Thursday, March 17th, 2011
oleh : Prih Sarnianto
Dengan strategi yang tepat, bisnis apa pun punya peluang sukses dalam upaya membalikkan nasib. Inilah contoh sukses turnaroundyang dilakukan Bruberry, Samsung Electronics dan Siemens AG.
Doing a Burberry. Istilah inilah yang digunakan para eksekutif industri barang mewah—luxury goods—untuk kata turnaround. Dan memang, apa yang dilakukan Burberry Group dalam upaya mengibarkan bisnis dari keterpurukan layak dijadikan contoh.
Kita lihat saja. Pada pertengahan 1990-an, bisnis Burberry sudah semendung cuaca di pedalaman Inggris yang kerap diguyur hujan. Citra merek mereka yang “sangat Inggris” tak jauh dari gerombolan hooligans, para bonek londo yang gemar tawuran itu. Kenyataannya, produk berlogo ksatria penunggang kuda tersebut adalah favorit para lelaki penggila sepak bola di sana.
Favorit massa yang kerap beringas, pakaian bermotif kotak-kotak dengan warna dasar cokelat muda khas Burberry bukan lagi simbol status kelas atas. Citra pemiliknya waktu itu, Great Universal Stores (GUS) yang dikenal sebagai perusahaan properti dan mail-order shopping—bisnis yang jauh dari catwalk—juga tak dapat diharapkan mendongkrak reputasi Burberry ke tataran merek premium.
Mencapai titik cukup rendah, penjualan Burberry yang terus merosot memaksa GUS mengupayakan turnaround. Dan uniknya, dalam upaya mendongkrak merek ini, para petinggi GUS tak mendatangkan eksekutif dari industri fashion. Mereka merekrut Rose Marie Bravo, Presiden Saks Fifth Avenue.
Alasan penempatan Bravo yang besar di industri ritel sebagai CEO Burberry tak kelewat jelas. Namun, terbukti pilihan mereka tak salah. Tangan dingin Bravo berhasil membuat merek Burberry kembali cool dalam waktu singkat. Buktinya, ketika sahamnya yang berkode BRBY diluncurkan ke Bursa Efek London pada 2002, nilai buku mereka menembus £ 2,0 miliar (US$ 3,7 miliar).
“Kami waktu itu terjerat masalah ‘logoisme’ yang marak di industri fashion,” tutur Bravo. “Tapi kami tahu bahwa segala sesuatu bergerak sesuai siklus.”
Bravo paham, di industri barang mewah bahkan hal yang bagus pun tak boleh terlalu banyak. Waktu itu, motif kotak-kotak muncul di 20% produk pakaian Burberry. Logoisme yang kelewatan semacam ini bikin motif yang jadi ikon itu tak cukup eksklusif, tak lagi “wah.”
Maka, agar tak sampai jatuh jadi murahan, Bravo memangkas penampakannya sehingga pada 2004 cuma 5% produk Burberry yang bermotif kotak-kotak, kecuali produk tas tangan yang masih mencapai 70%. Selain itu, dia juga membuat produk Burberry tak lagi gampang diperoleh di sembarang tempat.
Caranya? Dengan mengayun sebuah strategi terpadu.
Pertama, bekerja 14-16 jam/hari, Bravo merekrut tim yang solid untuk mengibarkan Burberry jadi merek premium. Mengingat pada 1997 itu rantai pertokoan besar semacam Harvey Nichols dan Selfridges ogah menjajakan produk Burberry, cukup sulit baginya menarik eksekutif yang yakin bahwa seragam para penggila bola itu layak menyandang status elite. Bravo mengatasi kendala ini dengan mengambil eksekutif asal Amerika Serikat (AS)—sebagian pernah bekerja dengannya di Saks atau I. Magnin.
Setelah itu, Bravo meluncurkan Prorsum dan membajak Roberto Menichetti dari Jil Sander untuk mendesain lini produk kelas atas ini. Buat menjajakan produk yang sejak awal dicitrakan premium ini, sang CEO karismatik mendandani ruang pamer di Haymarket, London, lalu secara terarah melengkapi merek baru itu dengan berbagai produk aksesori, minyak wangi, pakaian anak, bahkan barang-barang rumah tangga.
Upaya mahal ini membuat Burberry agak kesulitan pada tahun-tahun menjelang milenium baru, karena Bravo memangkas distribusi dan mengalihkan investasi untuk pengembangan desain, pemasaran dan pembangunan tim. Akan tetapi, sang CEO memanfaatkan momen sulit tersebut untuk menutup jalur distribusi yang tak sesuai dengan citra tinggi yang hendak dibangun.
