Saturday, May 29, 2010

Political Marketing Pilkada 2010

http://politik.kompasiana.com/2010/05/29/political-marketing-pilkada-2010/

Seorang bapak yang menggunakan batik coklat berlengan pendek tersenyum sambil menatap ke arah saya. Sejenak kemudian dengan tegas dia membuat pernyataan, “Walau saya tidak punya uang, saya akan tetap maju. Saya masih PeDe kok. Toh pendukung setia saya banyak hampir di tujuh Kecamatan di Kota ini.” Bapak ini salah seorang kandidat Walikota di sebuah daerah.

Kepercayaan diri memang sebuah kualitas yang bagus yang harus dimiliki oleh seorang calon kepala daerah, entah itu calon Gubernur atau calon Bupati/Walikota. Hanya sayangnya untuk kasus bapak di atas, dia melupakan 3 hal.

Pertama, dia melupakan bahwa secara matematis (yang tentu juga secara sosiologis dan psikologis) PENDUKUNG SETIA dalam setiap perhelatan politik, termasuk Pilkada, tidak pernah lebih dari 30 persen orang yang mengaku setia (bukan 30 % calon pemilih). Kalau ada 100.000 orang yang mengaku setia kepada Anda, itu artinya hanya ada 30.000 yang betul-betul setia. 70% lainnya hanya “mengaku”. Mereka sebenarnya pragmatis. Dan itu sah-sah saja. Jadi jika ada seorang calon Walikota/Bupati mengatakan ada 100.000 pendukung setia dan dia sudah PD bahwa 100.000 itu akan benar2 memilihnya, ini sebuah asumsi yang gegabah. Dan yang perlu diingat lagi adalah, untuk menciptakan pendukung menjadi setia ada banyak hal yang harus dilakukan oleh si calon dan memerlukan waktu yang intens dan agak lama. Ingatlah fenomena ini: kesetiaan dalam politik setipis embun pagi; kesetiaan yang sebenarnya adalah 5 menit saat para pemilih berada di bilik suara. Hanya 5 menit itu. Dan percayakah bahwa 1 menit sebelum menuju ke 5 menit itu keputusan seseorang dapat berubah dalam sekejap? Ya, salah satunya melalui “serangan fajar” atau apalah namanya.

Kedua, si bapak tadi mengatakan bahwa “walau tidak punya uang…” dia merasa akan tetap dapat bertarung dengan aman, syukur bisa menang. Ini agak mustahil dalam konteks masyarakat dan budaya politik kita sekarang. Apa saya sedang membenarkan kuatnya pengaruh politik uang? Ya. Kenyataannya demikian. Sulit seorang calon Walikota/Bupati akan merebut Kota/Kabupaten tanpa uang. Toh dia perlu safari, mengerahkan massa, membiayai kampanye below & above the line, dll. Mungkin tidak perlu memberi “amplop” kepada calon pemilih, namun tetap saja dia harus keluar uang. Ini biaya politik, dan di dalamnya akan ada terkandung unsur politik uang.

Ketiga, yang dilupakan bapak tadi adalah STRATEGI. Dia merasa -bersama team kampanyenya (oya, umumnya yang dimaksud team kampanye itu adalah orang-orang dekat atau kerabat yang membantu dia untuk kampanye, bukan profesional. Orang-orang itu tentu hanya orang-orang yang cenderung menjadi pelaku lapangan dan bukan konseptor) bahwa tanpa strategipun dia akan baik-baik saja terjun ke medan tempur Pilkada. Ini jelas jelas jelas jelas jelas sangat tidak valid. Tidak ada satu tindakan pun di muka bumi ini yang berhasil tanpa strategi. Mau dibilang aksidental atau mengalir bagai air? No..no..no.. Sangat mustahil itu dilakukan. Dan Pilkada MUTLAK memerlukan strategi.

Ada lima tahap strategi yang harus dilakukan seseorang dalam kaca mata marketing politik untuk bisa mengungguli lawan, yakni:

(1) Tahap Brand Awareness. Pada tahap ini si calon memperkenalkan diri kepada calon pemilih. Baru sebatas memperkenalkan diri. Hasil pada tahap ini adalah begini, “Ooooh si anu mencalonkan diri menjadi Walikota/Bupati.” Baru sebatas bahwa calon pemilih tahu ada dia dalam bursa calon Walikota/Bupati.

