Konsep Hall of Fame yang diadopsi 3D Baby Prints ternyata mampu mendulang untung. Bagaimana upaya sang pemilik merintis bisnis ini?
Rasanya, sudah banyak pengusaha yang bergelut di bisnis pernak-pernik bayi. Ada yang dibuat secara massal, ada pula yang handmade. Namun, sesaknya pemain di segmen bayi ini tidak menyurutkan niat Henny Tan untuk ikut mencicipi renyahnya bisnis tersebut.
Di bawah bendera PT Tatacipta Mega Pelangi, Henny menjalankan bisnis berlabel 3D Baby Prints. Perusahaan yang berdiri tahun 2006 lalu ini mengkhususkan diri pada pembuatan replika kaki, tangan, maupun anggota tubuh lainnya—sesuai permintaan pelanggan.
“Terinspirasi dari para orangtua yang ingin mengenang masa indah saat bayi mereka lahir, betapa mungil tangan dan kaki mereka, maka saya membuat produk replika ini,” katanya. Bayi memang tumbuh terlalu cepat. Oleh karena itu, Henny menawarkan produk yang membuat momen indah itu dapat dikenang seumur hidup.
Sebenarnya, produk replika semacam ini sudah marak di luar negeri, salah satunya Amerika Serikat (AS). Di Indonesia sendiri, pemainnya tergolong langka. Hampir dipastikan jumlahnya bisa dihitung dengan jari karena tidak terdengar sepak terjangnya. “Tahun 1996, ada beberapa pemain, tetapi pasarnya tidak meluas. Hanya terfokus di Jakarta saja,” ungkapnya.
Henny pun memutuskan untuk melebarkan sayap bisnisnya hingga ke luar kota. Sayang, keinginannya tak semudah membalikkan telapak tangan. “Untuk membuat satu pesanan replika, saya harus datang kecustomer guna proses pencetakan bentuk. Apalagi, pembuatannya sangat tergantung pada mood sang bayi agar hasilnya sesuai keinginan,” tambahnya.
Kalau sudah begitu, bisa dibayangkan berapa budget yang harus dikeluarkannya untuk menyambangi pelanggan di daerah. Maka, satu strategi jitu ditempuhnya, yakni membuat konsep waralaba. Tepat tahun 2008, waralaba miliknya resmi diluncurkan. Dijelaskannya, sistem ini sangat membantunya menggulirkan roda bisnis, yang semula cuma dijalankan oleh tiga orang.
Kini gerai 3D Baby Prints sudah bisa ditemui di Solo, Surabaya, Malang, Semarang, Manado, Riau, Medan, Bali, Makassar, dan Balikpapan. Namun, satu daerah tidak boleh dipegang lebih dari satu franchisee. Tujuannya agar tidak terjadi bentrokan. Tempat usaha yang digunakan bisa berbentuk rumah, toko ataupun outlet di dalam mal. “Jadi, tidak ada kendala dalam pemilihan lokasi penjualan. Yang terpenting adalah sistem jaringan penjualan,” tegasnya.
Untuk menjadi franchisee, harga yang ditetapkan terdiri dari tiga pilihan: Rp 38 juta, Rp 58 juta, dan 138 juta untuk masa 5 tahun. Selain mendapat suplai bahan dasar pembuatan replika, juga diberikan training cara pembuatan replika selama 3 hari, selanjutnya diinformasikan lewat e-mail.
Produk-produk 3D Baby Prints terbagi dalam beberapa kategori. Harga yang dipatok berbeda untuk skala usia yang dimulai dari nol hingga 8 tahun. Sebagai informasi, pemesanan 1 pieces tangan bayi berusia nol sampai 3 bulan seharga Rp 149 ribu; 4-12 bulan Rp 199 ribu; 13-24 bulan Rp 249 ribu; 25-36 bulan Rp 299 ribu; 3-5 tahun Rp 399 ribu; dan usia 6-8 tahun seharga Rp 399 ribu. Harga tersebut belum termasuk frame, panel kayu maupun plakat nama. Selain itu, masih dibagi lagi menurut jumlah pieces yang dipesan yakni 1pieces tangan/kaki, 2 pieces tangan/kaki, serta 4 pieces berupa 2 tangan dan 2 kaki.
“Memang harga yang ditawarkan terkesan mahal. Tetapi, saya menilai produk ini adalah karya seni dan dibuat secara handmade. Jadi, wajar saja harganya seperti itu. Di samping itu, pengukuran harga juga dipengaruhi oleh human resource,” ujarnya.
Yang jelas, produk ini didesain khusus untuk setiap pelanggan. Hasil satu desain berbeda dengan desain lainnya. Jadi, sifatnya eksklusif. Menurutnya, bahan yang digunakan pun berkualitas tinggi. Bahan tersebut tidak berbahaya bagi bayi karena terbuat dari rumput laut yang berasal dari AS. Kelebihan lainnya, obyek replika bisa diraba secara utuh lantaran diabadikan dalam bentuk tiga dimensi.
Ditegaskan Henny, target market-nya tak sebatas kalangan menengah ke atas saja, masyarakat menengah ke bawah juga banyak yang memesan. Apalagi replika yang dibuatnya bukanlah barang yang mengikuti tren pasar. Siapa saja bisa menikmati produk ini selama orang tersebut menyukai karya seni—apa pun bentuknya.
Oleh karena itu, ia tak sungkan-sungkan menawarkan kerja sama dengan beberapa rumah sakit dan toko yang khusus menjual pernak-pernik bayi. Sejauh ini, sudah ada 4 rumah sakit yang menjadi mitranya, 2 di Solo dan 2 lagi di Medan. Di luar itu, ada beberapa data mitra lainnya yang belum masuk ke laporannya karena jumlahnya kian menumpuk.
Untuk promosi, 3D Baby Prints menggunakan jalur above the line dan below the line. Hal pertama yang dilakukan Henny adalah mengikuti pameran-pameran di beberapa mal untuk menarik calon pembeli. Kegiatan tersebut diselenggarakan secara kontinu sebulan sekali. Satu pameran mampu membukukan hingga 100 order. Ia pun mengandalkan word of mouth dalam strategi marketingnya.
“Sekarang saya juga mulai memasang iklan di beberapa media massa untuk menjaring pasar yang lebih luas lagi. Materi iklan ini tak hanya difokuskan pada produk bayi saja, tapi juga dewasa seperti replikawedding. Istilahnya, menggarap pasar family,” ujarnya.
Diceritakannya, selama menggeluti bisnis replika, ia hampir tak pernah mengalami kendala. Selain minimnya jumlah kompetitor, omzet yang didapat pun cukup menggiurkan. Jika mampu menjual 30 pieces sebulan, maka rata-rata laba yang bisa diraup mencapai Rp 5-6 juta per bulan. Hanya saja, kesulitan terletak pada bahan yang mudah pecah sehingga harus berhati-hati saat melakukan finishing.
Lantas, bagaimana prospek bisnis replika ini ke depannya? “Bisnis ini akan terus berjalan selama masih ada bayi yang lahir. Juga selama masih ada orang yang menyukai karya seni atau ingin mengabadikan momen,” pungkasnya optimistis.
No comments:
Post a Comment