http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2014/12/29/054944326/Keluar.dari.Zona.Nyaman
Prof Rhenald Kasali
Mungkin inilah yang tidak banyak dimiliki SDM kita: kemampuan untuk keluar dari zona nyaman. Tanpa keterampilan itu, perusahaan-perusahaan Indonesia akan “stuck in the middle,” birokrasi kita sulit “diajak berdansa” menjelajahi dunia baru yang penuh perubahan, dan kaum muda sulit memimpin pembaharuan.
Tidak hanya itu, orang-orang tua juga kesulitan mendidik anak-anaknya agar tabah menghadapi kesulitan. Dengan memberikan pendidikan formal yang cukup atau kehidupan yang nyaman tak berarti mereka menjadi manusia yang terlatih menghadapi perubahan. Apa artinya bergelar S2 kalau penakut, jaringannya terbatas, “lembek”, cepat menyerah dan gemar menyangkal.
Tetapi maaf, ketidakmampuan keluar dari zona nyaman ini bukanlah monopoli kaum muda. Orang-orang tua yang hidupnya mapan dan merasa sudah pandai pun terperangkap di sana. Seperti apakah gejala-gejalanya?
“Saya Pikir…”
“Saya pikir hidup yang nyaman, terlindungi, tercukupi adalah hidup yang aman”, begitu pemikiran banyak orang.
Kita berpikir, apa-apa yang kita kerjakan dan membuat kita mahir sehari-hari sudah final. Dengan cara seperti itu maka kita akan melakukan hal yang sama berulang-ulang sepanjang hari, melewati jalan atau cara-cara yang sama sepanjang tahun.
Padahal segala sesuatu selalu berubah. Ilmu pengetahuan baru selalu bermunculan dan saling menghancurkan. Teknologi baru berdatangan menuntut ketrampilan baru. Demikian juga peraturan dan undang-undang. Pemimpin dan generasi baru juga mengubah kebiasaan dan cara pandang. Ketika satu elemen berubah, semua kebiasaan, struktur, pola, budaya kerja dan cara pengambilan keputusan ikut berubah. Ilmu, keterampilan dan kebiasaan kita pun menjadi cepat usang.
Jalan-jalan yang nyaman kita lewati juga cepat berubah menjadi amat crowded dan macet, sementara selalu saja ada jalan-jalan baru.
Orang-orang yang terperangkap dalam zona nyaman biasanya takut mencari jalan, tersasar atau tersesat di jalan buntu. Padahal solusinya mudah sekali: putar arah saja, bedakan a dead enddengan detour.
Kalau bisa dikoreksi, mengapa konsep yang bagus dan sudah besar sunk cost-nya harus diberangus dan dikutuk habis-habisan? Bukankah kita bisa mengoreksi bagian-bagian yang salah? Orang-orang yang tak terbiasa keluar-masuk dari zona nyaman punya kecenderungan mengutuk jalan buntu karena ia merasa tersesat di sana. Ilmuwan saja, kalau kurang up to datesering melakukan hal itu, padahal orang biasa yang terlatih keluar dari zona nyaman bisa melihat jalan keluar.
Ada rangkaian sirkuit dalam otak kita yang membentuk jalur tetap, sehingga program diri dikuasa autopilot. Akibatnya, tanpa berpikir pun kita akan sampai di tempat tujuan yang sama dengan yang kemarin kita tempuh. Dan ketika kita keluar dari jalur itu, ada semacam inersia yang menarik kita kembali pada jalur yang sudah kita kenal.
Kata orang bijak, keajaiban jarang terjadi pada mereka yang tak pernah keluar dari "selimut rasa nyamannya." Keajaiban itu hanya ada di luar zona nyaman yang kita sebut sebagai zona berbahaya (a danger zone). Zona berbahaya ini seringkali juga dinamakan sebagai zona kepanikan (panic zone). Tetapi untuk menghindari kepanikan, para penjelajah kehidupan telah menunjukkan adanya zona antara, yaitu zona belajar (learning zone atau challenge zone).
Karena itulah, belajar tak boleh ada tamatnya. Sekolah pada lembaga formal bisa menyesatkan kalau beranggapan selesai begitu gelar dan ijazah didapat. Apalagi bila kemudian memunculkan sikap arogansi "saya sudah tahu" atau "mahatahu" tentang sesuatu hal.
Saya sering membaca tulisan para ilmuwan yang memberikan tekanan pada ijazahnya (yang memberi gelar) saat menggugat sebuah pendapat atau konsep. Tentang hal ini saya hanya bergumam, mereka kurang terbuka, kurang mampu melihat perspektif, tak kurang mau belajar lagi. Learning itu gabungan dari relearn dan unlearn. Orang yang terbelenggu dalam zona nyaman kesulitan untuk belajar lagi dan membuang pandangan-pandangan lamanya. Ia menjadi amat resisten dan keras kepala.
Manusia belajar sepanjang masa melewati ujian demi ujian. Dan itu meletihkan, bahkan kadang menakutkan, melewati proses kesalahan dan kegagalan, menemui jalan buntu dan aneka krisis, kurang tidur.
Kadang kita menemukan guru yang baik dan pandai, tapi kadang bertemu guru yang menjerumuskan dan menyesatkan. Tetapi mereka semua memberikan pembelajaran.
Jadi bagaimana gejala orang yang kesulitan “keluar-masuk” zona nyaman? Saya kira Anda sudah bisa melakukan introspeksi.
Hidup itu memang terdiri dari proses keluar-masuk. Kalau sudah nyaman, ingatlah jalan ini akan crowded dan kelak menjadi kurang nyaman. Jangankan melewati jalan raya, karier kita pun akan menjadi usang kalau tak berubah haluan memperbaharui diri. Perusahaan lebih senang mendapatkan kaum muda yang masih bisa dibentuk ketimbang kita yang lebih tua tapi sudah tak mau belajar lagi, keras kepala pula.
Kalau kita berani melewati jalan tak nyaman, lambat laun kita pun bisa meraih kemahiran. Kalau sudah mahir dan nyaman, jangan lupa cari jalan baru lagi. Seorang climber, kata Paul Stoltz terus mencari tantangan baru. Ia bukanlah a quiter atau a camper.
Siapa yang tak ingin hidup mapan dan nyaman? Kita bekerja keras untuk meraih kenyamanan dan ketenangan hidup, tetapi para ahli mengingatkan itu semua hanyalah ilusi. Dalam zona nyaman tak ada kenyamanan, tak ada mukjizat selain mereka yang berani keluar dari selimut tidurnya.
Bagaimana Melatihnya?
Saya ingin mengatakan pada Anda, jangan terburu-buru mengatakan bahwa manusia dewasa tak bisa berubah. Pengalaman saya menemukan banyak orang dewasa yang bisa berubah. Yang tidak bisa berubah itu adalah manusia yang sudah final.
Manusia yang sudah final itu biasanya pikirannya kaku seperti orang mati dan merasa paling tahu. Tentang manusia yang arogan ini bukanlah tugas manusia untuk mengubahnya, biarkan saja Tuhan yang memberikan solusinya. Hanya lewat ujian beratlah mukjizat itu baru terjadi pada mereka.
Di Rumah Perubahan, kami biasa mendampingi dan memberikan pelatihan untuk keluar dari zona nyaman ini. Biasanya setelah dilatih mereka malah justru menjadi pembaharu yang progresif. Bahkan mereka menjadi teman para CEO yang sedang memimpin transformasi untuk menghadapi para pemimpin pemberontakan yang resisten terhadap perubahan, atau orang-orang arogan dan miskin perspektif, termasuk para senior yang sudah final karena gelarnya sudah panjang.
Lain kali saya akan jelaskan apa yang harus dilakukan orangtua dan guru untuk melatih anak-anaknya keluar dari zona nyaman.
Friday, August 28, 2015
Mereka Cari Jalan, Bukan Cari Uang
http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/05/18/050000626/Mereka.Cari.Jalan.Bukan.Cari.Uang
Rhenald Kasali
Prof Rhenald Kasali
KOMPAS.com — Duduk di depan saya dua perempuan muda. Mereka sarjana hukum lulusan UI. Wajah dan penampilannya dari kelas menengah, yang kalau dilihat dari luar punya kesempatan untuk "cepat kaya", asal saja mereka mau bekerja di firma hukum papan atas yang sedang makmur, seperti impian sebagian kelas menengah yang memanjakan anak-anaknya.
Namun, keduanya memilih bergabung dalam satgas pemberantasan illegal fishing yang dipimpin aktivis senior Mas Achmad Santosa. Dari foto-foto yang ditayangkan presenter Najwa Shihab dalam program Mata Najwa, tampak mereka tengah menumpang sekoci kecil mendatangi kapal-kapal pencuri ikan. Dari Ambon, mereka menuju ke Tual, Benjina, dan pusat-pusat penangkapan ikan lainnya di Arafura.
Itu baru permulaan. Sebab, pencurian besar-besaran baru akan terjadi dua sampai tiga bulan ke depan. Mereka, para pencuri itu, datang dengan kapal yang lebih besar, bahkan mungkin dengan "tukang pukul" yang siap mendorong mereka ke laut menjadi mangsa ikan-ikan ganas.
Uang atau meaning?
Di luar sana, anak-anak muda lainnya setengah mati mencari kerja, ikut seleksi menjadi calon PNS, pegawai bank, konsultan IT, guru, dosen, dan seterusnya.
Seperti kebanyakan kaum muda lainnya, mereka semua didesak keluarga agar cepat mendapat pekerjaan, membantu keuangan keluarga, dan menikah pada waktunya. Cepat lulus dan dapat pekerjaan yang penghasilannya bagus.
Tak sedikit di antara mereka yang beruntung bertemu orang-orang hebat, dari perusahaan terkemuka, mendapatkan pelatihan di luar negeri, atau penempatan di kota-kota besar dunia.
Namun, semua itu akan berubah. Sebab, atasan yang menyenangkan tak selamanya duduk di sana. Kursi Anda bisa berpindah ke tangan orang lain. Kaum muda akan terus berdatangan dan ilmu-ilmu baru terus berkembang. Bulan madu karier pun akan berakhir. Mereka akan tampak tua di mata kaum muda yang belakangan hadir.
Sebagian dari mereka juga ada yang menjadi wirausaha. Tidak sedikit yang tersihir oleh kode-kode yang dikirim sejumlah orang tentang jurus-jurus cara cepat menjadi kaya raya. Bisa saja mereka berhasil meraih banyak hal begitu cepat. Namun, benarkah mereka berhasil selama-lamanya?
Pengalaman saya menemukan, orang-orang yang dulu begitu getol mencari uang kini justru tak mendapatkan uang. Pada usia menjelang pensiun, semakin banyak orang yang datang mengunjungi teman-teman lama sekadar untuk mendapatkan pinjaman. Sebagian lagi hanya bisa sharing senandung duka.
Kontrak rumah dan uang kuliah anak yang belum dibayar, pasangan yang pergi meninggalkan keluarga, dan serangan penyakit bertubi-tubi. Padahal, dulu mereka begitu getol mengejar gaji besar, berpindah-pindah kerja demi kenaikan pendapatan.
Saya ingin memberi tahu Anda nasihat yang pernah disampaikan oleh Co-Founder Apple, Guy Kawasaki. Kepada kaum muda, ia pernah mengatakan begini:
"Kejarlah meaning. Jangan kejar karier demi uang. Sebab, kalau kalian kejar uang, kalian tidak dapat 'meaning', dan akhirnya tak dapat uang juga. Kalau kalian kejar 'meaning', maka kalian akan mendapatkan position, dan tentu saja uang."
Lantas apa itu meaning?
Meaning itulah yang sedang dikerjakan anak-anak perempuan tadi yang saya temui dalam tapping program televisi Mata Najwaedisi hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei beberapa hari ke depan, menjadi relawan dalam tim pemberantas illegal fishing.
Itu pulalah yang dulu dilakukan oleh para mahasiswa kedokteran di Stovia yang mendirikan Boedi Oetomo yang menandakan Kebangkitan Nasional Indonesia. Bahkan, itu pula yang dijalankan oleh seorang insinyur lulusan ITB yang merintis kemerdekaan Indonesia, Ir Soekarno. Itu pula yang dilakukan para CEO terkemuka saat mereka muda.
Di seluruh dunia, para pemimpin itu lahir dari kegigihannya membangun meaning, bukan mencari kerja biasa. Dalam kehidupan modern, itu pulalah jalan yang ditempuh para miliarder dunia. Mereka bukanlah pengejar uang, melainkan pengejar mimpi-mimpi indah, seperti yang diceritakan oleh banyak eksekutif Jerman yang dulu menghabiskan waktu berbulan-bulan kerja sosial di Afrika. "Tidak saya duga, apa yang saya lakukan 20 tahun lalu itulah yang diperhatikan pemegang saham," ujar mereka.
Saya jadi ingat dengan beberapa orang yang mencari kerja di tempat saya, baik di UI maupun di berbagai aktivitas saya. Ada yang benar-benar realistis, datang dengan gagasan untuk membangun meaning, dan ada yang sudah tak sabaran mendapatkan gaji besar.
Kelompok yang pertama, sekarang bisa saya sebutkan mereka berada di mana saja. Sebagian sudah menjadi CEO, pemimpin pada berbagai organisasi, dan tentu saja wirausaha yang hebat atau PhD lulusan universitas terkemuka.
Namun, kelompok yang kedua, datang dengan tawaran yang tinggi. Ya, mereka menilai diri jauh lebih tinggi dari kemampuan mereka. Tak jarang ada yang diminta berhenti oleh keluarganya hanya beberapa bulan setelah bekerja demi mencari pekerjaan yang gajinya lebih besar. Amatilah mereka yang baru menikah. Kalau bukan pasangannya, bisa jadi orangtua atau mertua ikut mengubah arah hidup dan mereka pun masuk dalam pusaran itu.
Padahal, semua orang tahu orang yang mengejar meaning itu menjalankan sesuatu yang mereka cintai dan menimbulkan kebahagiaan. Bahagia itu benih untuk meraih keberhasilan. Orang yang mengejar gaji berpikir sebaliknya, kaya dulu, baru bahagia. Ini tumbuh subur kala orang dituntut lingkungannya untuk mengonsumsi jauh lebih besar dari pendapatan.
Sebaliknya, mereka yang membangun meaning, tahu persis, musuh utama mereka adalah konsumsi yang melebihi pendapatan.
Potret diri
Kalau saya merefleksikan ke belakang tentang hal-hal yang saya jalani dalam hidup saya, dapat saya katakan saya telah menjalani semua yang saya sebutkan di atas. Sementara itu, teman-teman yang 30 tahun lalu memamerkan kartu kreditnya (saat itu adalah hal baru bagi bangsa ini), pekerjaan dengan gaji besar, jabatan dan seterusnya, kini justru tengah mengalami masa-masa yang pahit.
Seorang pengusaha besar mengatakan begini, "Uang itu memang tak punya mata, tetapi mempunyai penciuman. Ia tak bisa dikejar, tetapi datang tiada henti kepada mereka yang meaning-nya kuat."
Di dinding perpustakaan kampus Harvard, saya sering tertegun membaca esai-esai singkat yang ditulis oleh para aplikan yang lolos seleksi. Tahukah Anda, mereka semua menceritakan perjalanan membangun meaning. Maka, saya tak heran saat Madame Sofia Blake, istri Duta Besar Amerika Serikat, di sini berkunjung ke Rumah Perubahan minggu lalu, ia pun membahas hal yang sama untuk membantu 25 putra-putri terbaik Indonesia agar bisa tembus diterima di kampus utama dunia.
