Friday, June 25, 2010

Perbedaan Sales dan Marketing


Kamis, 31-07-2008 15:17:01 oleh: Syahpatria
Kanal: Opini

Apa bedanya menjual dan memasarkan? Pengertian
kedua istilah itu memang suka rancu. Apalagi
perusahaan pada umumnya lebih suka memakai
marketing executive ketimbang salesman untuk
tenaga penjualannya. Alasannya, ’salesman’
berkonotasi negatif di benak konsumen ketimbang ‘
marketing executive’ yang kedengarannya lebih
mentereng.

Padahal peran sales sama pentingnya dengan
marketing. Memang keduanya sama-sama ‘
jualan.’ Perbedaannya, adalah sales benar-benar
berjualan dalam arti yang sebenarnya yakni
mendatangkan uang. Sales berusaha membuat
transaksi: memindahkan uang dari kantong
konsumen masuk ke kas perusahaan. Key
Performance Indicator (KPI) utamanya adalah
target penjualan.

Sementara itu pengertian jualan di marketing
lebih pada meraih perhatian, pikiran dan hati
konsumen sehingga mereka mau membeli
produk kita. Bukan hanya berkeinginan membeli
tetapi juga menjadi konsumen yang loyal.
Jadi, kalau di sales kita berusaha memenangkan
kantong konsumen, di marketing kita berusaha
memenangkan persepsi konsumen.

Hubungan Sales dan Marketing

Sales baru bekerja setelah produk sudah
tersedia sedangkan marketing sudah sibuk
jauh hari sebelum produk diluncurkan. Adalah
marketing yang merancang strategi produk
melalui apa yang kita kenal dengan Segmentasi,
Targeting dan Positioning (STP). STP itu lalu
diwujudkan dalam marketing mix yang terdiri
dari Product, Price, Place dan Promotion (4P).

Setelah strategi marketing selesai dirumuskan,
produk sudah jelas STP-nya, barulah sales
bekerja. Jadi marketing ada di tingkat pemikiran s
edangkan sales pada level pelaksanaan. Jika
pemikirannya betul, maka pelaksanannya pun betul.

Ibarat di dunia militer, marketing adalah saat
dimana rencana penyerbuan disusun. Di mana
lokasi musuh, berapa kekuatannya, berapa
banyak logistik yang harus disiapkan dan bagaimana
cara menjangkau lokasi. Jika strategi benar,
eksekusinya benar.

Dengan demikian salesman tahu harus fokus
ke konsumen yang seperti apa ketika menjual
produk, tidak asal ketemu orang, langsung
menawarkan produk. Salesman juga tahu harus
ngomong apa ke konsumen, apa yang membedakan
produknya dengan kompetitor. Salesmanknow
what to expect sehingga mereka bisa lebih efektif.

Secara singkat marketing is the brain sedangkan
sales is the muscle.

Masih banyak perbedaan sales dan marketing,
silakan menambahkan sendiri sesuai dengan
pikiran atau pengalaman Anda.

http://smarketing08.wordpress.com

Wednesday, June 2, 2010

Toko Cakes Mewah, Harga Terjangkau

http://www.marketing.co.id/2010/04/05/toko-cakes-mewah-harga-terjangkau/#


The Harvest berawal dari menyalurkan hoby. Namun, sekarang sudah menjadi bisnis yang mampu memberi keuntungan besar bagi pemiliknya.

Lal De Silva tidak pernah membayangkan bahwa dirinya akan menjadi pengusaha. Apalagi, usaha itu dilakukan di negeri orang yang jauh dari tempat asalnya. Ketika datang dari Srilanka ke Indonesia, tujuannya bekerja sesuai dengan keahlian yang dimiliki, yaitu juru masak atau lebih keren disebut chef.