(2) Tahap Brand Knowledge. Pada tahap ini calon pemilih sudah mulai punya pemaham lebih terhadap calon Walikota/Bupati. Hasil dari tahap ini adalah begini, “Waaah…ternyata si anu punya program Pembangunan UKM dan ingin mengembangkan program community development secara berkelanjutan.”

(3) Tahap Brand Preference. Pada tahap ini calon pemilih sudah mulai membandingkan antara calon yang satu dengan calon yang lain. Hasil dari tahap ini adalah, “Kayak-kayaknya si A emang lebih bagus daripada si B.” Mulai membandingkan keunggulan.

(4) Tahap Brand Liking. Pada tahap ini calon pemilih mulai memiliki rasa suka terhadap calon Walikota/Bupati. Jika seorang calon Walikota/Bupati sudah memasuki tahap ini dan memperoleh hasilnya, maka dapat dibilang dia sudah aman, Namun belum 100% aman. Pada tahap ini calon pemilih sudah mulai bilang, “Ya, saya akan pilih si A.” Namun ingatlah, rasa suka seseorang masih bisa dibombardir oleh “serangan fajar” dan yang sejenisnya. Karena itu ada satu tahap lagi untuk mengikat calon pemilih.

(5) Tahap Brand Loyalty. Pada tahap ini calon pemilih sudah setia kepada calon Walikota/Bupati yang akan dipilihnya. Sudah tidak akan goyah oleh apapun termasuk oleh serangan fajar. “Pokoknya saya pilih si A. Titik.”

Dalam menjalankan 5 tahap strategi tersebut, perlu ada komitmen yang kuat dari calon Kepala Daerah. Karena 5 tahap tadi akan diisi oleh strategi-strategi yang cukup menguras tenaga, pikiran, waktu dan tentu saja biaya. Misalnya pada tahap 1 dan 2 akan diisi oleh strategi PENCITRAAN, roadshow, dll. Pada tahap 3, 4 dan 5 akan diisi oleh strategi yang lain lagi.

Jadi jika dikatakan seorang calon Walikota/Bupati akan mampu bertarung tanpa strategi lalu menang, maka saya berani mengatakan bahwa itu merupakan HIL YANG MUSTAHAL.

Mohon digarisbawahi, ulasan di atas bisa saja tidak benar 100%. Saya sadar itu. Tak ada gading yang tak retaktoh.

Maju Indonesia ku!

Bisnis Warung Internet Tetap Menguntungkan

http://ukmindonesiasukses.blogspot.com/2010/05/bisnis-warung-internet-tetap.html

Kamis, 27 Mei 2010

NERACA - Usaha warnet sebenarnya cukup mudah untuk didirikan dan dijalankan. Betapa tidak, dengan membeli komputer, misalnya 10 unit, kemudian menginstalnya dengan software, lalu membuat jaringan agar komputer satu dengan yang lainnya terhubung, dan akhirnya mengalirkan koneksi internet ke jaringan tersebut, maka jadilah usaha warung internet (warnet).

Untuk mengelolanya juga tidak diperlukan orang-orang yang mempunyai skill tinggi dengan gaji yang mahal. Cukup lulusan SMA yang mengerti tentang komputer. Mungkin karena mudahnya, banyak orang yang berlomba-lomba mendirikan usaha warnet ini.Jika kita melewati jalan-jalan besar dan di sekitar jalan tersebut terdapat universitas, kos-kosan mahasiswa, atau perumahan padat, maka hampir bisa dipastikan ada usaha warnet yang berdiri di situ. Jumlah dari usaha warnet itu tidak hanya satu, bahkan bisa lebih dari tiga untuk lokasi yang berdekatan.

Walaupun sudah ada tiga usaha atau lebih, tetap saja ada warnet baru yang bermunculan. Mereka bertarung untuk mendapatkan pelanggan yang sama. Selain dari pembuatannya mudah, tren teknologi sebenar juga mempunyai andil besar dalam pembentukan pasar dari usaha warnet. Komunikasi dan informasi tiada batas itulah yang ditawarkan internet.Menjamurnya usaha warnet membuat persaingan semakin keras. Mereka bertarung tidak hanya dari sisi kenyamanan, spesifikasi komputer, dan kecepatan koneksi internet, bahkan dari sisi harga. Harga diturunkan sampai merusak pasaran untuk memancing pelanggan. Jika kita ingin bertahan, sudah selayaknyalah kita mempunyai keuntungan kompetitif dari warnet yang lain.