Meaning itu adalah cerita yang melekat pada diri seseorang, yang menciptakan kepercayaan, reputasi, yang akhirnya itulah yang Anda sebut sebagai branding. Anda bisa mendapatkannya bukan melalui jalan pintas atau lewat jalur cara cepat kaya.
Meaning itu dibangun dengan cara yang berbeda dari yang ditempuh pekerja biasa, dari terobosan-terobosan baru. Kadang, dari bimbingan orang-orang besar yang memberikan contoh dan mainan baru. Ya, contoh dan mainan itulah yang perlu kita cari dan terobosan-terobosan yang kita lakukan kelak memberikan jalan terbuka.
Selamat mencoba. Selamat hari Kebangkitan Nasional. Jangan lupa pemuda yang dulu membangkitkan kesadaran berbangsa di negeri ini adalah juga para pembangun meaning.
Prof Rhenald Kasali adalah Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pria bergelar PhD dari University of IlLinois ini juga banyak memiliki pengalaman dalam memimpin transformasi, di antaranya menjadi pansel KPK sebanyak empat kali dan menjadi praktisi manajemen. Ia mendirikan Rumah Perubahan, yang menjadi role model dari social business di kalangan para akademisi dan penggiat sosial yang didasarientrepreneurship dan kemandirian. Terakhir, buku yang ditulis berjudul Self Driving: Merubah Mental Passengers Menjadi Drivers.
Rhenald Kasali
Prof Rhenald Kasali
KOMPAS.com — Duduk di depan saya dua perempuan muda. Mereka sarjana hukum lulusan UI. Wajah dan penampilannya dari kelas menengah, yang kalau dilihat dari luar punya kesempatan untuk "cepat kaya", asal saja mereka mau bekerja di firma hukum papan atas yang sedang makmur, seperti impian sebagian kelas menengah yang memanjakan anak-anaknya.
Namun, keduanya memilih bergabung dalam satgas pemberantasan illegal fishing yang dipimpin aktivis senior Mas Achmad Santosa. Dari foto-foto yang ditayangkan presenter Najwa Shihab dalam program Mata Najwa, tampak mereka tengah menumpang sekoci kecil mendatangi kapal-kapal pencuri ikan. Dari Ambon, mereka menuju ke Tual, Benjina, dan pusat-pusat penangkapan ikan lainnya di Arafura.
Itu baru permulaan. Sebab, pencurian besar-besaran baru akan terjadi dua sampai tiga bulan ke depan. Mereka, para pencuri itu, datang dengan kapal yang lebih besar, bahkan mungkin dengan "tukang pukul" yang siap mendorong mereka ke laut menjadi mangsa ikan-ikan ganas.
Uang atau meaning?
Di luar sana, anak-anak muda lainnya setengah mati mencari kerja, ikut seleksi menjadi calon PNS, pegawai bank, konsultan IT, guru, dosen, dan seterusnya.
Seperti kebanyakan kaum muda lainnya, mereka semua didesak keluarga agar cepat mendapat pekerjaan, membantu keuangan keluarga, dan menikah pada waktunya. Cepat lulus dan dapat pekerjaan yang penghasilannya bagus.
Tak sedikit di antara mereka yang beruntung bertemu orang-orang hebat, dari perusahaan terkemuka, mendapatkan pelatihan di luar negeri, atau penempatan di kota-kota besar dunia.
Namun, semua itu akan berubah. Sebab, atasan yang menyenangkan tak selamanya duduk di sana. Kursi Anda bisa berpindah ke tangan orang lain. Kaum muda akan terus berdatangan dan ilmu-ilmu baru terus berkembang. Bulan madu karier pun akan berakhir. Mereka akan tampak tua di mata kaum muda yang belakangan hadir.
Sebagian dari mereka juga ada yang menjadi wirausaha. Tidak sedikit yang tersihir oleh kode-kode yang dikirim sejumlah orang tentang jurus-jurus cara cepat menjadi kaya raya. Bisa saja mereka berhasil meraih banyak hal begitu cepat. Namun, benarkah mereka berhasil selama-lamanya?
Pengalaman saya menemukan, orang-orang yang dulu begitu getol mencari uang kini justru tak mendapatkan uang. Pada usia menjelang pensiun, semakin banyak orang yang datang mengunjungi teman-teman lama sekadar untuk mendapatkan pinjaman. Sebagian lagi hanya bisa sharing senandung duka.
Kontrak rumah dan uang kuliah anak yang belum dibayar, pasangan yang pergi meninggalkan keluarga, dan serangan penyakit bertubi-tubi. Padahal, dulu mereka begitu getol mengejar gaji besar, berpindah-pindah kerja demi kenaikan pendapatan.
Saya ingin memberi tahu Anda nasihat yang pernah disampaikan oleh Co-Founder Apple, Guy Kawasaki. Kepada kaum muda, ia pernah mengatakan begini:
"Kejarlah meaning. Jangan kejar karier demi uang. Sebab, kalau kalian kejar uang, kalian tidak dapat 'meaning', dan akhirnya tak dapat uang juga. Kalau kalian kejar 'meaning', maka kalian akan mendapatkan position, dan tentu saja uang."
Lantas apa itu meaning?
Meaning itulah yang sedang dikerjakan anak-anak perempuan tadi yang saya temui dalam tapping program televisi Mata Najwaedisi hari Kebangkitan Nasional tanggal 20 Mei beberapa hari ke depan, menjadi relawan dalam tim pemberantas illegal fishing.
