Friday, April 8, 2011

Baliklah Arah, Secepatnya!

http://swa.co.id/2011/03/baliklah-arah-secepatnya/


Thursday, March 17th, 2011
oleh : Harmanto Edi Djatmiko


Bila perusahaan Anda mulai stagnan, apalagi terlihat gejala kemerosotan, waspadalah. Hukum seleksi alam pun berlaku bagi bisnis Anda. Cepatlah balik arah, sebelum perusahaan Anda punah.
Impian para pemilik dan eksekutif bisnis di mana pun dan kapan pun pasti sama: selalu meraih sukses demi sukses. Sehingga, ketika membuka “Kamus Bisnis”, yang paling mereka sukai adalah kata-kata seperti ini: omset melonjak drastis, laba meroket, pelipatgandaan kapasitas produksi, ekspansi pabrik, membidik pasar baru, menubruk peluang-peluang bisnis potensial, dan sederet kata bombastis senada. Sungguh sedap di telinga.
Sialnya, sejarah panjang perjalanan bisnis mencatat, seiring dengan berpacunya waktu atau era, banyak perusahaan yang dulu pernah berjaya belakangan “dipaksa” bertumbangan dan tinggal nama. Bahkan, tak sedikit dari mereka yang sekadar namanya pun hilang tersapu perubahan zaman. Tak pandang bulu, tragedi itu bisa menimpa bisnis skala mana pun: kecil, menengah, besar, maupun mereka yang biasa dijuluki perusahaan raksasa.
Untuk yang skala kecil, Anda cukup mengingat-ingat perusahaan di sekitar Anda yang dulu pernah ada tetapi sekarang tak ada lagi. Untuk yang skala menengah, Anda mungkin bisa mengenang merek-merek yang dulu akrab di telinga tetapi kini raib tak tentu rimbanya, misalnya pasta gigi Ritadent dan minyak angin PPO. Kalau yang skala besar atau raksasa, kita bisa menyebut hancurnya Pan Am, maskapai penerbangan Amerika Serikat yang kondang dengan klaimnya, Only sun covers the world better than Pan Am. Bahkan, Abbey Road Studios — didirikan pada 1931 oleh perusahaan EMI di London yang pernah melejitkan musisi besar macam The Beatles, Cliff Richard, Pink Floyd dan The Shadows — pun akhirnya luluh-lantak.
Anda tentu tak perlu terlalu takut pada fakta tersebut. Toh, tak sedikit pula perusahaan yang berhasil melewati masa-masa tersulit dan masih eksis sampai sekarang. Beberapa dari mereka bahkan tampil sebagai pemain kelas dunia. Nokia, misalnya, mampu bermetamorfosis dari semula perusahaan perkayuan, kemudian ganti menjadi pemasok suku cadang pesawat, hingga akhirnya sekarang menjelma menjadi raksasa telekomunikasi dunia. Perusahaan yang melayani kebutuhan sehari-hari manusia semacam Unilever dan P&G pun mampu bertahan (bahkan masih terus berekspansi) dari generasi kakek-nenek kita hingga sekarang. Anda mungkin juga pernah mendengar, di Jepang, hotel yang didirikan Hoshi pada tahun 717 sampai kini masih bertahan, melintasi 40 generasi.
Intinya, meminjam istilah Charles Darwin, lagi-lagi soal survival of the fittest. Namun, bukan dalam pengertian yang sering disalahtafsirkan orang bahwa spesies terkuatlah yang akan bertahan hidup. Bukan. Dalam risalahnya, The Origin of Species, Darwin jelas-jelas menulis, “Bukan spesies terkuat maupun tercerdas yang mampu bertahan hidup, melainkan mereka yang paling responsif terhadap perubahan.”
Temuan ilmuwan besar Inggris yang mengguncang dunia itu dipublikasikan pada tahun 1859. Seratus sebelas tahun kemudian, futurolog Alvin Toffler, lewat buku legendarisnyaThe Future Shock (1970), mengibaratkan perusahaan-perusahaan raksasa yang bangkrut seperti binatang dinosaurus yang, meski kuat dan perkasa, akhirnya punah karena gagal beradaptasi dengan alam dan lingkungannya. Dan, belum lama ini, Toffler kembali mengingatkan bahwa kaum buta huruf di abad ke-21 bukanlah mereka yang tak bisa membaca atau menulis, melainkan mereka yang tak mau belajar dan belajar lagi.
