The Harvest berawal dari menyalurkan hoby. Namun, sekarang sudah menjadi bisnis yang mampu memberi keuntungan besar bagi pemiliknya.
Lal De Silva tidak pernah membayangkan bahwa dirinya akan menjadi pengusaha. Apalagi, usaha itu dilakukan di negeri orang yang jauh dari tempat asalnya. Ketika datang dari Srilanka ke Indonesia, tujuannya bekerja sesuai dengan keahlian yang dimiliki, yaitu juru masak atau lebih keren disebut chef.
Setelah sekian lama tinggal di negeri ini dan mulai terpacu untuk memiliki usaha sendiri, ia tertarik dengan bisnis kue dan roti. Tentu saja, pilihan ini sangat relevan dengan keahlian yang dimilikinya. Sehingga, tak menunggu lama ia pun memilih keluar dari pekerjaannya sebagai chef di salah satu hotel berbintang lima di kawasan elite Kuningan, Jakarta.
“Saya melihat ada potensi yang masih sangat besar pada pasar kue di Indonesia. Yang diperlukan hanya keberanian dan kemampuan untuk memberikan nilai lebih dibanding yang lain,” kata Lal De Silva, pemilik sekaligus presiden direktur The Harvest.
Namun begitu, awalnya, Lal sempat agak bimbang untuk memulai bisnis ini. Sebabnya, ada perbedaan mendasar antara menjadi karyawan dan pengusaha. Meski yang digelutinya sama-sama soal membuat kue, tapi skill yang dibutuhkan untuk menjadi pengusaha berbeda. “Meski saya bekerja sebagai chef, apa saya bisa menjadi pengusaha cake? Karena, saya harus tahu juga soal pemasaran dan lainnya,” ungkapnya.
Tapi, keinginannya untuk menjadi pebisnis tidak tertahankan. Tekad awalnya adalah untuk menyalurkan kesukaan membuat cake. Tidak terlalu memikirkan keuntungan. Segera untuk pertama kalinya, The Harvest dibuka pada tahun 2004. Untuk memodali toko pertama, Lal mengaku merogoh koceknya sekitar Rp 1 miliar. Gerai pertama ini terletak di kawasan Senopati, Jakarta Selatan. Lalu, secara bertahap jumlah gerai mulai bertambah.
Sekarang ini, toko kue seluruhnya berjumlah delapan buah. Tersebar di dua kota besar, yakni Jakarta dan Surabaya. Sebagian besar dari gerai itu terletak di kawasan Jakarta dan sekitarnya. Dari modal yang ia keluarkan di awal, sekarang jumlahnya sudah tumbuh berlipat-lipat.
Lal memang tidak sembarang memilih kota untuk perluasan pasar. Sebab, meski pasar kue ini masih besar, namun The Harvest memilih segmen kelas atas. Di sisi lain, setidaknya ia sudah tahu perkiraan jumlah penyuka kue di wilayah tersebut. Sehingga, belum semua kota besar dirambah. “Namun, tahun ini kami sudah berencana membuka outlet baru di beberapa kota besar dan menambah outlet di Jakarta,” katanya.
Seperti tersebut di atas, The Harvest menyasar kelompok mapan yang menyukai kue dan suasana. Sehingga, konsep yang diusung pun sejalan dengan hal itu. Yakni, toko cakes dengan konsep rasa dan packaging hotel bintang lima dengan harga yang reasonable.
Memang, selain mengusung keunggulan dalam rasa dan kemasan, The Harvest juga mampu menyediakan harga yang cukup terjangkau. Tidak saja bagi kelompok ekonomi atas, tapi juga kelas menengah. Sebagai contoh, cakes dibanderol pada kisaran harga Rp 105.000―1.105.000 untuk ukuran antara 20×10 cm sampai dengan 60×40 cm. Produk lain dari The Harvest adalah chocolate, cookies, ice cream, bread, french pastries, dan ice cream cakes.
Meski harganya terjangkau, The Harvest tidak menurunkan mutu produknya. Untuk mengontrol kualitas tersebut, Lal memilih langsung para kepala chef di setiap gerainya. Terkadang, ia juga turun langsung mengontrol “dagangannya”.