Setelah sekian lama tinggal di negeri ini dan mulai terpacu untuk memiliki usaha sendiri, ia tertarik dengan bisnis kue dan roti. Tentu saja, pilihan ini sangat relevan dengan keahlian yang dimilikinya. Sehingga, tak menunggu lama ia pun memilih keluar dari pekerjaannya sebagai chef di salah satu hotel berbintang lima di kawasan elite Kuningan, Jakarta.

“Saya melihat ada potensi yang masih sangat besar pada pasar kue di Indonesia. Yang diperlukan hanya keberanian dan kemampuan untuk memberikan nilai lebih dibanding yang lain,” kata Lal De Silva, pemilik sekaligus presiden direktur The Harvest.

Namun begitu, awalnya, Lal sempat agak bimbang untuk memulai bisnis ini. Sebabnya, ada perbedaan mendasar antara menjadi karyawan dan pengusaha. Meski yang digelutinya sama-sama soal membuat kue, tapi skill yang dibutuhkan untuk menjadi pengusaha berbeda. “Meski saya bekerja sebagai chef, apa saya bisa menjadi pengusaha cake? Karena, saya harus tahu juga soal pemasaran dan lainnya,” ungkapnya.

Tapi, keinginannya untuk menjadi pebisnis tidak tertahankan. Tekad awalnya adalah untuk menyalurkan kesukaan membuat cake. Tidak terlalu memikirkan keuntungan. Segera untuk pertama kalinya, The Harvest dibuka pada tahun 2004. Untuk memodali toko pertama, Lal mengaku merogoh koceknya sekitar Rp 1 miliar. Gerai pertama ini terletak di kawasan Senopati, Jakarta Selatan. Lalu, secara bertahap jumlah gerai mulai bertambah.

Sekarang ini, toko kue seluruhnya berjumlah delapan buah. Tersebar di dua kota besar, yakni Jakarta dan Surabaya. Sebagian besar dari gerai itu terletak di kawasan Jakarta dan sekitarnya. Dari modal yang ia keluarkan di awal, sekarang jumlahnya sudah tumbuh berlipat-lipat.

Lal memang tidak sembarang memilih kota untuk perluasan pasar. Sebab, meski pasar kue ini masih besar, namun The Harvest memilih segmen kelas atas. Di sisi lain, setidaknya ia sudah tahu perkiraan jumlah penyuka kue di wilayah tersebut. Sehingga, belum semua kota besar dirambah. “Namun, tahun ini kami sudah berencana membuka outlet baru di beberapa kota besar dan menambah outlet di Jakarta,” katanya.

Seperti tersebut di atas, The Harvest menyasar kelompok mapan yang menyukai kue dan suasana. Sehingga, konsep yang diusung pun sejalan dengan hal itu. Yakni, toko cakes dengan konsep rasa dan packaging hotel bintang lima dengan harga yang reasonable.

Memang, selain mengusung keunggulan dalam rasa dan kemasan, The Harvest juga mampu menyediakan harga yang cukup terjangkau. Tidak saja bagi kelompok ekonomi atas, tapi juga kelas menengah. Sebagai contoh, cakes dibanderol pada kisaran harga Rp 105.000―1.105.000 untuk ukuran antara 20×10 cm sampai dengan 60×40 cm. Produk lain dari The Harvest adalah chocolate, cookies, ice cream, bread, french pastries, dan ice cream cakes.

Meski harganya terjangkau, The Harvest tidak menurunkan mutu produknya. Untuk mengontrol kualitas tersebut, Lal memilih langsung para kepala chef di setiap gerainya. Terkadang, ia juga turun langsung mengontrol “dagangannya”.

The Harvest tidak saja menjual kue, tapi juga menyajikan suasana yang nyaman bagi pengunjungnya. Pembeli pun bisa menikmati kue di gerai The Harvest—model seperti ini jarang ada di toko kue lainnya. Pilihan lokasi The Harvest juga berbeda. Lal tidak pernah membuka outlet di dalam mal atau pertokoan. Semua gerai The Harvest selalu menempati gedung tersendiri yang mudah dijangkau dan dilengkapi tempat parkir yang cukup luas. “Ketika memilih lokasi, saya lebih mengandalkanfeelling dibanding perhitungan bisnis. Tapi, tetap mempertimbangkan segmen pasar yang kami sasar,” katanya.

Complaint Handling

Bagaimana menangani keluhan pelanggan? Di The Harvest, komplain sangat ditampung, terlebih lagi karena produk yang dihasilkan adalah makanan yang sangat rentan dalam hal rasa dan jangka waktu. Selain itu, bisnis ini sebenarnya juga memiliki risiko tinggi karena produk yang dihasilkan dikonsumsi langsung oleh orang. Untuk menampung itu, Harvest memiliki wadah yang disebut “Testimonial.

“Orang bisa masuk ke website kami dan menyampaikan keluhan, unek-unek, atau bisa juga mengungkapan rasa puas terhadap makanan dan pelayanan kami,” kata Lal. Keluhan juga bisa dilakukan lewat lembar komplain yang tersedia di meja-meja The Harvest. Setiap minggu semua kertas akan dikumpulkan dan dibacakan dalam pertemuan para kepala departemen.

Ia melanjutkan, semua masukan—baik kritik maupun yang lain—harus dibalas dalam waktu 15 menit. Dengan begitu, pelanggan atau pembaca website The Harvest bisa segera mengerti respons dari tim The Harvest. “Misalnya, ada yang tanya kenapa blueberry-nya kok sudah menjamur waktu diterima. Kami harus menerangkan bahwa itu memang karakter karena ingredient-nya, taburan gulanya berwana putih, dan lainnya.”

Penanganan komplain yang “cantik” dapat meningkatkan citra perusahaan tersebut menjadi semakin bagus. Apalagi, bila efek world of mouth bisa terjadi setelah penanganan komplain tersebut. Sebab, karakter pelanggan—di mana pun—kebanyakan akan menceritakan pengalaman yang ia alami di suatu toko atau penyedia jasa apa pun.

Melalui media-media interaksi ini pula, The Harvest bisa mengerti kebutuhan konsumen serta mengetahui sejauh mana posisi mereka di mata para pelanggan. Baik dari kualitas kue, pelayanan, sampai dekorasi ruang di semua gerai The Harvest. “Salah satu hal yang mendukung perkembangan The Harvest adalah masukan dan kritik dari pelanggan,” katanya.

Konsumen The Harvest sudah cukup banyak, sehingga ke depan mereka akan membuat customer loyalty program. Misalnya, dengan menerbitkan member cardyang memberikan keuntungan bagi pemegangnya. “Sekarang ini, kami sudah bekerja sama dengan beberapa bank. Salah satunya untuk menyambut perayaan Imlek bulan lalu,” tambahnya.

Selain itu, The Harvest juga akan menjalankan program CSR. Pada musim tertentu, mereka akan menjual cakes yang 10 persen dari penjualan selama musim itu akan disumbangkan ke panti asuhan atau lembaga kemanusiaan lainnya.

Sejauh ini, The Harvest dikenal orang melalui word of mouth. Pernah beriklan di media, tapi tidak berlangsung lama. Karena, karakter di bisnis makanan gaungnya justru lebih terasa bila melalui komunikasi mulut ke mulut. “Adanya berbagai program tadi diharapkan semakin membesarkan efek word of mouth yang sudah ada,” tegas Lal. (Majalah MARKETING/Ign. Eko Adiwaluyo)

Layanan Diet dari Si Ratu Pelangsing

http://www.marketing.co.id/2010/03/07/layanan-diet-dari-si-ratu-pelangsing/#

WRP Diet Center

Sebagai merek pelangsing tubuh, nama WRP sudah cukup tersiar. Namun, kepiawaian membaca keinginan pasar membuatnya berani melakukan ekspansi dengan menjajaki bisnis layanan program diet.