Koleksi rancangan Menichetti mendapat penilaian beragam—tak selalu bagus, tetapi berperan penting dalam upaya pengembangan merek walau Prorsum tak terdistribusi kelewat luas. Dengan begitu, pada akhir 1990-an itu, mereka masih mengandalkan pendapatan dari koleksi Burberry London, hasil rancangan Deborah Lloyd yang waktu itu dikelola terpisah dari Burberry Prorsum.
Koleksi Prorsum baru mendapat sambutan luas ketika dipegang Christopher Bailey, perancang yang dibajak dari Gucci untuk menggantikan Menichetti pada Mei 2001. Prestasi ini membuat Bailey yang mantan asisten Tom Ford di Gucci diminta membawahkan tim perancang Burberry London setelah Lloyd hengkang ke Banana Republic, sehingga kedua lini produk lebih sinkron.
Buat mengibarkan citra Burberry, Bravo menarik Fabien Baron dan Mario Testino untuk meluncurkan kampanye iklan baru yang menonjolkan keinggrisan merek dengan menampilkan barisan selebritas Inggris di berbagai majalah perempuan (GQ, Esquire,Vogue, Tattler, Harper’s Bazaar). Dalam kampanye iklan besar-besaran itu, Kate Moss yang menjadi duta merek tak didandani dengan bikini, melainkan sesuatu yang sangat terkait dengan ikon merek—jas panjang penahan hujan—sehingga Burberry bisa berevolusi dari heritage yang sangat maskulin, mengambil istilah Bravo, “dengan cara yang sangat feminin.”
Heritage klasik Burberry juga terus dipertahankan, tetapi dibuat lebih muda dan modern,hip dan fashionable. “Ada garis tipis antara jadi komersial dan estetik, menjual tetapi tak sampai murahan.” Pendek kata, Burberry jadi merek yang “sensible tetapi berkelas”, tak terlalu avant-garde atau snooty laiknya rumah mode Eropa.
Perlu dicatat, didirikan pada 1856 oleh mantan karyawan magang sebuah perusahaan grosir pakaian berusia 21 tahun, perusahaan yang mengambil nama sang pendiri ini, Thomas Burberry, berawal dari sebuah toko khusus pakaian luar di Basingstoke, kawasan Hampshire. Pada 1870, Burberry meluncurkan gabardine. Bahan tahan air yang tembus udara (sehingga tak bikin gerah) ini pada 1901 menarik Departemen Pertahanan untuk minta Thomas merancang jas panjang, Tielocken coat, cikal bakal dari jas panjang tahan hujan, trench coat, yang merupakan bagian dari seragam para perwira Inggris dan Prancis pada Perang Dunia I.
Digunakan dalam berbagai ekspedisi kelas dunia—penaklukan kutub selatan oleh Ronald Amundsen (1911), lintas antartika oleh Ernest Shackleton (1914) —jas panjang ciptaan Burberry ini naik gengsi. Namun, jas hujan yang pada 1924 diberi lapisan dalam bermotif kota-kotak itu baru berkibar jadi ikon ketika ditampilkan oleh Humphrey Bogart dan Ingrid Bergman dalam film Casablanca, lalu oleh Audrey Hepburn dalam Breakfast at Tiffany’s, dan Peter Sellers dalam Pink Panther.
Memasuki 1967, motif kotak-kotak tadi ikut ngetop setelah ditampilkan di lapisan luar koper dan berbagai aksesori Burberry. Waktu itu, perusahaan yang masuk bursa pada 1920 ini telah menjadi anak perusahaan GUS yang mengakuisisinya pada 1955.
Alhasil, selain sangat Inggris, sejak awal citra Burberry juga sangat maskulin—cenderung militeristis, macho. Wajar, dalam perkembangannya, pakaian bermotif kotak-kotak Burberry jadi favorit para penggila bola bahkan, memasuki pertengahan 1990-an, jadi seragam para hooligans.
Dari kondisi semacam ini, buat mengembangkan citra feminin tentu dibutuhkan waktu—juga biaya—tak sedikit. Untungnya, GUS terus memberi dukungan walau pada tahun-tahun awal upaya turnaround penjualan Burberry menurun, suatu hal yang sangat dihargai Bravo.
