Thursday, March 17th, 2011
oleh : Yuyun Manopol
Masih segar dalam ingatan ketika Hotel Indonesia di kawasan Tugu Selamat Datang Jakarta didemo karyawannya sendiri karena tutup operasional per 30 April 2004 dengan alasan akan direnovasi. Saat itu A.M. Suseto, Direktur Utama PT Hotel Indonesia Natour (HIN)/Inna Hotel Group, menegaskan akan tetap mem-PHK-kan 1.300 karyawan Hotel Indonesia maupun Hotel Inna Wisata (anak usaha HIN). Sampai detik ini buntut PHK dari hotel yang diresmikan pada 5 Agustus 1962 oleh Presiden Soekarno untuk menyambut Asian Games IV (1962) itu terwariskan ke manajemen hotel yang baru.Saat itu kinerja yang buruk tak hanya terjadi pada hotel yang kini bernama lengkap Hotel Indonesia-Kempinski ini, tetapi juga pada banyak anak perusahaan lain dalam Grup Hotel Indonesia Natour /Inna Hotel Group. Sebutlah, Inna Juanda di Surabaya yang terus mengalami kerugian sampai akhirnya ditutup pada 2006. Hal serupa terjadi pada Inna Adisucipto Catering yang kemudian dijual ke PT Angkasa Citra Sarana (Grup Garuda) pada 2009.
Gambaran kerugian lainnya terjadi pada Inna Samudra Beach-Pelabuhan Ratu. Tahun 2009, hotel tersebut merugi Rp 1 miliar per tahun. “Setiap bulan saya harus support Rp 150-200 juta. Gak bisa hidup kalau gak disubsidi,” ujar Hery Angligan, Presiden Direktur HIN saat ini.
Menyadari persoalan yang tengah dihadapi kelompok hotel pelat merah itulah, pemerintah melalui Menneg BUMN Sofyan Djalil menunjuk manajemen baru yang dikomandani Hery pada April 2009. Lulusan Jurusan Hospitality Management Australian Business College Perth, Australia, ini masih mengingat kalimat pertama yang dilontarkan Sofyan Djalil: “It’s time for you to serve this country.”
Kalimat ini tampaknya sangat berkesan pada Hery. Tantangan ini bukanlah pekerjaan ringan karena Grup HIN memiliki 12 hotel bintang dua, tiga, empat, dan lima yang tersebar di sejumlah daerah, yaitu Inna Grand Bali Beach-Sanur, Inna Putri Bali-Nusa Dua, Inna Kuta Beach-Kuta, Inna Sindhu Beach-Sanur, Inna Bali-Denpasar, Inna Simpang-Surabaya, Inna Tretes-Pasuruan, Inna Garuda-Yogyakarta, Inna Samudra Beach-Pelabuhan Ratu, Inna Dharma Deli Medan, Inna Parapat-Parapat, dan Inna Muara- Padang. Tak mengherankan, setelah menerima tugas memperbaiki kinerja HIN, mantan Direktur Operasional PT Patra Jasa (2007-09) ini langsung bergerak cepat.
Diungkapkan Hery, tahap pertama atau tiga bulan pertama (sejak April 2009) merupakan tahap mengomunikasikan visi-misinya. Saat itu, ia manfaatkan untuk melihat kondisi manajemen HIN. Pria yang kini mengambil kuliah lagi di Fakultas Hukum sebuah perguruan tinggi swasta ini menyadari banyak hal terkait budaya, demografi dan tren yang ditemuinya.
Selama tiga bulan pertama itu, mantan General Manager Patra Bali Resort & Villas (2004-07) ini mendapat beberapa kesimpulan: produk dan pelayanan tidak mengikuti standar hotel bintang lima, upah karyawan minim, serta penghargaan dan hukuman tidak diterapkan dengan baik.
Sebagai upaya perbaikan, pada tiga bulan pertama Hery menjalankan beberapa hal pembenahan. Pertama, melakukan sosialisasi dengan Menneg BUMN dan pemegang saham lainnya. Tak lupa, ia juga bersosialisasi dengan hotel-hotel lain yang sekelas dengan HIN. Kedua, mengajak para petinggi HIN bergaul dengan para petinggi hotel lain. “Selama belasan tahun saya berada di lingkungan perhotelan, saya tidak melihat selama itu Hotel Indonesia menjadi perusahaan yang ditakuti,” ujar pria yang memulai karier sebagai operator telepon Hotel Sheraton Lagoon Nusa Dua, Bali, ini (1992). Namun, karyawan HIN selalu mengenang apa yang terjadi dengan perusahaan mereka di masa lalu.
