemajuan teknologi juga dapat mendorong penerapan flexi-hours dalam bekerja. Tren green dapat mendorong SDM menerapkan kebijakan yang mengurangi jejak karbon. Dengan kata lain, analisa STEPED (Social, Technology, Economy, Political, Environment, dan Demography) tidak lagi hanya menjadi domain unit bisnis, tetapi juga tanggung jawab divisi SDM.

Secara proaktif, pengelolaan SDM perlu beradaptasi dengan faktor eksternal organisasi sehingga menjadi salah satu keunggulan kompetisi dalam memberi nilai tambah langsung kepada stakeholdereksternal.

Pelanggan eksternal dapat dilibatkan dalam penentuan kriteria kompetensi talent yang akan direkrut, bahkan juga dilibatkan dalam memberi pelatihan kepada karyawan. Dengan inisiatif divisi SDM, sebuah perusahaan produsen mainan anak-anak melibatkan karyawannya beserta keluarga berkunjung ke sekolah-sekolah di sekitar lingkungan perusahaan untuk mengecat dan merenovasi ruang kelas belajar. Karyawan yang dilibatkan merasakan adanya work-life balance, hubungan dengan masyarakat sekitar menjadi lebih baik, dan reputasi perusahaan menjadi lebih positif.

Untuk berhasil menjalankan peran SDM yang baru ini, organisasi perlu memiliki sistem pengelolaan SDM yang mengembangkan individu, organisasi, dan kepemimpinan. Terasa beratkah? Keunggulan kompetisi yang berkesinambungan adalah keunggulan yang susah ditiru. Salah satunya adalah dengan menerapkan sistem pengelolaan SDM yang terus berevolusi. Memang benar, yang tidak pernah berubah adalah perubahan itu sendiri! (Suwardi Luis, CEO dari PT GML Performance Consulting)

Membuat Karyawan Lebih Peduli

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/03/18/10385045/Membuat.Karyawan.Lebih.Peduli


Abundant Organization



Editor: Erlangga Djumena
Jumat, 18 Maret 2011 | 10:38 WIB
SHUTTERSTOCK
Far and away the best prize that life has to offer is the chance to work hard at work worth doing. - Theodore Roosevelt


Kompetisi global, kemajuan teknologi, kondisi ekonomi yang tidak menentu, ketidakpastian dan ketiadaan jaminan dalam bekerja adalah gambaran dunia kerja saat ini. Masa-masa bekerja delapan jam sehari, lima hari seminggu sudah berlalu. Sebagian besar karyawan saat ini bekerja lebih dari delapan jam sehari dan menggunakan waktu libur mereka untuk bekerja.


Karyawan akhirnya merasa jemu, putus asa dan frustasi dalam menjalani pekerjaannya. Akibatnya, banyak organisasi memiliki tingkat kepuasan yang rendah dari karyawannya. Perusahaan yang bertekad untuk bertumbuh pesat dihadapkan dengan tantangan besar: apa rahasia untuk menciptakan semangat kerja dan mendorong produktivitas karyawan?


Dave Ulrich dan istrinya, Wendy Ulrich mencoba untuk menjawab pertanyaan di atas dengan menulis buku The Why of Work. Bagi praktisi Manajemen dan SDM, Dave Ulrich bukan lagi nama baru. Dave Ulrich yang digelari ‘The Number 1 Management Guru’ oleh majalah BusinessWeek adalah profesor dari Ross School of Business (University of Michigan) dan penulis puluhan buku manajemen dan SDM. Salah satu karangan beliau adalah HR Champion, kitab pegangan bagi praktisi SDM dunia dalam merestrukturisasi peran SDM menjadi mitra strategis bagi bisnis.