“Saran saya, siapa pun yang coba melakukan turnaround harus siapkan waktu, yang menurut pengalaman kami, tiga sampai lima tahun untuk menanganinya secara serius dan mesti punya orang-orang yang yakin terhadap upaya turnaround tersebut, yakin terhadap manajemen, yakin terhadap tim yang ada, dan terus yakin,” ujarnya. “Itulah kunci sukses upaya besar tersebut.”
Dalam hal Burberry, kesabaran para petinggi GUS ditunjukkan dengan menerima baik kebijakan Bravo menunda investasi untuk toko baru sampai koleksi yang dikembangkan sesuai dengan citra yang ingin dikibarkan. Padahal, selama menunggu itu, pendapatan Burberry terus tergerus.
Para petinggi GUS juga mendukung ketika Bravo, pada saatnya, membuka gerai besar,major flagship, di New Bond Street, London, dengan interior yang lebih ringan dan terbuka ketimbang gaya Burberry sebelumnya yang didominasi kayu mahoni. Mereka terus mendukung gebrakan Bravo membuka jejaring pertokoan di Istanbul dan kota-kota besar dunia lainnya. Lebih dari itu, Victor Barnett, direksi GUS yang juga chairmanBurberry, juga tak segan membantu sang CEO membeli-balik lisensi Burberry di Spanyol, pasar kedua terbesar setelah Inggris, dan menegosiasi-ulang perjanjian lisensi dengan Mitsui di Jepang.
Maka, ketika upaya turnaround Bravo memberikan hasil positif, penjualan dan laba yang diraup langsung menempatkan Burberry sebagai meteor bisnis yang melejit paling tinggi di langit industri barang mewah. Pada semester I/2004, ketika penjualan Mark & Spencer anjlok 2,5%, Burberry meraih pertumbuhan pendapatan 15% dari penjualannya di seluruh dunia.
Memasuki 2006, penjualan mereka menembus US$ 1,3 miliar, tiga kali lipat penjualan sewindu sebelumnya yang US$ 460 juta ketika Bravo mulai bergabung. Per 31 Maret 2006 itu, laba bersih Burberry meroket 18,2% jadi US$ 202,9 juta dari kenaikan penjualan yang hanya 5,9% dibanding pada tahun fiskal sebelumnya.
Pengalaman luas di bidang ritel terbukti membantu Bravo dalam sukses turnaround ini. Dia, kita tahu, memulai karier di Abraham & Straus pada 1971, kemudian bergabung dengan Macy’s pada 1974 sampai menduduki posisi General Merchandise Manager Macy’s East, lalu ditarik jadi Chairman dan CEO I. Magnin (1987-92) dan hinggap di Saks sebagaipresiden pada September 1992 sebelum teken kontrak sebagai CEO Burberry pada September 1997.
Di Saks, Bravolah yang memosisikan rantai toko kelas atas itu sebagai tempat peluncuran berbagai merek besar produk minyak wangi. Dia juga diakui sebagai otak di balik sukses Saks melengkapi tokonya di lokasi bergengsi dengan barang-barang eksklusif melalui deal khusus dengan sejumlah perancang kondang. Dengan deal itu, merek semacam Prada, Jil Sander, Issey Miyaki, Jean Paul Gaultier dan Zoran yang sebelumnya dimonopoli Neiman Marcus dan Barneys (New York), dijajakan di beberapa gerai Saks.
Ketika menduduki kursi CEO Burberry, tak diragukan kepiawaian Bravo dalam menjajakan produk mewah di gerai ritel, termasuk bagaimana mengembangkan portofolio produk yang optimal dan penataannya. Dialah yang mengubah atmosfer toko Burberry jadi ringan, lega dan modern. Dia pula yang mendorong peluncuran Burberry Prorsum, Burberry Brit, dll. yang masing-masing membidik segmen pasar berbeda, mendampingi Burberry London yang merupakan merek utama.
Dari nama yang diambil saja, terlihat bahwa Bravo ingin menonjolkan keinggrisan Burberry. Keinggrisan—Britishness—itulah, dia megakui, yang membuat Burberry unik. Untuk menjual Britishness ini, sang CEO mengarahkan Burberry untuk fokus pada satu merek; mirip Tiffany’s ketimbang Louis Vuitton Moet Hennessy.
Strategi fokus Bravo terbukti membuat produk Burberry yang sangat Inggris itu mampu menaklukkan khalayak konsumen global. Pada 2004, penjualan mereka dari Britania hanya 15%. Eropa secara keseluruhan pun cuma menyumbang 50% penjualan total, sisanya dari Asia (25%) dan Amerika Utara (24%).