Hal ketiga, memberi perhatian kepada hal-hal detail. Contohnya, ia menekankan faktor kejujuran. “Saya tidak segan-segan memecatnya (jika tidak jujur),” ujar mantan GM Keraton Jimbaran Resort di Jimbaran, Bali, ini (2001-04). Lalu, sebelumnya, membawa daging ayam dan minyak goreng sisa operasional ke rumah karyawan adalah hal lumrah. Namun, kini ia menetapkan peraturan tidak membolehkan.
Tak hanya itu, Hery juga memangkas biaya perjalanan. Agar biaya perjalanan menyusut, Hery menetapkan aturan agar setiap direksi atau karyawan yang melakukan perjalanan dinas membuat rencana, tujuan dan hasil yang ingin dicapai. Kemudian, diajukan padanya. “Terbukti dari yang semula pengajuan 10 perjalanan, bisa berkurang menjadi 7 perjalanan saja,” ujarnya.
Tiga bulan berikutnya merupakan masa konsolidasi. Hery mengaku mesti mendatangi satu per satu unit dari 12 unit yang ada. Di sana Hery mengajak bicara semuanya, mulai dari manajemen hingga karyawan. “Saya bongkar semua, bahwa kondisi tidak baik. Lalu, saya meminta mereka menerima kenyataan itu dan fight memperbaikinya,” katanya.Awalnya, visi-misi Hery ditanggapi dengan penolakan. Namun, ia jalan terus. Ia merasa datang dengan niat baik untuk membawa ke arah yang lebih baik. “Saya (sempat) menantang dan mengajak keluar mereka untuk melihat pesaing.”
Selanjutnya, ia membuat strategi yang terangkum dalam program yang diberi label Quick Winning: Revolusi Positif PT Hotel Indonesia Natour, Sebuah Jawaban Anak Bangsa. Program ini meliputi rehabilitasi unit hotel dan program rebranding. Pelaksanaan ProgramQuick Winning ini dimulai pada 2010. Orientasinya hanya satu: menjadikan Inna Hotel Group sebagai tuan rumah di negeri sendiri.
Dalam kaitannya dengan rehabilitasi unit hotel, Hery memprioritaskan untuk melakukan pembangunan pada tiga hotel, yaitu Inna Muara Padang, Inna Grand Bali Beach-Sanur, disusul Inna Pelabuhan Ratu.
Adapun dari sisi rebranding, untuk hotel kategori bintang lima, selanjutnya namanya akan berganti antara lain The Inaya Grand Bali Beach dan The Inaya Putri Bali. Sementara untuk kategori bintang empat, penamaan hanya ditambah embel-embel Inaya seperti Inaya Muara-Padang, Inaya Kuta, Inaya Garuda-Yogyakarta, dan Inaya Pelabuhan Ratu. Kategori hotel bintang tiga akan diberi label Aforda. Sesuai dengan arti namanya, terjangkau, harga pun dibuat lebih terjangkau. Contohnya, Aforda Sindhu Beach, Aforda Inna Bali-Denpasar, Aforda Tretes, Aforda Dharma Deli, dan Aforda Parapat.
Dijadwalkan pada pertengahan 2011 HIN akan mengubah identitas perusahaannya mulai dari warna, logo, hingga namanya. Meskipun belum sempurna, website baru HIN,inayahotels.com, yang menggambarkan wajah baru HIN sudah bisa dilihat.
Sembari mendorong agar program Quick Winning berhasil, Hery terus membenahi manajemen HIN. Menurutnya, pembenahan SDM merupakan bagian dari target yang ia lakukan. Caranya, antara lain melakukan pengurangan karyawan melalui program pensiun dini. “Yang tua kami pensiunkan, lalu putra-putrinya diambil untuk dididik,” ujarnya. Di sisi lain, pekerjaan ditambah, sehingga menyehatkan arus kas HIN. Selain itu, HIN mematok rasio antara pekerjaan dan jumlah karyawan, yaitu 1:1,2.
Ia mencontohkan Inna Muara Padang yang awalnya memiliki 68 kamar, dengan jumlah karyawan 135 orang. Kini hotel tersebut memiliki 168 kamar dan mempekerjakan 170 orang. “Saya berencana men-slimming down kantor pusat menjadi 25 orang. Awalnya 90 orang, sekarang mencapai 40 orang,” ujarnya. Demikian juga untuk divisi legal. Ia memutuskan menggunakan jasa hukum yang dibayar bulanan karena lebih murah.