Itu pulalah yang dulu dilakukan oleh para mahasiswa kedokteran di Stovia yang mendirikan Boedi Oetomo yang menandakan Kebangkitan Nasional Indonesia. Bahkan, itu pula yang dijalankan oleh seorang insinyur lulusan ITB yang merintis kemerdekaan Indonesia, Ir Soekarno. Itu pula yang dilakukan para CEO terkemuka saat mereka muda.
Di seluruh dunia, para pemimpin itu lahir dari kegigihannya membangun meaning, bukan mencari kerja biasa. Dalam kehidupan modern, itu pulalah jalan yang ditempuh para miliarder dunia. Mereka bukanlah pengejar uang, melainkan pengejar mimpi-mimpi indah, seperti yang diceritakan oleh banyak eksekutif Jerman yang dulu menghabiskan waktu berbulan-bulan kerja sosial di Afrika. "Tidak saya duga, apa yang saya lakukan 20 tahun lalu itulah yang diperhatikan pemegang saham," ujar mereka.
Saya jadi ingat dengan beberapa orang yang mencari kerja di tempat saya, baik di UI maupun di berbagai aktivitas saya. Ada yang benar-benar realistis, datang dengan gagasan untuk membangun meaning, dan ada yang sudah tak sabaran mendapatkan gaji besar.
Kelompok yang pertama, sekarang bisa saya sebutkan mereka berada di mana saja. Sebagian sudah menjadi CEO, pemimpin pada berbagai organisasi, dan tentu saja wirausaha yang hebat atau PhD lulusan universitas terkemuka.
Namun, kelompok yang kedua, datang dengan tawaran yang tinggi. Ya, mereka menilai diri jauh lebih tinggi dari kemampuan mereka. Tak jarang ada yang diminta berhenti oleh keluarganya hanya beberapa bulan setelah bekerja demi mencari pekerjaan yang gajinya lebih besar. Amatilah mereka yang baru menikah. Kalau bukan pasangannya, bisa jadi orangtua atau mertua ikut mengubah arah hidup dan mereka pun masuk dalam pusaran itu.
Padahal, semua orang tahu orang yang mengejar meaning itu menjalankan sesuatu yang mereka cintai dan menimbulkan kebahagiaan. Bahagia itu benih untuk meraih keberhasilan. Orang yang mengejar gaji berpikir sebaliknya, kaya dulu, baru bahagia. Ini tumbuh subur kala orang dituntut lingkungannya untuk mengonsumsi jauh lebih besar dari pendapatan.
Sebaliknya, mereka yang membangun meaning, tahu persis, musuh utama mereka adalah konsumsi yang melebihi pendapatan.
Potret diri
Kalau saya merefleksikan ke belakang tentang hal-hal yang saya jalani dalam hidup saya, dapat saya katakan saya telah menjalani semua yang saya sebutkan di atas. Sementara itu, teman-teman yang 30 tahun lalu memamerkan kartu kreditnya (saat itu adalah hal baru bagi bangsa ini), pekerjaan dengan gaji besar, jabatan dan seterusnya, kini justru tengah mengalami masa-masa yang pahit.
Seorang pengusaha besar mengatakan begini, "Uang itu memang tak punya mata, tetapi mempunyai penciuman. Ia tak bisa dikejar, tetapi datang tiada henti kepada mereka yang meaning-nya kuat."
Di dinding perpustakaan kampus Harvard, saya sering tertegun membaca esai-esai singkat yang ditulis oleh para aplikan yang lolos seleksi. Tahukah Anda, mereka semua menceritakan perjalanan membangun meaning. Maka, saya tak heran saat Madame Sofia Blake, istri Duta Besar Amerika Serikat, di sini berkunjung ke Rumah Perubahan minggu lalu, ia pun membahas hal yang sama untuk membantu 25 putra-putri terbaik Indonesia agar bisa tembus diterima di kampus utama dunia.
Meaning itu adalah cerita yang melekat pada diri seseorang, yang menciptakan kepercayaan, reputasi, yang akhirnya itulah yang Anda sebut sebagai branding. Anda bisa mendapatkannya bukan melalui jalan pintas atau lewat jalur cara cepat kaya.
Meaning itu dibangun dengan cara yang berbeda dari yang ditempuh pekerja biasa, dari terobosan-terobosan baru. Kadang, dari bimbingan orang-orang besar yang memberikan contoh dan mainan baru. Ya, contoh dan mainan itulah yang perlu kita cari dan terobosan-terobosan yang kita lakukan kelak memberikan jalan terbuka.
Selamat mencoba. Selamat hari Kebangkitan Nasional. Jangan lupa pemuda yang dulu membangkitkan kesadaran berbangsa di negeri ini adalah juga para pembangun meaning.
Prof Rhenald Kasali adalah Guru Besar Ilmu Manajemen Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia. Pria bergelar PhD dari University of IlLinois ini juga banyak memiliki pengalaman dalam memimpin transformasi, di antaranya menjadi pansel KPK sebanyak empat kali dan menjadi praktisi manajemen. Ia mendirikan Rumah Perubahan, yang menjadi role model dari social business di kalangan para akademisi dan penggiat sosial yang didasarientrepreneurship dan kemandirian. Terakhir, buku yang ditulis berjudul Self Driving: Merubah Mental Passengers Menjadi Drivers.