Buat menjamin pertumbuhan jangka panjang, Bravo mempersiapkan para eksekutif Burberry untuk suatu saat menggantikannya sebagai CEO. Upaya ini tak berjalan kelewat mulus, karena sukses yang membuat Burberry identik dengan turnaround mendorong pesaing membajak mereka “doing a Bruberry.” Thomas O’Neill, misalnya, hengkang pada Mei 2004 untuk jadi CEO Harry Winston.
Banyaknya pembajakan tersebut membuat Burberry harus menarik Angela Ahrendts, EVP pada Liz Clairborne, untuk menduduki kursi CEO ketika Bravo pensiun pada Januari 2006. Dia harus membuktikan bahwa pengalamannya mengelola merek gobal Liz Clairborne—Ellen Tracy, Juicy Couture, DKNY Jeans—dapat membantu mengibarkan nama Burberry lebih tinggi di tengah krisis ekonomi 2008, seperti ketika Bravo membawa ikon yang sangat Inggris tersebut ke pasar global, di tengah krisis ekonomi 1997.
Krisis ekonomi 2008 mungkin agak berbeda dari krisis 1997. Setelah meledak akibat meletusnya gelembung kredit perumahan subprime di AS, krisis ekonomi 2008 diperparah oleh default utang Yunani yang menyeret Uni Eropa sehingga skalanya lebih global. Kendati demikian, bukan berarti krisis ekonomi 1997 cuma ecek-ecek, terutama bagi perusahaan Asia semacam Samsung.
Pada 1998, di puncak krisis keuangan Asia, dengan nilai won yang terpangkas 50%, Samsung Electronics (SE) sebetulnya bisa berjaya dengan menggenjot produknya yang low-end. Namun, Yun Jong Yong mendapat mandat dari Lee Kun Hee, chairman dan putra pendiri chaebol Samsung, untuk merestrukturisasi anak perusahaan yang bergerak di bisnis inti konglomerat Korea tersebut. Maka, Yun membawa SE melakukan lompatan kuantum: menyerbu industri elektronik berbasis digital yang belum dikuasai kampiun bisnis mana pun.
Hasilnya? Dalam tempo tak sampai 15 tahun, Samsung sukses merebut gelar merek produk elektronik paling bernilai di dunia dari tangan Sony Inc., Jepang.
“Produk elektronik itu,” ujar Yun, “mirip sashimi.”
Analogi di balik ini sederhana saja. Ketika seekor tuna premium tertangkap, fresh, resto sashimi kelas atas Jepang boleh dibilang bersedia membelinya dengan harga berapa pun. Keesokan harinya, tuna belum laku hanya dihargai setengahnya oleh resto kelas dua. “Setelah itu,” masih kata Yun. “tuna tadi cuma layak dijajakan sebagai ikan asin—tak menjanjikan laba.”
Maka, dalam restrukturisasi SE, Yun berupaya agar perusahaannya menghasilkan produk berteknologi termaju dan mendistribusikan ke seluruh dunia, lebih dulu ketimbang para pesaing. Dengan cara ini, dia bisa mematok harga premium sampai perusahaan lain menawarkan teknologi setara sehingga produk tadi tak lagi fresh.
“Di bisnis kami, duit akan datang kalau Anda bisa memangkas lead time ke pelanggan,” ujar Yun. “Dengan seminggu lebih cepat sampai ke pasar, ada perbedaan besar yang didapat. Kalau sampai dua bulan terlambat, matilah kau…”
Ambil contoh, pada 1996 harga DRAM anjlok 1% per minggu atau 50% per tahun. Artinya, kalau bisa cepat melempar ke pasar, produsen akan mendapat harga rata-rata tinggi. Karena harga chip memori yang menyumbang 60% ekspor SE ini fluktuatif, Yun mengurangi ketergantungan terhadap komponen yang cepat jadi komoditas tersebut.
Untuk itu, Yun berupaya mendominasi pasar telepon seluler (ponsel) domestik Korea. Upaya ini berjalan mulus karena Seoul memilih teknologi seluler yang tak (banyak) digunakan negara lain, PCS, sehingga Samsung (dan LG) terlindung dari kampiun global semacam Nokia. Ekspansi bisnis ponsel ke mancanegara, terutama AS, juga relatif mulus karena sebelumnya Samsung telah menjalin kemitraan dengan Sprint PCS.