Ada pesan krusial terselip di balik temuan agung para pemikir besar tersebut. Seperti halnya spesies-spesies lain yang hidup di muka bumi ini, perusahaan-perusahaan pun memiliki dinamika dan siklus hidup yang dari waktu ke waktu harus berjuang menghadapi ancaman kemerosotan, bahkan kepunahan. Hanya perusahaan-perusahaan yang cepat beradaptasi dengan alam dan lingkungan baru yang bisa lolos dari ancaman kepunahan. Ini hukum alam biasa, tak ada yang terlalu istimewa sebetulnya. Dalam praktik manajemen, kita mengenal istilah jurus turnaround atau membalik arah perusahaan. Indikatornya bisa macam-macam. Dari perusahaan rugi menjadi untung. Dari perusahaan biasa-biasa saja alias stagnan menjadi perusahaan dinamis dan selalu tanggap terhadap kebutuhan pelanggan. Dari perusahaan yang nyaris bangkrut menjadi bersinar.
Timing memang pegang peran penting di sini. Sebab, sekali terlambat, ceritanya bisa berubah menjadi amat menyedihkan. Perusahaan-perusahaan yang terbukti sukses melakukan turnaround telah membuktikannya. Selain soal waktu, kepemimpinan juga tak kalah penting. Dan itu terpancar kuat pada diri tokoh-tokoh pembalik arah seperti Carlos Ghosn ketika membenahi Nissan yang nyaris ambruk atau Lou Gerstner yang melincahkan kembali si raksasa biru IBM yang sempat amat lamban karena kelewat tambun.
Para pembalik arah, yang lazim dijuluki Mr. Fix It, tentu tak banyak jumlahnya. Mereka sering dijuluki benih langka di pucuk kepemimpinan perusahaan. Sebagai manusia, usia mereka terbatas. Sementara, usia perusahaan bisa menembus lintas generasi. Maka, dari orang-orang istimewa tersebut, kita bisa lacak dan pelajari esensi pemikiran, strategi, kebijakan, serta eksekusinya di lapangan. Dari sanalah, kita bisa membuat sistemnya. Ini amat penting, agar turnaround bisa berkelanjutan.
Di Indonesia pun, tak banyak kita temui Mr. Fit It. Dari yang sedikit jumlahnya itu, SWAberusaha menampilkan beberapa di antaranya. Emirsyah Sattar, misalnya, yang gigih membenahi national flag carrier Garuda Indonesia, sehingga akhir tahun lalu Garuda diganjar sebagai Airline Turnaround of the Year oleh Centre for Asia Pacific Aviation Award. Penghargaan ini didasarkan atas kinerja Garuda yang terus membaik. Pada 2008-09, ketika banyak maskapai dunia terpuruk, termasuk Singapore Airlines, kinerja Garuda justru positif. Laba bersih 2009 mencapai Rp 1,009 triliun, naik tajam dari tahun sebelumnya sebesar Rp 669 miliar.
Tokoh lain, juga dari BUMN, adalah Hery Angligan, Presiden Direktur PT Hotel Indonesia Natour, yang kini tengah berjibaku membenahi kinerja jaringan hotel di bawah naungan Inna Hotel Group. Hery menargetkan turnaround yang dicanangkannya akan tuntas pada 2014, kemudian siap bertarung dengan jaringan hotel swasta lokal yang muncul belakangan tetapi sekarang melesat ke depan seperti Santika dan Harris.
Dari sektor swasta, Edi Taslim berhasil membawa visi segar dan strategi jitu dalam mengembangkan PT Kompas Cyber Media, sehingga sangat potensial menjadi revenue stream baru bagi Kelompok Kompas Gramedia. Juga dipaparkan kisah Fenny Mustafa sebagai pemilik dan Gilarsi Wahju Setijono sang CEO yang bahu-membahu sukses membalik arah bisnis ritel busana muslim Shafira Corporation Enterprise yang nyaris bangkrut pada 2006-08 dan kini benderang lagi.
Semogalah pemikiran, strategi, kebijakan dan eksekusi dari sejumlah tokoh bisnis nasional tersebut menginspirasi Anda membangun sistem turnaround sendiri. Tentu saja, semua itu harus tetap disesuaikan dengan sumber daya yang Anda miliki, timing, lahan bisnis, serta jenis industri tempat Anda berlaga.

No comments: