Handi Irawan
Ada banyak cara bagi para marketer untuk berkomunikasi dengan pelanggan. Eventbarangkali menjadi salah satu yang disukai oleh marketer akhir-akhir ini. Contohnya adalah event Piala Dunia, yang banyak dipergunakan oleh para marketer untuk menjalankan berbagai aktivitas marketing. Bukan saja beriklan, tetapi juga menjalankan event pendukung, seperti nonton bareng, road show, dan lain-lain. Aktivitas-aktivitas semacam inilah yang dianggap bisa membangun experiential moment yang kuat terhadap brand. Selain itu, event semacam ini bersifat interaktif. Karena konsumen sekarang membutuhkan komunikasi dua arah.
Konsumen memang semakin membutuhkan komunikasi yang bersifat dua arah. Iklan dianggap tidak bisa berdiri sendiri sebagai media komunikasi. Itulah sebabnya marketer banyak mencari media-media baru untuk berkomunikasi secara lebih efektif dan interaktif. Termasuk juga event dan aktivitas promosi lainnya. Mereka menyebutnya IMC [integrated marketing communication], memanfaatkan berbagai media untuk berkomunikasi.
Memang, sejak tahun 1980-an, para marketer mulai melirik aktivitas promosi lain yang saling terintegrasi. Namun demikian, konsep IMC sendiri baru bergaung kencang akhir-akhir ini. Dengan banyaknya event sport, kehadiran internet dan mobile, call center, dan lain-lain, akhirnya membuat perhatian terhadap IMC semakin kuat.
Memang, sejak tahun 1980-an, para marketer mulai melirik aktivitas promosi lain yang saling terintegrasi. Namun demikian, konsep IMC sendiri baru bergaung kencang akhir-akhir ini. Dengan banyaknya event sport, kehadiran internet dan mobile, call center, dan lain-lain, akhirnya membuat perhatian terhadap IMC semakin kuat.
Para pemilik merek, akhirnya harus melakukan perubahan orientasi dalam berkomunikasi. Kini komunikasi bukan hanya diperlukan dalam tahap akuisisi, atau mendapatkan pelanggan baru. Komunikasi juga diperlukan untuk membangun hubungan jangka panjang, dan hal ini tidak terbatas pada media tradisional semata. Marketer kini harus semakin memahami customer touch point dan berkomunikasi efektif dengan pelanggan sesuai dengan touch point.
Adalah Don E. Schultz yang banyak memopulerkan IMC ini di bukunya yang diberi judul yang sama. Sayangnya, sekalipun mulai dipakai sebagai jargon, banyak yang melihatnya dalam berbagai terminologi yang berbeda. Ada banyak pembahasan soal IMC di berbagai buku teks marketing, namun jarang ada yang membahas secara mendalam. Kebanyakan intinya adalah menggabungkan semua bauran komunikasi, baik below the line maupun above the line ke dalam satu pesan tunggal. Dengan demikian, pesan tersebut menancap lebih kuat di benak konsumen.
Namun, IMC sebenarnya bukan hanya upaya memakai berbagai media untuk berkomunikasi. IMC pada tingkatan terendah sudah harus mampu menyatukan berbagai media komunikasi dan menyalurkan pesan yang sama.
Masalahnya, menyatukan semua bauran tersebut dengan pesan yang sama dan konsisten memang tidak mudah. Saya kerap memakai contoh, bagaimana call center dengan bagian marketing terkesan tidak kompak. Kalau ada program baru dari marketing, bagian call center tidak terekspos, sehingga mereka tidak bisa menjawab pertanyaan pelanggan soal program baru tersebut. Tidak mengherankan, keduanya berada di dalam struktur organisasi yang berbeda. Apalagi jika bagian marketing berpikir bahwa call center hanya sebagai pusat pelayanan dan bukan promotion tools yang penting. Demikian halnya denganevent-event yang diselenggarakan oleh bagian marketing sendiri, terkadang program juga kurang memperhatikan konsistensi pesan dengan media lain.
Harus diingat IMC adalah suatu proses bisnis yang menggunakan perencanaan, eksekusi, koordinasi, dan pengukuran dari semua kegiatan komunikasi. Ini menunjukkan bahwa IMC tidak hanya dilakukan oleh individu atau sebuah divisi dari perusahaan saja. IMC adalah komunikasi yang melibatkan banyak divisi. Disebut proses, karena ada kerjasama yang harus dijalankan antardivisi. Mereka yang duduk dalam divisi PR, haruslah bekerjasama dengan divisi pemasaran. Divisi pemasaran haruslah bekerjasama dengan divisi pelayanan, karena merekalah yang paling sering bertemu dan berdialog dengan pelanggan.
