https://indoprogress.com/2020/07/revolusi-kelas-menengah-revolusi-kangkung-dan-lele/?utm_source=feedburner&utm_medium=email&utm_campaign=Feed%3A+indoprogress-feed+%28IndoPROGRESS%29
Foto: Hai-Grid/Tribun
UNTUK urusan makan, lauk pauk apakah yang Anda anggap paling bermartabat? Saya cukup yakin bahwa kalau itu sayuran maka ia bukan Kangkung. Kalau itu ikan, maka ia bukan Lele. Anda mungkin pengemar Kangkung dan Lele. Atau, Anda mungkin makan salah satu dari makanan ini paling tidak sekali seminggu. Namun, seringkali ia bukan pilihan utama. Artinya, kalau ada pilihan lain, Anda tentu menghindarinya.
Kangkung dan Lele adalah makanan bersahaja. Dia gampang dicari. Lele tersedia di hampir semua kota di Nusantara yang pernah saya kunjungi. Untuk itu kita berterima kasih kepada pedagang-pedagang ulet dari tanah Jawa dan Sunda, yang memperkenalkannya ke seluruh pelosok NKRI. Terutama, Pecel Lele yang saat ini menjadi makanan sehari-hari penduduk berbagai kota Nusantara.
Kangkung akan hadir di manapun ada air tawar. Tanaman ini bahkan akan tumbuh begitu saja tanpa perlu ditanam. Dia bisa tumbuh ditanah. Dia bisa tumbuh di air. Daya tahannya luar biasa. Dia juga berekspansi ke segala penjuru. Dari Singapura hingga ke Jayapura. Dia bahkan tersedia di toko-toko Asia di Amerika pada puncak musim dingin. Mengapa makanan tropis ini tersedia di Amerika? Jawabnya gampang: ada yang membutuhkan dan ada yang menyediakan. Saya dengar kangkung ditanam secara hidroponik di rumah-rumah kaca. Ia kemudian menjadi makanan segala bangsa!
Sementara lele adalah ikan dengan ketahanan yang jauh melampau doktrin ketahanan nasional kita yang berbasis gerilya itu. Lele tahan hidup dalam iklim sedikit atau bahkan tanpa air. Saya pernah menghabiskan waktu berjam-jam melihat orang-orang Kamboja atau China di Youtube memanen lele yang mengubur diri di kolam yang sudah kering. Atau, terkagum-kagum dengan “amazing technology” menangkap lele dengan Coca Cola, Fanta dengan Mentos atau pasta gigi Colgate. Semuanya memperlihatkan betapa tahan bantingnya ikan yang bernama lele itu. Mereka sanggup bertahan hidup dalam lubang sempit, berdesak-desakan dalam jumlah puluhan.
Sebelumnya, kangkung dan lele adalah dua hal terpisah. Tidak pernah dia bersatu. Tapi itu sebelum pageblug virus Corona. Selama pandemi ini, kangkung dan lele bersatu: di dalam ember! Ia terangkat dari kesahajaan. Saya melihat di lini masa Facebook saya, orang berlomba-lomba memamerkan bagaimana dia memelihara lele dan menanam kangkung didalam ember. Saya kira Anda pun tidak asing dengan metode beternak lele dan menanam kangkung dalam satu wadah ini.
Lele dan kangkung menjadi sebuah gaya hidup terutama di kalangan kelas menengah perkotaan di Indonesia. Di masa pageblug ini, orang merasa adanya krisis namun orang tidak sepenuhnya menangkap dan memahami apa krisis itu. Orang takut akan apa yang tidak mereka kuasai. Apa artinya punya uang kalau makanan tidak bisa dibeli?
Reaksi terhadap krisis ini mengingatkan saya pada ‘doomsday foods’ atau makanan hari kiamat yang banyak dijual di Amerika. Beberapa televangelis (penginjil yang memakai TV untuk kotbah) mempergunakan ketakutan orang akan kiamat yang mereka wahyukan sudah dekat, dan menawarkan peralatan bertahan hidup (survival gear). Uniknya, makanan dan peralatan survival ini juga ditaruh dalam ember besar. Hanya saja, isinya adalah makanan kering yang bisa disimpan bertahun-tahun.