Pertaruhan yang lebih besar adalah di industri pesawat TV digital yang, di Barat, waktu itu merupakan ceruk pasar karena harganya selangit, US$ 7 ribu/unit. Di sini, tak seperti Sony dan Matsushita yang fokus pada produk kelas atas, SE meluncurkan rentang produk seluas mungkin dengan harapan merebut 10% pasar setelah harganya terjangkau oleh rata-rata keluarga kelas menengah.
Dengan menarik semua produk lama dari pasar negara maju dan mengobralnya di negara-negara miskin seraya meluncurkan produk TV LCD, LED dan plasma tercanggih mendahului persaing, Samsung berhasil merebut pasar dari para samurai industri elektronik Jepang. Sukses di bisnis TV (yang merupakan produk elektronik paling dikenal) inilah yang memungkinkan SE berjaya juga di pasar produk elektronik lainnya sehingga nilai brand Samsung mampu menyalip Sony.
Karena bisnis lain Samsung Group berjalan baik, atau minimal tak terkena masalah yang sistemik, turnaround SE yang tadinya nyaris menyeret konglomerat ini ke jurang kebangkrutan sudah cukup untuk mengibarkan Samsung Group jadi chaebol terbesar Korea. Keadaannya akan berbeda kalau bisnis yang terpuruk cukup banyak seperti yang dialami Siemens AG.
Selama beberapa dasawarsa, konglomerat engineering Jerman ini terlilit masalah, sering harus menanggung rugi dengan melesetnya proyek infrastruktur besar atau karena pengeluaran yang tak terkendali. Atau, kalaupun masih meraih laba, marginnya begitu tipis untuk menutup biaya modal. Pada awal 2000-an, menurut analis pada HSBC, margin mereka cuma separuh para pesaing utama.
Salah satu hal yang membuat Siemens terpuruk adalah konglomerat ini tak bisa memutuskan untuk fokus di bisnis engineering besar seperti pembuatan kereta api cepat serta turbin dan transformer atau masuk ke bisnis semacam ponsel dan chip komputer. Keadaan ini diperburuk oleh ketergantungan Siemens terhadap pasar domestik, yang pada awal 1990-an menyumbang hampir 50% penjualan. Keenakan jadi jago kandang membuat mereka tambun dan lamban untuk bersaing di pasar global.
“Mereka itu perusahaan yang terobsesi teknologi, tak terlalu memperhatikan kepentingan pemegang saham,” ujar Martin Prozesky, analis pada BernsteinResearch. “Mereka tertarik pada engineering demi engineering.”
Yang lebih parah, selama 2006-08, Siemens tersandung skandal suap sehingga terkena denda US$ 1,6 miliar karena terbukti telah menyogok para pejabat dan politisi untuk memenangi proyek di seluruh dunia. Patut dicatat, sebelum 1999 Jerman tak punya undang-undang yang melarang penyuapan pejabat asing.
Skandal tersebut memaksa Siemens merekrut orang luar sebagai CEO sehingga pembenahan yang dilakukan Klaus Kleinfeld terhenti. Akan tetapi, mereka beruntung. Peter LÅ‘scher ternyata mampu melakukan transformasi besar secara cepat. Hanya dalam bilangan bulan, eksekutif perusahaan farmasi asal Austria yang bermental baja ini mampu menyelesaikan restrukturisasi manajemen. “Salah satu kata pertama saya di perusahaan ini adalah speed, speed, speed,” ujarnya.
Tanpa ragu, dia memangkas 11 divisi yang ada menjadi hanya tiga sektor dan, bersama perampingan bisnis, 50% manajemen operasional lama juga diamputasi. Dalam struktur manajemen baru, tiap bos sektor bisnis diberi tanggung jawab penuh. “Itu buat membenahi akuntabilitas dan tanggung jawab sehingga nantinya saya bisa bilang: you are responsible,” ujarnya.
Dalam perampingan, LÅ‘scher melepas bisnis elektronik konsumer yang sulit bersaing. Dalam bilangan minggu sejak menjadi CEO, dia menjual VDO, bisnis elektronik-otomotif senilai € 11,4 miliar, dan membeli Dade Behring, perusahaan diagnostik-medis senilai € 5,1 miliar.