Bersama istrinya, Wendy Ulrich yang berprofesi sebagai psikolog, keduanya menulis buku ini dengan maksud memberikan jawaban atas pertanyaan bagaimana pemimpin organisasi menciptakan rasa berkelimpahan (makna, tujuan, harapan dan kesenangan) bagi diri sendiri dan orang lain yang tidak hanya memberikan kepuasan melalui penciptaan ‘makna kerja’ bagi karyawan tapi juga memberikan nilai bagi pelanggan, investor dan komunitas.
Pemimpin yang memahami pentingnya why atau pemberian makna bekerja akan mencari how atau bagaimana cara mewujudkannya.
Buku ini diawali dengan penjelasan mengenai pemberian makna dalam bekerja yang mempengaruhi dua sisi. Sisi yang pertama, terkait dengan pencarian makna hidup merupakan bagian dari setiap manusia. Pemberian makna dapat membuat seseorang merasakan pemenuhan akan hidupnya, menerima kondisi apapun atau memiliki keberanian dalam menghadapi segala situasi. Memberi makna dalam bekerja akan memberikan makna hidup bagi karyawan.

Sisi lainnya, makna memiliki ‘market value’. Karyawan yang memiliki makna dalam pekerjaannya akan merasa lebih puas, lebih terikat sehingga menjadi lebih produktif. Organisasi yang memiliki makna dari dua sisi tersebut merupakan organisasi yang berkelimpahan (abundant organization).

Organisasi yang berkelimpahan dijabarkan sebagai suatu kondisi kerja dimana individu-individu di dalamnya mengkordinasikan aspirasi dan tindakan mereka untuk menciptakan makna bagi diri mereka sendiri, nilai bagi para stakeholder dan harapan bagi kemanusiaan yang seutuhnya. Organisasi tersebut merupakan organisasi sukses yang berfokus pada kesempatan dan sinergi, bukan pada kekhawatiran menghadapi persaingan dan keterbatasan yang dimiliki.

Karyawan pada organisasi tersebut akan lebih peduli terhadap pekerjaannya. Mereka meningkatkan kompetensi yang mereka miliki, bekerja lebih keras dan lebih produktif, bertahan lebih lama dan lebih positif dalam menjalani pekerjaannya. Hasilnya adalah komitmen pelanggan yang tinggi sehingga mendorong pencapaian organisasi yang lebih baik.

Pemberian makna dalam bekerja menjadi hal penting karena dapat menjadi intangible asset dan kapabilitas yang memberikan keyakinan kepada para investor akan keberhasilan organisasi di masa depan. Proses penciptaan organisasi yang berkelimpahan (abundant organization) memerlukan peran pemimpin.

Buku ini menjabarkan tentang survei yang dilakukan oleh The Great of Place To Work Institute yang menunjukkan dampak yang diberikan dari penerapan The Why of Work oleh para pemimpin terhadap kesuksesan organisasi.

Setiap tahun, organisasi-organisasi yang tercantum dalam daftar Best companies to Work For dari tahun 1998 sampai 2008 memperoleh pengembalian investasi sebesar enam kali lipat lebih tinggi dibandingkan dengan rata-rata pengembalian organisasi dalam daftar Standar & Poor’s 500.
Nordstrom, salah satu organisasi yang selama 25 tahun terakhir selalu berada di peringkat atas, memiliki reputasi dalam hal pelayanan pelanggan yang luar biasa. Organisasi ini mempekerjakan karyawan yang memiliki antusiasme tinggi dalam mengantisipasi dan memenuhi kebutuhan pelanggan. Pemimpin organisasi ini dengan caranya tersendiri berusaha mengubah makna bekerja karyawan menjadi kelimpahan bagi organisasi.

Pemberian makna bagi karyawan dapat dilakukan oleh pemimpin organisasi dengan mengaitkan pekerjaan mereka dengan kondisi realita yang dihadapi oleh organisasi. Ketika organisasi menghadapi krisis, karyawan umumnya menjadi gelisah. Mereka berusaha menghindari pemotongan anggaran dan memposisikan peran mereka lebih penting ketimbang yang lainnya.