Kangkung dan lele menjadi semacam pernyataan politik. Namun ia juga memperlihatkan bagaimana kelas menengah kita melihat dirinya sendiri. Tidak hanya kangkung dan lele. Sebagian kelas menengah aktif berkebun, mengolah sejengkal tanah yang mereka miliki menjadi bahan pangan, dan kalau tidak punya tanah maka mereka menggunakan berbagai macam cara yang ditawarkan entah dengan pot atau dengan teknologi hidroponik yang juga makin populer di saat pageblug ini. Demikianlah kelas menengah kita membentengi dirinya sendiri.
“Asu, ora ono lawuhe,” demikian maki seorang pemulung yang tidak sengaja saya dengar ketika saya berjalan kaki menyusuri trotoar kota Jakarta. Ketika itu awal pandemi. Masa puasa Ramadhan juga sedang mendekat. Adalah pemandangan biasa bila menjelang maghrib saya melihat kaum miskin kota berjajar di sepanjang jalan kearah Tebet menuju Pancoran.
Awalnya saya pikir bahwa mereka ini adalah angkatan yang terdepak dari lapangan kerja karena pageblug. Bahkan pernah dalam sesorean saya menghitung ada dua puluh empat orang sepanjang satu sisi jalan sepanjang kurang dari dua kilometer itu. Tentu saja perasaan saya terharu biru melihat banyaknya orang yang menganggur itu. Tidak semuanya laki-laki sehat. Ada perempuan-perempuan yang masih muda. Tidak sedikit yang membawa anak. Wajah mereka semua memelas.
Sebagian dari mereka menarik gerobak. Namun hampir semua membawa kantong besar bekas yang isinya botol plastik dan aneka barang plastik lainnya. Mereka pemulung. Saya kemudian mengingat-ingat ‘teori’ lama yang pernah saya ketahui ketika bergaul dengan kelompok miskin kota. Kalau baju mereka masih bersih, wajah mereka masih bersih, itu artinya mereka belum lama terlempar ke jalanan.
Sebagai orang yang kerap dituduh kekiri-kirian dan menulis di media progresif yang Anda baca ini tentu saja hati saya tergerak dan marah dengan kenyataan ini. Krisis ini akan sangat hebat menghantam Indonesia—terutama Jakarta. Saya mulai melihat tanda-tanda keresahan dalam masyarakat. Saya mulai khawatir akan potensi kerusuhan. Jujur saja, saya mulai berpikir tentang berbagai kemungkinan menyelamatkan diri.
Setiap hari selama beberapa minggu (sampai sekarang masih saya lakukan) saya keluar berjalan kaki dan menyusuri trotoar Jakarta yang nyaris tanpa pemakai itu. Di kota ini, pejalan kaki adalah kasta pariah. Tidak ada orang mau berjalan kaki. Apalagi di trotoar. Bahkan pemulung memilih berjalan kaki di pinggir jalan. Bukan di trotoar yang punya banyak jebakan tak terduga itu
Hampir setiap sore menjelang maghrib saya melihat mobil-mobil berhenti. Mereka memberi makanan kepada para pemulung ini. Dan, para pemulung ini—laki, perempuan, remaja, anak-anak hingga ke bayi—tinggal menunggu di pinggir jalan. Makanan mengalir. Ada yang di-drop dengan sepeda motor. Sebagian besar dengan mobil. Hampir semua makanan kotak, entah dengan kertas atau styrofoam.
Kadang saya mengintip apa yang diberikan oleh para penderma yang murah hati itu. Sebagian besar adalah nasi dengan lauk seperti ayam goreng. Tanpa sayuran tentu saja. Kalau pun ada sayuran, itu biasanya disisihkan. Saya tahu itu dari bekas makanan yang mereka tinggalkan di pinggir jalan. Sisa-sisa makanan banyak ditinggalkan di trotoar sehingga menjadi perjuangan tambahan untuk saya supaya tidak menginjaknya. Atau, sebagian akan diletakkan di pinggir sungai kecil yang mengalir di sisi Jl. Saharjo.
Dari bungkus-bungkus yang ditinggalkan, saya tahu bahwa para penderma ini lebih banyak memberikan makanan cepat saji. Terlalu sering saya menjumpai bungkus atau kotak McDonald atau KFC. Beberapa kali pula saya lihat anak-anak pemulung ini makan Pizza, makanan yang tidak akan mereka jumpai sehari-hari.
Beberapa kali juga saya membuka percakapan dengan penerima bantuan ini. Mereka memberitahu saya bahwa mereka bosan makan beberapa merek ayam geprek yang murahan. Mereka sangat suka kalau ada KFC. McDonald lebih baik karena ayamnya lebih enak. Kalau burger? Itu jajanan yang tidak bikin kenyang.