Warnet Gue

Dari sekian banyak warnet yang ada, Warnet Gue termasuk yang cukup menarik. Salman Azis Alsyafdi (24), selaku pemilik mengaku lebih memilih menjadi wirausaha, meski harus menghadapi tantangan berat. Sarjana komputer lulusan Universitas Indonesia (Ul) ini menyadari membangun bisnis ibarat mendakigunung yang tinggi.Salman menjadi wirausaha dengan mendirikan warnet bernama Warnet Gue, yang kini berjumlah 13 buah. "Motivasi saya terjun dalam bisnis adalah karena ingin mengeksplorasi daya imajinasi dan kemampuan saya tanpa dibatasi oleh sistem yang sudah ada.

Sebab, saya orang yang senang menciptakan hal-hal baru yang bermanfaat bagi banyak orang, ujar Salman. Warnet Gue, yang berlokasi di kawasan Bumi Serpong Damai (BSD), Serpong, Banten, berbeda dengan warnet-warnet lain. Sebab, Salman melengkapi Warnet Gue dengan fasilitas servis dan penjualan komputer. Namun, fokusnya tetap kepada game on line, yang sangat digemari oleh anak-anak. Tidak hanya itu, kata Salman, Warnet Gue juga menyediakan layanan makanan dan minuman.

Harapannya, dengan kelebihan itu para pelanggan menjadi betah berlama-lama berada di warnetnya. "Ini strategi untuk meningkatkan omzet," aku pria kelahiran Jakarta, Februari 1986, tersebut sedikit membuka rahasia perusahaannya. Salman mengatakan, rata-rata omzet Warnet Gue sekitar Rp10 juta-Rpi 2 juta per warnet per bulan. Saat ini, tambahnya, manajemen Warnet Gue sedang menyiapkan pembangunan Warnet Gue ke-14. Kebanyakan warnetnya berada di Jabodetabek. "Ke depan, saya ingin lebih mengembangkan usaha waralaba warnet dalam rangka ekspansi usaha dan penambahan cabang. Saya coba memadukan dengan usaha makanan dan minuman. Ini merupakan konsep baru," tambahnya.

Juara II Wirausaha Muda Mandiri (WMM) 2007 Kategori Mahasiswa versi Bank Mandiri itu mengaku senang melihat geliat anak-anak muda saat ini yang semakin tertarik menjadi pengusaha. Tetapi, ia juga menyayangkan mengetahui fakta masih banyak anak muda setengah hati mewujudkan cita-citanya sebagai pengusaha.Hasil pengamatan Salman, terkadang anak-anak muda sangat bersemangat setelah keluar dari seminar waralaba karena mereka juga mendapat suntikan motivasi. Namun, sayang, setelah beberapa hari kemudian semangat mereka kendor lagi. Atau, terkadang mereka sudah mulai usaha tetapi kemudian berhenti, menyerah, ketika menghadapi tantangan bisnis.

"Seharusnya mereka menyadari bahwa membangun bisnis tidak gampang. Memulai sebuah usaha ibarat mendaki gunung tinggi, perlu kerja keras, kerja cerdas dan semangat pantang menyerah. Setelah mengalami proses jatuh-bangun (secara mental) barulah kita akan sampai pada puncak gunung," ujarnya.Menurut Salman, ide usahanya mengembangkan Warnet Gue berawal dari kehidupannya saat masih di bangku kuliah. Saat itu, Salman masih duduk pada tahun kedua di Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia (Ul) Jakarta. "Ketika itu saya tinggal di Asrama Ul yang berisikan sekitar 1.000 orang mahasiswa. Saya lihat kok, belum ada warnet di situ. Saya berpikir kenapa tidak bikin warnet saja? Toh itu sesuai dengan background pendidikan saya. Makanya saya mengambil peluang bisnis warnet," kenangnya.

Salman mengatakan, untuk membangun usaha warnet tersebut, kala itu, dia bermitra dengan seorang teman, dengan komposisi modal 5050. "Saat itu modal yang dibutuhkan sekitar Rp38 juta. Saya menyediakan modal Rp19juta. Rinciannya, sebesar Rpi 1 juta berasal dari hasil saya berjualan komputer dan jual buku di kampus Ul, sisanya Rp8juta berasal dari orangtua," katanya.Menurut Salman, ketika itu dirinya berhasil meyakinkan orang tuanya, yang sebenarnya menginginkan Salman menjadi pegawai, setelah berjanji akan segera hidup mandiri. Ibarat- nya, permintaan uang Rp 8 jutauntuk modal kepada orangtua tersebut merupakan permintaan uang terakhir kali kepada orangtua. "Janji kepada orangtua itu memicu semangat saya makin berkobar. Syukur, saya sekarang bisa membiayai hidup dari hasil perjuangan sendiri," katanya bangga.