Ekspansi WRP tergolong berani. Di tengah produk pelangsing lain gencar melahirkan berbagai jenis varian, WRP malah berbeda. Bukan varian produk yang dipilih, melainkan bidang bisnis baru, yakni mendirikan WRP Diet Center (WRP DC).

Dijelaskan oleh Deputy of General Manager WRP Diet Center, Lia Amelia, sejatinya pendirian WRP DC lebih dikarenakan peluang pasar program pelangsing tubuh yang sekarang kian terbuka.

Lihat saja di beberapa kota besar di Indonesia. Berbagai nama diet center nampak menjamur di sana. Melihat fenomena itu, pihak WRP pun menanggapinya dengan serius dan menganggap ini sebagai ceruk bisnis baru yang wajib digarap. Alhasil, seusai melakukan serangkaian riset pasar, WRP membuka “WRP Diet Center”.

“Pihak WRP kala itu optimis terhadap kelegitan bisnis ini karena merek WRP sendiri sudah cukup kuat di pasar sebagai produk pelangsing tubuh,” ungkap dia.

Program diet yang ada di WRP DC tidak sama dengan program di diet center lain. Perbedaannya terletak pada hasil yang diperoleh. “Pada kami, program diet bukan hanya soal bagaimana berat badan bisa turun, namun juga harus sehat. Misalnya, kami bisa saja menurunkan berat badan hingga 10 kg dalam waktu singkat. Namun, kami tidak mau melakukannya karena akan merugikan kesehatan si klien sendiri,” jelas dia.

“Jadi, klien yang menjalani program diet di WRP tidak hanya akan menjadi langsing, tetapi juga akan menjadi sehat,” kata Lia seraya berpromosi.

Di WRP DC, program penurunan berat badan dilakukan secara bertahap, sesuai dengan masalah yang dihadapi si klien. Klien yang kontinu menjalankan perawatan dan masalahnya tidak terlalu berat, cukup mengikuti satu program dan selesai dengan lebih cepat. Namun, ada juga klien yang harus menjalankan beberapa program dan memakan waktu yang cukup lama.

“Biasanya jenis program dan jangka waktu perawatan ditentukan pada saat klien melakukan konseling dengan para konselor WRP DC,” jelas Lia.

Konseling memang diperlukan untuk menunjang kemaksimalan hasil perawatan. Hal ini dilakukan untuk menghindari kesalahan dalam perawatan, sehingga timbul ketidakpuasan dari klien atau bahkan bisa merugikan si klien sendiri. Pasalnya, sering kali ditemukan gap antara kasus yang dihadapi dengan keinginan si klien. Misalkan si klien ingin kulitnya tampak cantik. Namun ternyata, setelah diteliti, seharusnya yang perlu ditangani dahulu dengan segera adalah berat badannya, karena termasuk dalam kategori over weight.

”Bila sudah seperti ini, kami akan berterus-terang kepada si klien sambil memberi tahu mereka bahwa program perawatan kulit bisa diambil selanjutnya, setelah berat badannya mencapai angka yang ideal. Namun, keputusan akhir tetap diserahkan ke tangan si klien,” kata dia.

Soal menu perawatan, di WRP DC tersedia tiga program perawatan, yaitu program penurunan berat badan, pembentukan tubuh, dan perawatan kulit. Di antara ketiga program tersebut, penurunan berat badan lebih banyak diminati dibanding program lainnya.

Untuk soal harga, menurut Lia, sangat wajar. Satu program dibanderol Rp 3-15 juta. Jangka waktu perawatannya bisa mencapai 1,5 bulan. “Lagi-lagi itu disesuaikan dengan kebutuhan si klien. Misalkan seberapa besar masalahnya, jangka waktu yang diinginkan, dan sebagainya,” tambahnya lagi.