Aksi korporasi ini adalah bagian dari upaya besar Siemens mengibarkan diri di bisnis infrastruktur teknologi tinggi yang entry barrier-nya tinggi serta ke bisnis semacam pelayanan kesehatan dan pengendalian energi untuk gedung yang dapat ditawarkan perusahaan dalam bentuk bundling produk plus jasa layanan. Selama ini sistembundling—misalnya jasa audit untuk penghematan energi, produk yang hemat energi, pendanaan untuk produk tersebut, dan penghitungan kelayakan pembayarannya dari penghematan yang didapat—telah membuat Siemens unggul dalam persaingan sehingga energi menjadi penyumbang besar laba perusahaan.
Di industri energi, turbin Siemens yang efisiensinya sampai 60% dari energi pembakaran gas, jauh lebih tinggi ketimbang teknologi pesaing yang efisiensinya cuma sekitar 50%, telah meningkatkan pangsa pasar mereka. Maklum, untuk turbin besar, peningkatan efisiensi 2% dapat menghemat bahan bakar € 50 juta lebih selama umur pakai turbin tersebut. Sukses lain adalah di bidang energi angin. Selain itu, mereka juga memiliki teknologi HVDC (High Voltage Direct Current) yang tingkat kehilangan energinya hanya 2%-3% per 800−1.000 km transmisi, jauh lebih kecil ketimbang 10% pada listrik AC.
Di industri pelayanan kesehatan, mengopi strategi General Electric (GE) yang berhasil meluncurkan peralatan USG murah, tim asal India dan Cina yang dibentuk memberikan Siemens mesin sinar-X portabel. Mesin RÅ‘ntgen murah meriah ini bukan cuma membuka pasar baru—untuk klinik di kawasan terpencil negara maju—selain untuk pasar negara berkembang.
Dengan strategi yang lebih fokus tersebut, Siemens mampu mencatat pertumbuhan penjualan 25% pada 2010, bahkan penjualan dari mancanegara melejit 30%. Sukses ini membuat Siemens menyalip GE, pesaing abadinya sejak seabad lebih lalu. Pada semester I/2010, penjualan total konglomerat engineering AS ini memang masih 50% lebih besar ketimbang Siemens.
Kendati demikian, kalau GE Capital dan anak perusahaan keuangan Siemens yang hanya melayani vendor tak dihitung, penjualan keduanya kira-kira sama. Lalu, kalau bisnis media GE (yang tak ada padanannya di Siemens) dihilangkan, penjualan Siemens unggul. Di lahan bisnis yang lebih-kurang overlap, yang juga di luar bisnis mesin pesawat jet GE, penjualan Siemens 50% lebih besar ketimbang GE.
Pendek kata, kalau dalam bisnis barang mewah dikenal istilah “doing a Burberry”, bukan tak mungkin sukses Siemens tersebut suatu saat akan membuat kalangan konglomerat menyebut upaya turnaround sebagai “doing a Siemens.”
Riset: Evi Maulidyyah Amanayati
BOKS
Strategi Turnaround Samsung Electronics
Berawal dari perusahaan yang membuat produk elektronik komoditas yang dibandrol lebih rendah daripada pesaing, Samsung Electronic (SE) mulai mengubah fokus ke produk premium, setelah berhasil mengendalikan biaya produksi pada 1993. Untuk itu, mereka mengayun beberapa langkah strategis:
- Integrasi vertikal guna menjaga keandalan manufaktur sebagai kompetensi inti. Unit manufaktur internal dibiarkan bersaing dengan perusahaan luar dalam pemasokan komponen atau produksi barang jadi. Lokasi produksi dipilih secara fleksibel guna mendapatkan yang termurah (misalnya Cina atau India). Melakukan fokus pada kustomisasi sehingga harga produk terjaga tinggi.
- Fokus pasa perangkat keras. Di sini SE memutuskan tak membuat peranti lunakproprietary dan membentuk kemitraan dengan content provider sehingga pelanggan punya banyak pilihan.
- Diversifikasi produk dengan fokus pada produk dengan kualitas yang bagus untuk semua kategori. Di sini SE berupaya memastikan agar merek Samsung berkibar di Top 3 dalam hal pangsa pasar di semua kategori produk yang besar dan menyediakan produk teknologi tinggi yang unik (semikonduktor, telekomunikasi, media digital, peralatan rumah tangga digital).
- Inovasi produk. Menciptakan produk pilar nomor satu dunia.
- Produk yang sangat beragam dan teknologi digital yang inovatif memungkinkan SE menempatkan diri sebagai pemimpin di era konvergensi digital yang tak terelakkan.
No comments:
Post a Comment