Ekonometrika Restoran "All-You-Can-Eat"
http://www.kompasiana.com/aldigozali/ekonometrika-restoran-all-you-can-eat_559359db0223bd7706bf0535
Aldi Gozali
Aldi Gozali
Di suatu hari yang spesial, saya bersama seorang perempuan -- yang juga spesial buat saya -- melakukan petualangan untuk memanjakan diri kami dari penatnya keseharian. Petualangan kami ini benar-benar tidak menggambarkan makna sebenarnya dari kata petualangan itu sendiri, yang mana penuh dengan keasyikan, keseruan, ketegangan, dan lain sebagainya. Hanya ada satu kata kunci yang, menurut kami, bisa menggambarkan petualangan kami kali ini, yakni kekenyangan. Ya begitulah, karena petualangan yang kami lakukan ini adalah petualangan kuliner alias makan-makan.
Singkat cerita, kami memilih makan di sebuah restoran "all-you-can-eat" bertemakan Japanese food di sebuah mal di bilangan Jakarta Selatan (sengaja tidak saya sebutkan agar tidak dikira propaganda ataupun iklan). Setelah beberapa kali bolak-balik ke meja prasmanan dan menghabiskan waktu sekitar dua jam untuk makan (gila kan?), kami pun benar-benar kekenyangan. Waktu yang kami habiskan menjadi tiga jam jika ditambah waktu "pendinginan" atawa ngaso-ngaso untuk "menurunkan" makanan (ya, kami memang edan).
Sambil ngaso, perempuan cantik yang sedang bersama saya itu bertanya, "Gimana caranya ya restoran ini meraup keuntungan selagi pengunjungnya diperbolehkan makan sepuasnya hanya dengan harga Rp170.000 per kepala?"
Belum sempat saya sanggah, dia sudah nyeletuk lagi, "Liat tuh, Al. Pengunjungnya banyak gini, apa gak rugi ya ni restoran?"
Mendapatkan pertanyaan seperti itu, saya jadi teringat sebuah teori pada mata kuliah Teori Ekonomi Mikro yang mengatakan bahwa perusahaan akan tetap berproduksi selama pendapatan marjinalnya (marginal revenue) melebihi biaya produksi marjinalnya (marginal cost of production) dan harga produknya (price) melebihi biaya variabel rata-ratanya (average variable cost). Di restoran ini, selama tidak memesan menu di luar ketentuan, setiap pengunjung dikenakan harga yang sama, yang tak lain adalah pendapatan marjinal restoran ini dari tiap kepala atau pengunjung, yakni Rp170.000.
Restoran ini juga tentunya membutuhkan tenaga kasir, pencuci piring, koki, serta pelayan pembimbing, yang semuanya termasuk ke dalam biaya tetap (fixed cost). Biaya tetap mempengaruhi penerimaan tapi tidak mempengaruhi keputusan restoran untuk berproduksi. Sesuai dengan teori di atas, yang mempengaruhi keputusan untuk terus atau tidak berproduksinya restoran ini adalah biaya produksi marjinalnya dan biaya ini bisa diestimasikan besarannya dengan jumlah makanan yang dikonsumsi rata-rata pengunjung. Jika rata-rata pengunjung mengonsumsi makanan tidak setara Rp170.000, restoran akan tetap jalan.
Sekarang, mari kita lakukan hitungan kasar. Di restoran ini disajikan berbagai jenis makanan: hidangan pembuka, utama, dan penutup. Di hidangan pembuka dan utama ada daging-dagingan (daging ayam, daging sapi, dan aneka makanan laut), lengkap dengan macam-macam sayuran. Sementara aneka puding, sirup, dan buah-buahan disiapkan sebagai penutupnya. Katakanlah setiap pengunjung (asumsi kebanyakan pengunjung yang datang memiliki selera makan rata-rata) hanya makan satu jenis makanan dan memilih yang paling mahal, yakni daging sapi. Untuk menyetarakan dengan harga yang dikenakan, artinya setiap pengunjung harus memakan sekitar 1,7 kilogram daging sapi. Pada kenyataannya, sedikit sekali pengunjung yang mampu memakan daging sapi meskipun hanya sebanyak (atau mendekati) satu kilogram dalam sekali kunjungan. Belum lagi jika ditambah dengan jenis makanan lainnya, apalagi nasi, tentu saja nilai ekonomis yang diperoleh pengunjung akan semakin kecil. Dengan demikian, jangankan bisa makan setara harga, mendekatinya saja pun tidak, saya kira.
Harga Vs. Nilai
Yang menjadi pertanyaan berikutnya adalah, "Mengapa masih banyak yang mau menyambangi restoran semacam ini?" -- satu hal yang sesungguhnya juga ditanyakan oleh nona cantik yang sedang bersama saya itu. Pertanyaan ini lagi-lagi mengingatkan saya pada mata kuliah Ekonomi Mikro, yang menjelaskan tentang faktor-faktor yang mempengaruhi permintaan, yang salah satunya adalah selera masyarakat.
Dengan segmentasinya yang ditujukan untuk masyarakat kelas menengah - atas, harga yang ditentukan restoran ini tidak terlalu menjadi persoalan karena masyarakat kelas ini cenderung lebih mengedepankan selera dan kenyamanan (bahkan juga gengsi). Dengan kata lain, selain harga, faktor penentu lainnya dalam hal ini adalah nilai (value). Kondisi inilah yang membuat restoran semacam ini mampu bertahan, karena permintaannya menjadi tidak terlalu elastis.