Diungkapkannya, saat ia pertama kali masuk, jumlah karyawan 2.600 orang, sedangkan kini angka tersebut menyusut menjadi 2.169 orang. Dengan cara ini, ia meyakini di satu sisi pengeluaran perusahaan bisa ditekan, di sisi lain kesejahteraan dapat ditingkatkan.
Memperbaiki kinerja perusahaan pelat merah bukanlah perkara gampang. Menurut Hery, kendala yang utama adalah budaya. “Saya mendapati orang-orang yang sulit diajak berubah. Mereka kadung merasa nyaman sebagai pegawai BUMN,” ujarnya. Padahal, inilah yang membuat HIN mengalami kemunduran. Kedua, adanya birokrasi yang berbelit-belit. Contohnya dalam pengajuan izin renovasi. Seperti diketahui, sebagian besar hotel Inna merupakan bagian dari sejarah. “Padahal,” katanya, “bangunannya kan bisa direstorasi tanpa mengubah nilai sejarahnya.”
Masalah lainnya, pendanaan. Ia mencontohkan Inna Putri Bali di Nusa Dua, Bali. Hotel ini berada di wilayah strategis tetapi dikelilingi hotel-hotel bertaraf internasional. Ia meyakini untuk bisa berkilau di antara hotel internasional, Inna harus dibangun sekelas hotel bintang lima. “Terus terang saja kalau kami sendiri, tidak sanggup. Kami perlu investor,” ujarnya gamblang. Ia merencanakan pada Desember 2011 akan menunjuk operator internasional untuk menyuntikkan modal dan mengelolanya.
Serunya, setiap kali ia melakukan pembenahan, ada saja benturan yang ia alami. Contohnya, ketika ia memutuskan mengganti pemasok sayuran dan bahan baku makanan lainnya dalam rangka menurunkan biaya operasional sebesar 30%, ada salah seorang pemegang saham yang terusik.
Namun, sejauh ini perjuangan Hery tampaknya tidak sia-sia. Meskipun berat, di tahun pertama ia masuk (2009), profit before tax mencapai Rp 19 miliar, di atas target Rp 14 miliar. Hal ini berlanjut pada 2010, HIN berhasil meraih keuntungan Rp 52 miliar, jauh di atas targetnya yang sebesar Rp 28,5 miliar. Mengenai hal ini, Hery mengungkapkan bahwa untuk tahun 2010 manajemen menargetkan keuntungan Rp 40 miliar, tetapi pemegang saham keberatan. “Mereka sangsi saya bisa mencapainya. Akhirnya, diperoleh kompromi dengan penurunan target menjadi Rp 28,5 miliar dari target semula sebesar Rp 20 miliar,” katanya bangga. Tahun ini ia menargetkan HIN mampu mencapai keuntungan sebelum pajak sebesar Rp 32 miliar. Lho, kok turun? Ya, karena ada dua hotel yang sedang direnovasi ditambah satu hotel lagi yang menunggu proses penunjukan operator.
Begitu juga dengan Inna Samudra Beach-Pelabuhan Ratu yang pada 2009 rugi Rp 1 miliar per tahun. Dengan penekanan biaya operasional, kerugian secara signifikan dapat dikurangi hanya Rp 500 juta pada 2010.
Diakui Hery, tidak mudah membawa angin perubahan di perusahaan BUMN. Ia membutuhkan kerja tim yang bagus, terutama dalam menghadapi resistensi karyawan. Namun, tak bisa ditutupi, semua upaya dan keberhasilan ini berkat kerja keras Herry sebagai konseptor dan komandan tertinggi di perusahaan.
Menurut Budi W. Soetjipto, Ph. D., Direktur Eksekutif Institut Pengembangan Manajemen Indonesia, ada dua hal penting yang memang sebaiknya dilakukan Hery. Pertama, melakukan transformasi korporat. Kedua, memperjelas segementasi pasar dan produk.Cara yang paling memungkinkan adalah dengan memilih salah satu hotel untuk dijadikanpilot project, dalam hal ini bisa Inna Putri Bali. “Karena letaknya strategis. Dulu di tahun 1980-an, siapa sih yang tidak kenal Inna Putri Bali,” ujarnya. (*)
Yuyun Manopol & Rias Andriati; Riset: Siti Sumariyati
No comments:
Post a Comment