Kala itu Salman tidak asal berjanji, karena sebelumnya dia telah membuktikan memiliki jiwa bisnis yang tangguh, tekun dalam bekerja, jeli melihat peluang usaha. Juga, rajin menabung. Salman menjelaskan, sebelum membuka usaha berupa warnet, dirinya berjualan buku-buku fotokopian dan komputer di Kampus Ul, Depok. Hasil kala itu, akunya, cukup besar untuk ukuran kantong mahasiswa. Ide berjualan buku muncul karena dia melihat pasar yang relatif besar di mana di Fakultas Ilmu Komputer Ul terdapat sekitar 100 mahasiswa yang butuh buku teks."Awalnya, mahasiswa-mahasiswa mem-fotocopi sendiri-sendiri. Tidak ada yang mengorgani-sir. Jadi, saya pikir kenapa tidak dikoordinir saja? Kan bisa jadi bisnis selain bisa memudahkan mahasiswa mendapatkan buku itu," katanya.

Setelah bisnis buku dan komputer berjalan sekian bulan, Salman kemudian mengalihkan fokusnya untuk mengurus usaha warnet. Maka akhirnya bisnis buku fotokopian dia serahkan ke pihak Senat kampus. Dengan demikian Salman berkonsentrasi sepenuhnya ke bisnis Warnet Gue.Saat ini, selain mempunya empat warnet milik sendiri. Salman juga memiliki sembilan Warnet Gue lain yang dikembangkan secara waralaba.

Dengan perkembangan bisnisnya tersebut, Salman mengaku tidak menyesal pernah menolak peluang menjadi seorang bankir, karena sekarang penghasilannya dari bisnis lebih besar daripada pendapatan seorang bankir. Tapi pada waktu menolak sih pendapatan bisnis saya masih kecil dibandingkan kalau jadi bankir. Tapi, saya mikirnya kan jangka panjang. Lagi pula kalau jadi wirausaha, kita yang kontrol penuh terhadap bisnis kita," tambah Salman, yang menjadi sarjana komputer lulusan Ul pada tahun 2008 lalu

Tri Mumpuni, Mengerek Derajat Hidup Warga Desa Lewat PLTA

Jumat, 28 Mei 2010

Social Enterpreneur

Listrik bukan kemewahan di kota besar. Tapi, berbeda di daerah terpencil yang belum tersentuh jaringan PLN. Melalui Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) mini, Tri Mumpuni tak hanya menerangi desa, tapi sekaligus mendorong perkembangan ekonomi masyarakat.

LISTRIK bisa mengubah kehidupan sebuah masyarakat. Tak hanya sekadar penerangan dan peralatan rumah tangga, pemanfaatan listrik mampu meningkatkan pendapatan masyarakat dan memperbaiki kualitas hidup.

Kenyataan inilah yang mendasari langkah Tri Mumpuni Iskandar bersama Institut Bisnis dan Ekonomi Kerakyatan. Sejak 1996,Puni ini telah berkeliling ke berbagai desa untuk membantu warga membangun pembangkit listrik bertenaga air mini atau microhydro powerplant. "Kami hanya membantu sekaligus memaksa masyarakat membuat rencana bisnis untuk pembangunan PLTA kecil," katanya. Saat ini, Puni sedangmenggalang dana pendirian PLTA mungil berkapasitas 4 Mega Watt di sebuah desa di Subang, Jawa Barat. PLTA ini berpotensi menghasilkan pendapatan Rp 117 juta per bulan. Bahkan, desa ini bisa memiliki rumahsakit sendiri.