Triliuner Warren Buffett pernah berkata bahwa harga adalah apa yang Anda bayar sedangkan nilai adalah apa yang Anda dapatkan. Meskipun kutipan tersebut dimaksudkan pada konteks investasi, pengertiannya bisa kita ambil untuk hal-hal yang universal. Dari situ kita terbantu dalam memahami mengapa masih banyak yang mau makan dan membayar di restoran ini, yakni dikarenakan adanya nilai. Selera yang terpenuhi, kualitas makanan terjaga, kenyamanan, pengalaman, dan sensasi adalah apa yang mereka dapatkan dari bersantap di restoran semacam ini, itulah nilainya. Selama nilainya melebihi harganya, pengunjung akan senang-senang saja. Melihat banyaknya pengunjung yang datang ke restoran ini, saya bisa katakan kalau para pengunjung mendapatkan nilai lebih dari apa yang mereka bayarkan di restoran ini. Saya dan si nona cantik itu termasuk ke dalamnya.
Hukum Pengurangan Utilitas Marjinal
Tadi kita sudah menghitung secara kasar bagaimana cara restoran ini meraup keuntungan. Dalam hitungan tersebut, sebetulnya ada satu prinsip ekonomi yang turut serta, yang disebut utilitas marjinal (marginal utility) dan prinsip ini memiliki satu hukum yang dikenal secara luas, yaitu hukum pengurangan utilitas marjinal (law of diminishing marginal utility). Hukum ini menyatakan: untuk setiap tambahan barang yang dikonsumsi, konsumen akan memperoleh kepuasan yang semakin berkurang.
Tak bisa dimungkiri kalau restoran semacam ini bekerja sesuai dengan, atau mengandalkan, hukum tersebut. Dengan contoh hitungan kasar di atas dan dengan kaitannya pada hukum ini, kita bisa tahu kalau restoran ini menghasilkan keuntungan dengan cara mengenakan harga di atas harga makanan yang dapat dikonsumsi rata-rata orang berdasarkan asumsi pelanggan akan berada pada titik nol utilitas marjinal sebelum mereka bisa mengonsumsi sejumlah makanan yang setara biaya yang dikeluarkan restoran tersebut untuk makanan-makanannya. Atas dasar inilah saya mengira penyetaraan konsumsi makanan oleh pelanggan dengan harganya sangat sulit dicapai.
******
Restoran-restoran "all-you-can-eat" cukup cerdas menetapkan harga yang mereka tahu pengunjungnya tidak akan mampu menyetarakannya dengan jumlah konsumsinya. Segmentasinya yang pada masyarakat kelas menengah - atas sangat mendukung mereka dalam melakukan hal tersebut. Satu-satunya hal yang menentukan kepuasan pelanggan dalam hal ini adalah nilai. Sebagaimana telah dijelaskan di atas, hal inilah yang dapat menciptakan loyalitas pelanggan sehingga restoran-restoran bergenre ini bisa terus berjalan.
Saran saya, jika nanti Anda ingin makan di restoran seperti ini, persiapkanlah dulu diri Anda dan jangan terlalu berpikir akan kerugian finansial karena pada dasarnya restoran manapun pasti mencari marjin atau keuntungan dari setiap menu yang ditawarkan. Pikirkanlah nilai yang bisa Anda dapatkan, yang mungkin belum pernah Anda dapatkan sebelumnya. Jika setelah selesai makan Anda masih kepikiran untuk kembali, artinya Anda telah mendapatkan nilai dari harga yang Anda bayarkan. Jika tidak, dengan segala hormat, mungkin Anda memang tidak cocok dengan restoran semacam ini. Saran penutup dari saya, datanglah bersama orang-orang yang Anda cintai agar nilai yang dimaksud menjadi lebih nancep di hati dan jangan sungkan untuk menyantap berlama-lama sampai perut Anda benar-benar terpenuhi.
Wednesday, August 26, 2015
15 Critical Habits Of Mentally Strong People
http://www.forbes.com/sites/travisbradberry/2015/08/25/15-critical-habits-of-mentally-strong-people/
Travis Bradberry
Travis Bradberry
We all reach critical points in our lives where our mental toughness is tested. It might be a toxic friend or colleague, a dead-end job, or a struggling relationship.
Whatever the challenge, you have to be strong, see things through a new lens, and take decisive action if you want to move through it successfully.
It sounds easy. We all want good friends, good jobs, and good relationships.
But it isn’t.
It’s hard to be mentally tough, especially when you feel stuck. The ability to break the mold and take a bold new direction requires that extra grit, daring, and spunk that only the mentally toughest people have.
It’s fascinating how mentally tough people set themselves apart from the crowd. Where others see impenetrable barriers, they see challenges to overcome.
When Thomas Edison’s factory burned to the ground in 1914, destroying one-of-a-kind prototypes and causing $23 million in damage, Edison’s response was simple:
"Thank goodness all our mistakes were burned up. Now we can start fresh again"
Edison’s reaction is the epitome of mental toughness—seeing opportunity and taking action when things look bleak.
There are habits you can develop to improve your mental toughness. In fact, the hallmarks of mentally tough people are actually strategies that you can begin using today.