Saat ini gerai WRP DC telah ada di dua lokasi, yaitu Mal Pacific Place dan Grand Indonesia. Mal dipilih lantaran dianggap mampu membangun brand awarenessWRP DC. “Hal ini lumrah dilakukan bagi pemain yang baru muncul,” ujar Kwik Wan Tien, General Manager WRP Diet Center.

“Lagi pula, hal itu juga akan memudahkan si klien menemukan lokasi WRP DC. Ketimbang memberi petunjuk berdasarkan nama jalan yang belum tentu diketahui setiap orang, lebih baik memberi petunjuk lewat nama mal terkenal,” imbuh dia.

Penyebab lain juga terkait dengan target pasar WRP DC yang lebih menyasar ke kalangan AB+. Karenanya, untuk pemilihan mal pun tidak sembarangan. Harus dipilih mal tempat orang kalangan atas biasa berkunjung.

Selain mendongkrak awareness, kemampuan lain yang wajib dimiliki bisnis pelayanan ialah service experience skill. Dikatakan oleh Lia, di WRP DC pelayanan bersifat menyeluruh dan terbuka. “Artinya, kendati itu hanya pembantu atau baby sitter si klien, tetap akan kami layani dengan baik,” tegas Lia.

Bentuk layanan bisa berupa menyediakan bahan bacaan dan menanyakan ulang keinginan mereka. Semisal menanyakan apakah mereka ingin tambah minuman, ganti majalah, atau jalan-jalan ke luar dahulu.

Begitu juga dengan suami dan anak-anak si klien. Bagi klien yang kebetulan membawa serta suami, biasanya staf WRP DC akan mempersilakan sang suami untuk jalan-jalan dahulu ke mal sambil meminta mereka untuk meninggalkan nomor telepon. Tujuannya agar si suami bisa dihubungi kembali setelah isterinya selesai perawatan.

Sedangkan untuk anak-anak, biasanya para staf akan mendampingi mereka dengan menemani dan sebisa mungkin mengajak mereka bermain dan terus berkomunikasi sampai ibunya selesai menjalani perawatan.

Lewat cara itu, diklaim olehnya, klien sudah cukup puas. Terbukti dari laporan per kuartal, nilai WRP selalu berada pada angka 100 persen untuk kebersihan danservice experience. Sayangnya, ketika ditanya jumlah klien yang dimiliki sekarang, Lia enggan mengungkapkan. “Namun yang pasti, jumlahnya terus meningkat dari tahun ke tahun. Sebab itu, kami pun berencana untuk menambah satu gerai lagi guna mengantisipasi lonjakan jumlah klien di tahun ini,” ujarnya.

Meski mendapat predikat baik, bukan berarti WRP akan berhenti sampai di situ. Sejauh ini, terus terang diakui Lia, pihaknya juga sering mendapat masukan-masukan dari para klien mengenai WRP DC. Seperti tuntutan keberadaan kamar mandi dalam, ruangan yang diperluas, dan lain-lain.

“Tantangan ke depan bagi kami adalah berusaha memenuhi semua kebutuhan klien dan meningkatkan status servis WRP DC. Pasalnya, sekarang servis kami baru mencapai tahap ‘ramah’, belum ‘peduli’. Padahal, ramah dan peduli itu berbeda,” urainya.

Tegasnya, bila “ramah” maka yang diperhatikan hanya hal-hal yang umum. Sedangkan bila sampai ke tingkat “peduli”, hal-hal kecil pun akan diperhatikan. Misalnya, mencari tahu siapa saja anggota keluarga si klien, agar staf WRP DC bisa memberikan selamat atau mengirimkan kartu ucapan kepada yang berulang tahun. Atau, menanyakan anak si klien bila diketahui bahwa anak mereka tengah mengikuti suatu perlombaan di sekolahnya.

“Dengan begitu, diharapkan kepuasan klien terhadap pelayanan WRP DC akan semakin optimal, sehingga loyalitas pun bisa tumbuh,” kata Lia. (Majalah MARKETING/Andri Darmawan/Foto:http://wrp-diet.com)