Namun, ketika pemimpin pada salah satu perusahaan teknologi memberikan penjelasan kepada karyawan bahwa setiap penghematan sebesar 50.000 dollar aS dapat menyelamatkan satu posisi pekerjaan, karyawan menjadi lebih antusias menghadapi pemotongan biaya. Hasilnya, karyawan bersikap koperatif, konstruktif dan memiliki engagement yang tinggi terhadap perusahaan. Mereka memahami dengan jelas bahwa penghematan yang dilakukan tidak hanya untuk mencapai tujuan organisasi tapi juga menyelamatkan pekerjaan bagi rekan kerja mereka. Pemimpin yang memahami pentingnya ‘why’ atau pemberian makna bekerja akan mencari ‘how’ atau bagaimana cara mewujudkannya.

Buku ini mengajukan tujuh pertanyaan yang harus diajukan oleh setiap pemimpin organisasi dalam menciptakan kelimpahan di organisasinya. Ketujuh pertanyaan ‘pendorong kelimpahan’ ini akan memberikan tujuh dampak positif bagi organisasi dan individu didalamnya: kejelasan akan kekuatan yang menjadi identitas organisasi; pemahaman mengenai tujuan organisasi yang menjadi dasar motivasi; pengelolaan kompleksitas kerja melalui kerjasama tim; perubahan individualisme karyawan menjadi kondisi lingkungan kerja yang positif; identifikasi dan tindakan menghadapi tantangan yang memberikan engagement bagi karyawan; pertumbuhan melalui perubahan dengan belajar dan menjadi tangguh; serta terciptanya sumber-sumber penghargaan pada aktivitas sehari – hari.

Buku ini mengikuti gaya penulisan Dave Ulrich dalam buku-buku sebelumnya yang menyajikan kerangka berpikir yang refreshing disertai dengan alat-alat praktis untuk penerapan. Setiap bab dilengkapi dengan framework, survey form atau assessment yang dapat langsung diaplikasikan. Buku ini juga didukung oleh hasil riset serta dilengkapi dengan kasus – kasus relevan serta cerita – cerita yang menarik untuk disimak.

The Why of Work ditutup dengan ulasan mengenai keterkaitan antara tujuh prinsip dari organisasi yang berkelimpahan tersebut dengan para pemimpin organisasi, profesional SDM dan individu. Buku ini akan membantu setiap pemimpin organisasi untuk dapat memberikan makna bekerja bagi karyawannya dalam menciptakan organisasi yang berkelimpahan.  (Rina M. Tarigan, Management Consultant PT. GML Performance Consulting)


Siapkah Anda untuk Next Evolution?

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2011/03/23/10521225/Siapkah.Anda.untuk.Next.Evolution

THE FUTURE OF HR



Editor: Erlangga Djumena
Rabu, 23 Maret 2011 | 10:52 WIB


SHUTTERSTOCK

“Evolution is not a force but a process. Not a cause but a law.” 
- John Morley (Journalist, Biographer and Statesman, 1838-1923)


“Bagaimana cara mengelola Human Resources (HR) dengan baik?” Pertanyaan mendasar ini telah sejak lama mengusik pikiran para pemimpin dan pakar manajemen. Tak terhitung jumlah pakar dari berbagai generasi yang mencoba menjawab pertanyaan ini.


Pemikiran - pemikiran mereka terekam di berbagai macam literatur, mulai dari manuskrip - manuskrip jaman sebelum Masehi sampai dengan buku-buku manajemen modern yang mudah didapatkan di toko buku terdekat rumah kita. Yang menarik adalah setiap era selalu memberikan jawaban yang berbeda. “Mengapa hal ini bisa terjadi?”, jawabannya adalah ‘‘Evolusi”.