Bagaimana dengan pecel lele? Atau makanan dari warteg? Sebagian besar dari yang saya ajak bicara mengatakan bahwa pecel lele sama sekali bukan favorit mereka. “Ben dina nggih maem pecel lele,” kata seorang bapak dari Purworejo sambil terkekeh. Makanan dari warteg juga tidak menjadi favorit. Saat itu pula saya paham bahwa dalam pengertian para penerima derma ini, lele itu bukan ‘lawuh.’ Ia pantas dimaki.
Dan begitulah. Sebagian besar makanan mereka mengalir dari gerai-gerai waralaba cepat saji yang sebagian besar milik perusahan multinasional ini. Dan kalangan dermawan yang murah hati ini, yang tentu saja adalah kelas menengah kota Jakarta, tahu persis kesukaan para pemulung ini. Kadang saya melihat orang memburu mobil yang menyodorkan sekotak McD atau KFC. Namun, ketika ada mobil yang menyodorkan nasi kotak bergambar batik, tanda makanan dari restoran cepat saji dalam negeri, saya tidak melihat antusiasme yang sama. Kenyataannya beberapa kali saya menjumpai lele goreng yang malang tergeletak di pinggir kali. Mereka menjadi santapan kucing dan tikus yang jumlahnya menyamai jumlah penduduk Jakarta ini.
Sekitar pertengahan bulan Puasa, saya baru menyadari betapa banyaknya perolehan dari para pemulung ini. Setiap ada mobil berhenti, mereka memasukkan kotak makanan ke dalam karungnya. Saya pernah mendapati seorang pemulung mengumpulkan enam kotak didalam karungnya. Dia tersipu waktu saya mendapati dia sudah punya enam kotak makanan di dalam karungnya. Ekspresi wajahnya persis seperti para wajah koruptor kita yang kena OTT.
Beberapa hari lalu, saya berjumpa lagi dengan mobil yang membagi makanan. Ketika berjalan di trotoar depan kompleks pemakaman Menteng Pulo, saya melihat sebuah mobil Avanza melambat dan memanggil penjual minuman instan bersepeda yang menunggu pelanggan di pinggir jalan. Dari luar, terlihat seorang perempuan muda berjilbab mengulurkan sekotak KFC kepada pedagang itu. Sontak orang disekitarnya menyerbu. KFC adalah makanan yang paling diburu pencari derma di pinggir jalan.
Saya juga mengamati bahwa dengan tiba-tiba jumlah pencari derma ini jauh berkurang setelah Lebaran. Saya tanyakan ini kepada tukang tambal ban di depan kompleks makam itu. Dia bilang, sebagian besar pemulung itu adalah pemulung dadakan atau pemulung musiman yang datang ke Jakarta untuk mengemis khusus pada masa Puasa. Mereka tahu persis bahwa pada masa Puasa dan Lebaran adalah musim ketika kelas menengah Jakarta menjadi sangat dermawan. Mendengar itu, sontak rasa haru saya kepada pemulung itu sirna.
Sekarang ini, agaknya yang tinggal adalah mereka yang benar-benar miskin. Saya masih melihat beberapa orang duduk di pinggir jalan menjelang maghrib. Hanya saja di masa ‘new normal’ ini tidak banyak orang menaruh perhatian kepada mereka.
Sesungguhnya keadaan sudah kembali seperti sebelum pandemi– dengan kemacetan dan ketidakpedulian penduduk Jakarta. Jakarta tidak lagi peduli pada pandemi. Di jalanan, saya mendengar seorang tukang GoJek yang seharian belum dapat order mengeluh, “Ah, ini mah mati normal namanya!” Saya kira kata-kata tukang GoJek itu menyimpulkan dengan tepat keadaan sekarang ini.
Tidak diragukan bahwa kelas menengah kita sangat dermawan. Ini sesuai dengan kenyataan bahwa Indonesia adalah negara dengan tingkat kedermawanan tertinggi di dunia. Aksi-aksi kedermawanan ini saya saksikan dimana-mana terutama di masa-masa awal pandemi. Seorang supir taksi yang saya tumpangi bercerita bahwa dia mengumpulkan 25 kg beras hanya dalam waktu dua hari. “Banyak yang ngasih, Pak,” katanya. Selain beras, dia juga mendapat Indomie, telor, dan minyak goreng.