Maklum, esensi dari perjuangan Puni selama ini bukan hanya menerangi desa dengan listrik. Listrik juga harus bisa meningkatkan pendapatan masyarakat desa.Pemanfaatan listrik ini terbagi atas dua kategori berdasar kondisi desa, yaitu on-grid atau off-grid. Desa off-grid adalah desa yang lokasinya tidak terjangkau jaringan listrik PT Perusahaan Listrik Negara (PLN). Kehadiran pembangkit listrik membuat kebutuhan penerangan desa terpenuhi. Pada desa-desa jenis ini, pemakaian listrik juga bertujuan memenuhi kebutuhan produksi desa tersebut. Puni mencontohkan, pengeringan kemiri secara tradisional membutuhkan waktu empat hari asalkan matahari bersinar terik. Dengan adanya listrik, penduduk desa dapat memakai mesin untuk mengering-kan kemiri dan hanya memakan waktu enam jam.

Contoh lain adalah sebuah desa binaan Puni di Nanggroe Aceh Darussalam yang memproduksi minyak nilam. Keberadaan listrik membuat penduduk desa tidak perlu menebang pohon untuk kayu bakar. Selain itu, pemakaian mesin penyuling bisa menghasilkan minyak lebih banyak dan berkualitas.

Uang yang terkumpul berkat adanya listrik digunakan untuk membayar biaya perawatan dan pemeliharaan alat tersebut. Jadi, tercipta sebuah sistem berkesinambungan untuk perawatan pembangkit listrik.

Adapun desa on-grid sebenarnya sudah bisa mendapat pasokan listrik PLN,. Namun, desa-desa jenis ini memiliki potensi air yang cukup besar untuk membang-kitkan listrik. Kemudian, listrik yang dihasilkan di sana dapat dijual kepada PLN. Hal ini tentunya akan menghasilkan pendapatan yang besar bagi desa tersebut.

Puni menyadari, butuh persiapan yang baik dalam menghadapi aliran pendapatan tambahan itu sehingga tidak menimbulkan kekacauan dalam masyarakat. Oleh karena itu, jauh sebelum pembangkit listrik beroperasi, Puni dan timnya sudah terlebih dahulu mengajak para penduduk desa untuk berunding dan merencanakan pemakaian uang hasil penjualan listrik.

Sejauh ini, biasanya para penduduk desa memilih menggunakan dana tersebut untuk kepentingan pendidikan dan kesehatan warga desa Misalnya, digunakan untuk subsidi uang buku atau transportasi anak yang tinggal di lokasi terpencil dan jauh dari sekolahnya.

Bagi kesehatan, ada desa yang memakai dana tersebut untuk membuat klinik desa serta membayar dokter yang secara berkala datang. Ada pula yang memakai duit ini menjadi modal bergulir untuk pinjaman warga yang ingin membuka usaha. Pinjamannya berkisar Rp 500.000 hingga Rp 2 juta, dengan bunga 2% per tahun.

Perjuangan Puni telah menyentuh berbagai desa di berbagai daerah di Indonesia Mulai dari Jawa Barat, Sumatera, Kalimantan, hingga daerah lainnya Untuk membangun pembangkit listrik memangmembutuhkan dana yang tidak sedikit. Misalnya, ada sebuah desa di Maluku yang membutuhkan dana € 415.000 untuk pembangunan pembangkit listrik. Puni berhasil mendapatkan dukungan dana untuk proyek ini. Namun, jumlahnya tak seberapa "Padahal pemerintah menganggarkan dana sebesar Rp 1 triliun per tahun untuk memasukkan listrik ke desa," imbuhnya

Masalah dana juga kerap menjadi penghalang Puni dalam mewujudkan obsesinya membangun pembangkit listrik di pedalaman Papua Proyek PLTA di sana membutuhkan dana Rp 19 miliar. Saat ini, dia baru mendapatkan bantuan dana sebesar Rp 7 miliar.

Padahal, manfaat listrik masuk desa begitu besar. Puni mencontohkan sebuah desa di Tasikmalaya yangdulu ditinggalkan oleh penduduknya Sebagian besar penduduknya pergi ke kota untuk menjadi buruh.

Setelah pembangkit listrik terpasang, para wanita yang tinggal di desa mulai mengerjakan usaha bordir. Temyata, usaha tersebut cukup sukses, bahkan sampai diekspor. Setelah itu barulah para pria memutuskan kembali ke desa untuk berkarya di sana.

Puni mempercayai, Indonesia bisa membangun ekonomi yang kokoh dan berkelanjutan bila didukung sektor pertanian. Karenanya, pertumbuhan perekonomian desa seharusnya bisa memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia secara umum. Puni memandang, pengadaan listrik di desa-desa terpencil seperti yang dilakukannya saat ini adalah langkah awal menuju tujuan tersebut.