Evolusi HR terjadi seiring dengan munculnya pemikiran-pemikiran baru dari para pemimpin dan pakar tentang pengelolaan SDM (Sumber Daya Manusia). Dimulai sebagai profesi yang hanya mengurus kesejahteraan karyawan di abad ke-19, SDM kini telah berevolusi menjadi profesi yang memiliki peran strategis. Salah satu pakar manajemen yang turut serta dalam proses pembentukan SDM menjadi yang kita kenal sekarang adalah Dave Ulrich, seorang profesor dari University of Michigan yang dinobatkan menjadi No. 1 Management Guru oleh majalah BusinessWeek.


Melalui buku HR Champions (1996) dan Tomorrow’s HR Management (1997), Dave Ulrich meletakkan dua konsep yang berhasil meredefinisi peran HR dan paradigma tentang pengelolaan SDM di saat ini. Pertama, departemen SDM harus memainkan empat peran, yakni strategic partneradministrative expert, employee champion, dan change agent. Konsep ini menekankan pada pentingnya departemen SDM untuk memainkan peran-peran yang strategis dalam pertumbuhan bisnis perusahaan.


Kedua, pengelolaan SDM adalah urusan semua pimpinan, khususnya manajer lini. Konsep ini menekankan bahwa pengelolaan SDM bukan menjadi menjadi tanggung jawab departemen SDM saja tetapi juga menjadi tanggung jawab manajer lini sebagai orang yang paling mengerti tentang unit kerjanya.


Kedua konsep ini akhirnya diimplementasikan oleh banyak perusahaan dan kini sudah menjadi praktek yang umum. Contoh sederhana dari implementasi kedua konsep ini adalah pembentukan posisi ‘HR Business Partner’ dan pengiriman manajer lini ke pelatihan ‘HR for Non HR Managers’.


Pemikiran-pemikiran Dave Ulrich dan para pakar lainnya membantu perusahaan-perusahaan untuk memahami bahwa pengelolaan SDM yang baik mendatangkan manfaat yang lebih dari sekedar keteraturan organisasi.


Sebuah riset yang tercantum dalam buku HR Scorecard (2001) menunjukkan bahwa perusahaan-perusahaan yang mengelola SDM-nya dengan baik memiliki penjualan per karyawan empat kali lebih tinggi dan market-to-book value tiga kali lebih besar dari perusahaan-perusahaan yang pengelolaan SDM-nya kurang baik. Dengan kata lain, pengelolaan SDM yang baik berdampak kepada bottom line (keuntungan).


Evolusi SDM pun terus bergulir. Dave Ulrich meminta GML Performance Consulting untuk mereview sebuah draft artikel yang akan dipublikasikannya. Melalui artikel ini, Dave Ulrich akan memaparkan konsep-konsep baru tentang peran SDM di masa mendatang, antara lain tentang peran SDM dalam menghadapi perubahan pada lingkungan eksternal perusahaan dan bagaimana SDM dapat memberikan nilai tambah secara langsung kepada stakeholder eksternal. Ide-ide provokatif ini akan dipaparkan Dave Ulrich dalam kunjungannya ke Jakarta di bulan April mendatang. Are you ready for the next evolution? (Raymond Hadisubrata & Aditya Andika, Director Consulting and Product Marketing Management of PT GML Performance Consulting)


Ikuti A New Vision of Human Resources in Value Creation for Investors, Customers, and Employee Engagement bersama Dave Ulrich