Yang menjadi pertanyaan besar saya adalah mengapa orang-orang kelas menengah ini justru memilih kangkung dan lele ketika pandemi? Mengapa pula mereka mendermakan makanan cepat saji yang mahal itu kepada kaum yang sehari-harinya makan kangkung dan lele? Ada semacam pembalikan dan kontradiksi yang meminta jawaban disini.
Mengurai kontradiksi ini tentu tidak mudah. Kelas menengah yang sangat dermawan ini sekarang tengah menghadapi ketidakpastian akibat dari pandemi. Hal yang mengagumkan saya adalah kecilnya oposisi terhadap narasi Corona virus ini. Memang ada beberapa yang menarasikan penentangan terhadap Corona, seperti meragukan apakah ia benar-benar berbahaya, namun ini suara pinggiran (fringe) dan bukan narasi utama. Sebaliknya, kesepakatan akan bahaya virus ini hampir mutlak. Itulah sebabnya kita melihat anggota-anggota kelas ini mengeluh panjang pendek di medsos dan memaki yang melanggar protokol kesehatan.
Sebaliknya, kaum under-class, yang sering dinamakan sebagai rakyat kecil, wong cilik, massa, atau rakyat saja tampak tidak terlalu mengkhawatirkan pandemi. Saya berbicara dengan banyak dari mereka, mulai dari Satpam, tukang Aqua, penjaga warung, tukang bersih-bersih (dalam bahasa kelas menengah: janitor), pembantu rumah tangga (yang sekarang dipasemonkan menjadi ART, Asisten Rumah Tangga), tukang ojek, dan sopir taksi. Untuk mereka, virus Corona hanyalah salah satu dari sekian banyak ancaman hidup.
Ada banyak ancaman lain yang menurut mereka lebih nyata. Kehilangan pekerjaan, misalnya. Beberapa kali saya bertanya pada mereka, apakah Anda akan pelihara lele dan tanam kangkung dalam ember saja kalau kehilangan pekerjaan? Banyak dari mereka ternganga dan melihat saya dengan ekspresi kera menatap cermin ketika mendengar pertanyaan itu.
Reaksi paling epik yang saya dapat adalah, “Bapak udah gila kali ya? Yaelah, beli aja kangkung ama lele. Lebih murah, kali!”
Saya juga terkesan dengan cara kelas menengah dermawan ini memberikan makanan. Jarang mereka turun dari kendaraan. Mereka hanya memanggil orang yang dituju dengan sedikit membuka kaca jendela mobil. Ketika penerima berada dalam jarak cukup dekat, barulah mereka mengeluarkan makanan yang mau mereka berikan. Cara ini persis sama seperti cara anggota kelas menengah yang sekarang menghuni Istana Merdeka. Kadang dia membagi hadiah kepada rakyatnya dengan melempar. Kadang pembantu-pembantunya memberikan bingkisan. Dia cukup ada didalam mobil dan membuka kaca jendelanya, menyapa massa-rakyat yang diberinya bingkisan.
Semua aksi dan tindakan kedermawanan kelas menengah menimbulkan teka-teki. Karena saya belajar ilmu-ilmu sosial dan meneliti maka saya pun bertanya, apa yang sesungguhnya menjadikan seseorang masuk ke dalam kategori kelas menengah? Saya setuju dengan anggpan bahwa pendidikan menjadi titik acu kelas menengah. Yang kedua saya kira adalah pekerjaan sebagai sebagai pegawai. Sebagian besar kelas menengah adalah pegawai entah yang bekerja untuk negara maupun perusahan-perusahan swasta—yang sesungguhnya juga banyak tergantung pada kontrak-kontrak dari negara. Mereka bukan buruh rendahan. Sebagian besar dari mereka termasuk golongan manajerial dan administratif. Ada kaitan yang besar sekali antara kelas menengah kita ini dengan negara. Bahkan kelas menengah kita sesungguhnya diproduksi oleh negara.