The Harvest tidak saja menjual kue, tapi juga menyajikan suasana yang nyaman bagi pengunjungnya. Pembeli pun bisa menikmati kue di gerai The Harvest—model seperti ini jarang ada di toko kue lainnya. Pilihan lokasi The Harvest juga berbeda. Lal tidak pernah membuka outlet di dalam mal atau pertokoan. Semua gerai The Harvest selalu menempati gedung tersendiri yang mudah dijangkau dan dilengkapi tempat parkir yang cukup luas. “Ketika memilih lokasi, saya lebih mengandalkanfeelling dibanding perhitungan bisnis. Tapi, tetap mempertimbangkan segmen pasar yang kami sasar,” katanya.
Complaint Handling
Bagaimana menangani keluhan pelanggan? Di The Harvest, komplain sangat ditampung, terlebih lagi karena produk yang dihasilkan adalah makanan yang sangat rentan dalam hal rasa dan jangka waktu. Selain itu, bisnis ini sebenarnya juga memiliki risiko tinggi karena produk yang dihasilkan dikonsumsi langsung oleh orang. Untuk menampung itu, Harvest memiliki wadah yang disebut “Testimonial”.
“Orang bisa masuk ke website kami dan menyampaikan keluhan, unek-unek, atau bisa juga mengungkapan rasa puas terhadap makanan dan pelayanan kami,” kata Lal. Keluhan juga bisa dilakukan lewat lembar komplain yang tersedia di meja-meja The Harvest. Setiap minggu semua kertas akan dikumpulkan dan dibacakan dalam pertemuan para kepala departemen.
Ia melanjutkan, semua masukan—baik kritik maupun yang lain—harus dibalas dalam waktu 15 menit. Dengan begitu, pelanggan atau pembaca website The Harvest bisa segera mengerti respons dari tim The Harvest. “Misalnya, ada yang tanya kenapa blueberry-nya kok sudah menjamur waktu diterima. Kami harus menerangkan bahwa itu memang karakter karena ingredient-nya, taburan gulanya berwana putih, dan lainnya.”
Penanganan komplain yang “cantik” dapat meningkatkan citra perusahaan tersebut menjadi semakin bagus. Apalagi, bila efek world of mouth bisa terjadi setelah penanganan komplain tersebut. Sebab, karakter pelanggan—di mana pun—kebanyakan akan menceritakan pengalaman yang ia alami di suatu toko atau penyedia jasa apa pun.
Melalui media-media interaksi ini pula, The Harvest bisa mengerti kebutuhan konsumen serta mengetahui sejauh mana posisi mereka di mata para pelanggan. Baik dari kualitas kue, pelayanan, sampai dekorasi ruang di semua gerai The Harvest. “Salah satu hal yang mendukung perkembangan The Harvest adalah masukan dan kritik dari pelanggan,” katanya.
Konsumen The Harvest sudah cukup banyak, sehingga ke depan mereka akan membuat customer loyalty program. Misalnya, dengan menerbitkan member cardyang memberikan keuntungan bagi pemegangnya. “Sekarang ini, kami sudah bekerja sama dengan beberapa bank. Salah satunya untuk menyambut perayaan Imlek bulan lalu,” tambahnya.
Selain itu, The Harvest juga akan menjalankan program CSR. Pada musim tertentu, mereka akan menjual cakes yang 10 persen dari penjualan selama musim itu akan disumbangkan ke panti asuhan atau lembaga kemanusiaan lainnya.
Sejauh ini, The Harvest dikenal orang melalui word of mouth. Pernah beriklan di media, tapi tidak berlangsung lama. Karena, karakter di bisnis makanan gaungnya justru lebih terasa bila melalui komunikasi mulut ke mulut. “Adanya berbagai program tadi diharapkan semakin membesarkan efek word of mouth yang sudah ada,” tegas Lal. (Majalah MARKETING/Ign. Eko Adiwaluyo)
No comments:
Post a Comment