IMC juga memandang bahwa audience itu bukan hanya konsumen. Karyawan harus dianggap sebagai saluran komunikasi yang penting pula. Sering terjadi, karyawan di dalam perusahaan tidak tahu event-event marketing penting yang sedang dijalankan. Teller dan customer service bank misalnya, tidak paham ketika ditanya soal undian berhadiah. Komunikasi internal kepada karyawan sangat penting, sebelum komunikasi tersebut sampai kepada pelanggan.
Merek yang sudah menjalankan integrasi pesan baru menjalankan sebagian kecil dari tingkatan strategi IMC yang ada. Tingkatan yang lebih tinggi adalah mencoba mencari atau bahkan menciptakan brand contact yang baru. Pada tahap ini, call center sudah menjadi media komunikasi yang efektif. Selain itu, internet, SMS, dan video juga mulai dipakai sebagai medium baru komunikasi. Marketer pada tingkatan ini juga mencoba inovatif dengan media-media baru yang mereka temukan lewat analisa pengalaman pelanggan. Harapannya, dengan media-media alternatif ini, kemungkinan brand contact dengan pelanggan semakin tinggi.
Tentu saja, analisa terhadap perilaku konsumen diperlukan pada tingkatan ini. Khususnya untuk mendapatkan kualitas serta kuantitas, dan bahkan biaya untuk eksposur. Misalnya saja, hasil analisa didapatkan bahwa target konsumen banyak terdapat di kafe-kafe. Maka, perusahaan bisa menjadikan kafe sebagai brand contact yang baru. Marketer kemudian bisa menghitung jumlah kafe yang dijadikan kontak untuk melihat kuantitas eksposur. Sementara, para pengunjung di kafe tersebut bisa dianalisis untuk melihat kualitasnya.
Pada tingkatan yang lebih tinggi, atau tingkat tiga, perusahaan sudah memilikidatabase yang mampu digunakan pada semua departemen dan divisi yang membutuhkan komunikasi. Database ini tentunya bukan sekadar data mati.Database yang dimaksud adalah data yang senantiasa akurat dan up-to-date untuk berbagai keperluan komunikasi. Bagi divisi pemasaran, mereka bisa memakai data tersebut untuk keperluan program kampanye, sementara divisi pelayanan mempergunakannya untuk memberikan pelayanan yang baik. Di sisi lain, divisi penjualan juga bisa memakai data tersebut untuk melakukan pendekatan kepada prospek. Inilah yang disebut sebagai data driven communication, artinya komunikasi didorong oleh data-data yang dimiliki perusahaan.
Kesulitan IMC pada tingkatan ini adalah integrasi dan distribusi data yang dimiliki perusahaan. Jika semua divisi saling menyimpan data sendiri-sendiri, maka IMC tidak bisa berjalan. Itulah sebabnya, pada kondisi ini, IMC sudah harus menjadi bagian dari strategi perusahaan dan bukan dari divisi marketing semata. Hanya dengan campur tangan direksi atau pimpinan perusahaan, data akan mudah terkumpul dan terdistribusi dengan mudah.
Kondisi yang lebih rumit terjadi pada tingkatan keempat, dimana IMC sudah mampu melakukan pengukuran yang bersifat real time. Artinya, IMC sudah memahami setiap dampak dari komunikasi yang sedang dijalankan, dan melakukan modifikasi strategi serta taktik komunikasi dengan cepat pula.
Pada tingkatan ini, komunikasi yang customised pun dengan cepat bisa muncul di hadapan konsumen. Ini semua bisa dijalankan karena perusahaan telah mampu menyampaikan pesan yang konsisten, memiliki brand contact yang sesuai dengan pengalaman yang diinginkan pelanggan, memiliki database yang baik sehingga konsumen bisa disentuh oleh komunikasi yang customised, dan terakhir, punya pengukuran yang selalu bisa membantu perusahaan menjalankan strategi dan taktik yang tepat dan real time.
Pada tahapan mana perusahaan Anda sudah menjalankan IMC? Yang jelas, makin tinggi tingkatan IMC, semakin sulit dijalankan. Tak mengherankan, kebanyakan perusahaan lebih memilih menjalankan IMC tingkat satu dan mulai masuk ke IMC tingkat dua, dengan memperbanyak media komunikasi. Itulah strategi IMC yang relatif paling mudah untuk dijalankan.
No comments:
Post a Comment