Tuesday, March 15, 2011

How to Write a Marketing Strategy: Overview of the Marketing Strategy Section of a Small Business Plan

http://sbinformation.about.com/od/businessplans/a/How-To-Write-A-Marketing-Strategy.htm


by Alyssa Gregory



What Does a Marketing Strategy Section of a Business Plan Include?
There is a lot of marketing information provided in the marketing strategy section that not only gives potential vendors important information to review in their analysis of your business, but it can also be used as a blueprint for all of your marketing activities.
Here is a look at how to break down the key information in the marketing strategy section of a business plan using the 4 Ps of marketingconcept.
Product: Product refers to either a physicalproduct or services you plan on offering. Some of the product areas that should be included in this section are:
  • Brand name
  • Related products or services
  • Functionality
  • Packaging
  • Quality
  • Warranty
Promotion: This section covers the various aspects of how you plan on marketing your product or service. The areas you will need to address include:
  • Advertising
  • Marketing budget
  • Promotional strategy
  • Publicity and public relations
  • Sales force
  • Sales promotion
Price: The pricing section addresses the way you plan on pricing your product or service. The aspects of pricing you will need to address are:
  • Bundling (if you have related products/services)
  • Pricing flexibility
  • Pricing strategy
  • Retail price
  • Seasonal Price (if applicable)
  • Wholesale (volume) price
Place: Also known as Distribution, this section is all about the delivery of your product or service to your customer. Here are the areas you will need to cover:
  • Distribution centers
  • Distribution channels
  • Inventory management
  • Logistics
  • Order processing
  • Transportation
  • Type of distribution
  • Warehousing
Your marketing strategy can be one of the most powerful parts of your business plan. Here are a few tips to keep in mind as you write your marketing strategy section so you can make it as effective and relevant as possible.
Make It Unique
The foundation of your marketing strategy should be your unique selling proposition (USP), or the statement that outlines what differentiates you from everyone else in the market. Create your USP first, and then build upon it by relating it to each of the 4 Ps. The common thread through each part of your marketing strategy should be how your business solves a problem or meets a need better than anyone else.
Know Your Customers/Clients
The information you include in your marketing strategy should incorporate all of the research you conducted in your market analysis. Make sure you have a clear idea of who your ideal customers or clients are, what they like, what they need and what they expect. This will make your marketing strategy more accurate and applicable to your target audience.
Be Flexible
While the 4 Ps of marketing work well for physical products, they need to be tweaked a bit for services. For example, for the place section, you may consider adding your website versus a physical location. In addition, your website should also be a part of your promotion section as well as any social media that you participate in.
Do Your Research
When you’re determining your pricing, you should have plenty of data to back up your decision. Include industry reports, competitor ads, and comparisons that show the research you conducted and how to came to the conclusion that you are pricing your product or service correctly.
Use Visuals
Just as you should in other sections of your business plan, using charts, graphs and images to illustrate your facts can make it easier to absorb for your audience. Is your pricing right at the median in the industry? Are you planning to use a four-step distribution process? Use visual aids to drive your point home.
Remember Your Budget
You will outline the financial analysis of your company in another section of your business plan, but keep those numbers in mind as you write your marketing strategy. Your marketing process may look good by itself, but unless you tie it directly to your financial status, you will have a difficult time meeting your goals.
Include Your Collateral
If you're going to talk about your marketing collateral in your marketing section, you should include samples as exhibits to your plan. Examples of marketing collateral include business cards, brochures and fact sheets.

Create your marketing strategy

http://www.businesslink.gov.uk/bdotg/action/layer?topicId=1073900352





Developing a marketing strategy is vital for any business. Without one, your efforts to attract customers are likely to be haphazard and inefficient.
The focus of your strategy should be to make sure that your products and services meet customer needs and that you develop long-term and profitable relationships with those customers. To achieve this, you will need to create a flexible strategy that can respond to changes in customer perceptions and demand. It may also help you identify whole new markets that you can successfully target.
The purpose of your marketing strategy should be to identify and then communicate the benefits of what your business offers to your target market.
Once you have created and implemented your strategy, you should monitor its effectiveness and make any adjustments required to maintain its success.
This guide helps you identify which customers to focus on and your key objectives in reaching them. It explains what to include in your marketing strategy and how it can be used as the basis for effective action.
Your existing and potential customers fall into particular groups or segments, characterised by their 'needs'. Identifying these groups and their needs through market research, and then addressing those needs more successfully than your competitors, should be one of the key elements of your marketing strategy. See our guide onmarket research and market reports.
You can then create a marketing strategy that makes the most of your strengths and matches them to the needs of the customers you want to target. For example, if a particular group of customers is looking for quality first and foremost, then any marketing activity aimed at them should draw attention to the high quality of your products or service.
Once you have created your marketing strategy, you must then decide which marketing activity or activities will ensure your target market know about the products or services you offer, and why they meet their needs.
There are many ways to achieve this - such as various forms of advertising, exhibitions, public relations initiatives, internet activity and an effective 'point of sale' strategy if you rely on others to actually sell your products. But try to limit your activities to those methods you think will work best, to avoid spreading your budget too thinly.
Monitoring and evaluating how effective your strategy has been is a key element, yet often overlooked. This control element not only helps you see how your strategy is performing in practice, it can also help inform your future marketing strategy. A simple approach is to ask each new customer how they heard about your business.
Once you have decided on your marketing strategy, draw up a marketing plan that sets out how you intend to execute that strategy and evaluate its success. The plan should be constantly reviewed and, if necessary, updated so you can respond quickly to changes in customer needs and attitudes in your industry and in the broader economic climate. See our guide on how to write a marketing plan
Every business has strengths and weaknesses. Your marketing strategy must take account of how your business' strengths and weaknesses will affect your marketing.
An honest and rigorous SWOT analysis, looking at your strengths, weaknesses, opportunities and threats is a good starting point for your marketing strategy document. Also, conducting some market research on your existing customers at this point will help you to build a more honest picture of your reputation in the marketplace.
Strengths could include:
  • personal and flexible customer service
  • special features or benefits that your product offers
  • specialist knowledge or skills
Weaknesses could include:
  • limited financial resources
  • lack of an established reputation
  • inefficient accounting systems
Opportunities could include:
  • increased demand from a particular market sector
  • using the internet to reach new markets
  • new technologies that allow you to improve product quality
Threats could include:
  • the emergence of a new competitor
  • more sophisticated, attractive or cheaper versions of your product or service
  • new legislation increasing your costs
  • a downturn in the economy, reducing overall demand
Having done your analysis, you can then measure the potential effects each element may have on your marketing strategy.
For example, if new regulations will increase the cost of competing in a market where you're already weak, you might want to look for other opportunities. On the other hand, if you have a good reputation and your key competitor is struggling, the regulations might present the opportunity to push aggressively for new customers.
Once you understand your business' internal strengths and weaknesses and the external opportunities and threats, you can develop a strategy that plays to your own strengths and matches them to the emerging opportunities. You can also try to minimise your weaknesses.
The next step is to draw up a detailed marketing plan that sets out the specific actions that will put that strategy into practice. See our guide on how to write a marketing plan.

Questions to ask yourself when developing your strategy

  • What changes are taking place in our business environment? Are these opportunities or threats?
  • What are our strengths and weaknesses?
  • What do I want to achieve? Set clear, realistic objectives.
  • What are customers looking for? What are their needs?
  • Which customers are the most profitable?
  • How will I target the right potential customers? Are there groups that I can target more effectively?
  • What's the best way of communicating with them?
  • Could I improve my customer service? This can be a low-cost way of gaining a competitive advantage over rivals, keeping customers, boosting sales and building a good reputation.
  • Could changing my products or services increase sales and profitability? Most products need to be continuously updated to maintain competitiveness.
  • Could extending my product list or service provision meet existing customers' needs more effectively? Remember that selling more to existing customers is generally more cost effective than continually trying to find new ones.
  • How will I price my product or service? Although prices need to be competitive, most businesses find that trying to compete on price alone is a poor strategy. What else are my customers interested in? Quality? Reliability? Efficiency? Value for money?
  • What is the best way of distributing and selling my products?
  • How can I best promote my products? Options might include advertising, direct marketing, exhibiting at trade fairs, PR or marketing on the web.
  • How can I tell if my marketing is effective? Check how your customers find out about your business. A small-scale trial can be a good way of testing a marketing strategy without committing to excessive costs.

    Before looking at new markets, think about how you can get the most out of your existing customers - it's usually more economical and quicker than finding new customers.
    Perhaps you could sell more to your existing customers, or look at better ways to retain key customers.

    Focus on the market

    • Analyse the different needs of different groups of customers.
    • Focus on a market niche where you can be the best.
    • Aim to put most of your efforts into the 20 per cent of customers who provide 80 per cent of profits.

    Don't forget the follow-up

    • Approach a third party for feedback about your strategy - they may be able to spot any gaps or weaknesses that you can't see.
    • Put your marketing strategy into effect with a marketing plan that sets out the aims, actions, dates, costs, resources and effective selling programmes.
    • Measure the effectiveness of what you do and be prepared to change things that aren't working.

    Pitfalls to avoid

    • Making assumptions about what customers want.
    • Ignoring the competition.
    • Trying to compete on price alone.
    • Relying on too few customers.
    • Trying to grow too quickly.
    • Becoming complacent about what you offer and failing to innovate.


    Human resources consultancy Wickland Westcott reviewed the marketing strategy for its assessment and development services, and a new focus and a more structured approach have rapidly paid dividends. Co-owner and director of assessment and development, Colin Mercer, describes the process.
    What I did

    Identify strengths and weaknesses

    "The company was doing well, but our approach to marketing was hit-and-miss. We went through the business from top to bottom and pinpointed our strengths and weaknesses. 
    "On the plus side, customer research showed that we had a great reputation for quality service. On the minus side, brand awareness was low and some of our systems weren't working well. We also used published academic research to find out more about our target customers' mindset and why they buy. We used all the information to create a marketing strategy with clear objectives. These included developing our network of partnerships, raising brand awareness, positioning ourselves as strategic thinkers in our market, and getting more business through referrals."

    Work to a plan

    "With clear objectives in mind, writing and implementing a marketing plan was easier. We changed our marketing mix and our approach:
    • Our printed newsletter, our main direct marketing method, was made more customer-focused by including market briefings. Feedback has improved and we've had several approaches from new clients who've received it.
    • Instead of cold calling, we stepped up marketing via our network of partners. We provided them with clear information so that they could promote all our services to their clients. Now, about 20 per cent of what we bill is to partners rather than end users.
    • To establish ourselves as strategic thinkers in our markets we began getting articles published in relevant trade journals. This raised brand awareness and enhanced our reputation. We also use re-prints of the articles as a direct marketing tool. 
    • We also re-designed our website and launched an Interview Guide on CD-Rom to show the flexibility of our services.
    "We now review our marketing strategy and update the plan every six months. As a result of one review, we decided to attend a big trade conference, which worked extremely well for us and generated a lot of new leads."

    Clean up the database

    "Marketing to existing customers is easier and cheaper than starting from scratch with new ones, because existing customers are aware of our quality. However, to market effectively to this group required a better customer database than we had. As a result we decided to update our customer database. It's just as well we did, because as we updated it we found that approximately 40 per cent of the entries contained errors, duplications or were completely irrelevant. If we'd marketed to our original database we'd have wasted a lot of time and money.
    "We now have a proper database management strategy. We nominated one person internally to take responsibility and now it's kept up to date meticulously. We also use bought-in contact databases to help us target new customers."
    What I'd do differently

    Repackage content

    "We were slow to realise that the content we had on our website and in other marketing literature was a gold mine. It can be repackaged in lots of different ways. For example, a case study written for the website can be used as a mail shot, as the basis for a trade magazine article and as a handout for meetings as well. We're much better at it now, and we use all our content, including survey results, across all our marketing channels. However, we could have made use of what we had much sooner."