Lewat perjalanan saya diatas, saya melihat bahwa dalam tataran persepsi ada keterputusan (disconnection) antara kelas menengah dengan apa yang dipersepsikan sebagai rakyat. Inilah yang persis digambarkan dengan bagus sekali oleh Lizzy van Leeuwen dalam bukunya Lost in Mall tentang kelas menengah Jakarta tahun 1990-an. Dalam studi etnografinya, Lizzy menelisik gaya hidup kelas menengah yang hidup di kota satelit Bintaro. Dia menggambarkan bagaimana kelas ini hidup dalam kompleks perumahan yang jelas tidak dimiliki oleh rakyat (underclass); ketergantungan mereka terhadap para pembantu (yang pada masa kini dipasemonkan menjadi asisten rumah tangga/ART yang tentu saja tanpa banyak perubahan nasib); kecanduan mereka terhadap AC; dan dunia yang mereka ciptakan untuk diri mereka sendiri dan menjadi demarkasi untuk orang kebanyakan, yaitu shopping mall.
Membaca buku Lizzy dan mengalami langsung di jalanan, saya berkesimpulan bahwa kelas menengah kita, seperti juga kelas menengah di banyak negara, mengukur segala sesuatu dengan diri mereka sendiri. Ini sama persis seperti yang pernah ditulis Drs. Wahjoe Sardono atau Dono Warkop yang berpuluh tahun lalu menulis bahwa kelas menengah Indonesia adalah kelas yang sibuk dengan dirinya sendiri.
Kata kunci memahami kelas ini, saya kira, adalah begitu terobsesinya mereka dengan perasaan ‘enak’ atau ‘nyaman’ (comfortable). Kedermawanan mereka sesungguhnya adalah tindakan pengakuan pada diri sendiri (self-validation) yang berujung pada perasaan ‘nyaman’ tersebut. Apa yang tampaknya kemandirian pada Revolusi Kangkung dan Lele itu sesungguhnya adalah reaksi ketidaknyamanan bahwa pasokan pangan akan terputus. Tidak heran bahwa reaksi mereka adalah seperti orang-orang Amerika yang menimbun ‘doomsday food,’ yang menariknya sama-sama berbentuk ember.
Kangkung dan Lele memperlihatkan lepasnya kelas ini dari kenyataan (detachment from reality). Imajinasi kelas menengah lagi-lagi adalah imajinasi tentang dirinya sendiri. Tak salah bila antropolog James Siegel pernah mengatakan bahwa kelas menengah kota Indonesia sama sekali tidak tahu apa yang dialami dan dirasakan oleh saudara-saudara mereka yang hidup di desa. Dalam pengalaman saya, jangankan di desa; mereka juga tidak tahu kehidupan sopir Gojek yang mengantar makanan mereka atau Satpam yang menjaga apartemen atau kompleks perumahan mereka.
Di negeri ini kita seakan hidup dalam dua dunia. Yang satu adalah dunia kelas menengah yang asyik dengan dirinya sendiri. Yang lain adalah dunia rakyat jelata, yang bertahan hidup sebisanya, dan kadang cukup dengan remah-remah dan kerahaman kelas menengah dan elit penguasa.
Ini juga tercermin dalam demokrasi kita. Taruhlah misalnya dalam demonstrasi. Media dan kaum intelektual kita menaruh penghargaan setinggi-tingginya kepada mahasiswa, anak-anak terdidik yang sebagian besar juga adalah anak-anak para pegawai. Kontras yang sangat mencolok akan diberikan kepada aksi-aksi buruh atau petani, baik dalam level persepsi dan perlakuan. Aksi-aksi buruh hampir pasti akan dipersepsikan sebagai kekacauan dan ketidaktertiban; media akan lebih banyak memberitakannya sisi negatifnya; dan polisi akan mengambil tindakan lebih keras terhadap buruh.
Kangkung dan lele, untuk kelas menengah ini, adalah sebuah revolusi. Menanamnya adalah hal yang sungguh luar biasa. Tanpa menyadari bahwa kangkung adalah tanaman yang paling mudah tumbuh dan lele adalah ikan yang paling mudah untuk dipelihara. Sama seperti KFC adalah makanan cepat saji. Tentu saja, ini sama sekali tidak akan mengangkat derajat kangkung dan lele. Saya tidak pernah mendengar ada yang mengusulkan agar kangkung diangkat sebagai sayur nasional dan lele sebagai ikon bangsa.
Revolusi kangkung dan lele adalah revolusi tanpa radikalisme. Hal yang sama juga terjadi dengan kedermawanan yang sama sekali bukan “radical generosity” seperti yang kita lihat pada orang-orang yang hidup karena ide dan inspirasi keadilan sosial.
Revolusi macam ini hanya akan mematikan radikalisme sosial.
No comments:
Post a Comment