They’re Emotionally Intelligent
Emotional intelligence is the cornerstone of mental toughness. You cannot be mentally tough without the ability to fully understand and tolerate strong negative emotions and do something productive with them. Moments that test your mental toughness are ultimately testing your emotional intelligence (EQ).
Unlike your IQ, which is fixed, your EQ is a flexible skill that you can improve with understanding and effort. It’s no wonder that 90% of top performers have high EQs and people with high EQs earn $28,000 more annually (on average) than their low-EQ counterparts.
Unfortunately EQ skills are in short supply. TalentSmart has tested more than a million people, and we’ve found that just 36% of these are able to accurately identify their emotions as they happen.
They’re Confident
"Whether you think you can, or think you can’t—you’re right. – Henry Ford"
Mentally tough people subscribe to Ford’s notion that your mentality has a powerful effect on your ability to succeed. This notion isn’t just a motivational tool—it’s a fact. A recent study at the University of Melbourne showed that confident people went on to earn higher wages and get promoted more quickly than others did.
True confidence—as opposed to the false confidence people project to mask their insecurities—has a look all its own. Mentally tough people have an upper hand over the doubtful and the skittish because their confidence inspires others and helps them to make things happen.
They Neutralize Toxic People
Dealing with difficult people is frustrating and exhausting for most. Mentally tough people control their interactions with toxic people by keeping their feelings in check. When they need to confront a toxic person, they approach the situation rationally.
They identify their emotions and don’t allow anger or frustration to fuel the chaos.
They also consider the difficult person’s standpoint and are able to find common ground and solutions to problems. Even when things completely derail, mentally tough people are able to take the toxic person with a grain of salt to avoid letting him or her bring them down.
They Embrace Change
Mentally tough people are flexible and are constantly adapting. They know that fear of change is paralyzing and a major threat to their success and happiness.
They look for change that is lurking just around the corner, and they form a plan of action should these changes occur.
Only when you embrace change can you find the good in it. You need to have an open mind and open arms if you’re going to recognize, and capitalize on, the opportunities that change creates.
You’re bound to fail when you keep doing the same things you always have in the hope that ignoring change will make it go away. After all, the definition of insanity is doing the same thing over and over again and expecting a different result.
They Say No
Research conducted at the University of California in San Francisco showed that the more difficulty you have saying no, the more likely you are to experience stress, burnout, and even depression. Mentally tough people know that saying no is healthy, and they have the self-esteem and foresight to make their nos clear.
When it’s time to say no, mentally tough people avoid phrases such as “I don’t think I can” or “I’m not certain.” They say no with confidence because they know that saying no to a new commitment honors their existing commitments and gives them the opportunity to successfully fulfill them.
The mentally tough also know how to exert self-control by saying no to themselves. They delay gratification and avoid impulsive action that causes harm.
They Know That Fear Is The No. 1 Source Of Regret
Mentally tough people know that, when all is said and done, they will lament the chances they didn’t take far more than they will their failures. Don’t be afraid to take risks.
I often hear people say, “What’s the worst thing that can happen to you? Will it kill you?” Yet, death isn’t the worst thing that can happen to you. The worst thing that can happen to you is allowing yourself to die inside while you’re still alive.
It takes refined self-awareness to walk this tightrope between dwelling and remembering. Dwelling too long on your mistakes makes you anxious and gun shy, while forgetting about them completely makes you bound to repeat them. The key to balance lies in your ability to transform failures into nuggets of improvement.
This creates the tendency to get right back up every time you fall down.
They Embrace Failure . . .
Mentally tough people embrace failure because they know that the road to success is paved with it. No one ever experienced true success without first embracing failure.
By revealing when you’re on the wrong path, your mistakes pave the way for you to succeed. The biggest breakthroughs typically come when you’re feeling the most frustrated and the most stuck. It’s this frustration that forces you to think differently, to look outside the box, and to see the solution that you’ve been missing.
. . . Yet, They Don’t Dwell On Mistakes
Mentally tough people know that where you focus your attention determines your emotional state. When you fixate on the problems that you’re facing, you create and prolong negative emotions and stress, which hinders performance. When you focus on actions to better yourself and your circumstances, you create a sense of personal efficacy, which produces positive emotions and improves performance.
Mentally tough people distance themselves from their mistakes, but they do so without forgetting them. By keeping their mistakes at a safe distance, yet still handy enough to refer to, they are able to adapt and adjust for future success.
They Won’t Let Anyone Limit Their Joy . . .
When your sense of pleasure and satisfaction are derived from comparing yourself to others, you are no longer the master of your own happiness. When mentally tough people feel good about something they do, they won’t let anyone’s opinions or accomplishments take that away from them.
While it’s impossible to turn off your reactions to what others think of you, you don’t have to compare yourself to others, and you can always take people’s opinions with a grain of salt. Mentally tough people know that regardless of what people think of them at any particular moment, one thing is certain—they’re never as good or bad as people say they are.
. . . And They Don’t Limit The Joy Of Others
Mentally tough people don’t pass judgment on others because they know that everyone has something to offer, and they don’t need to take other people down a notch in order to feel good about themselves.
Comparing yourself to other people is limiting. Jealousy and resentment suck the life right out of you; they’re massive energy-stealers. Mentally tough people don’t waste time or energy sizing people up and worrying about whether or not they measure up.
Instead of wasting your energy on jealousy, funnel that energy into appreciation. When you celebrate the success of other people, you both benefit.
They Exercise
A study conducted at the Eastern Ontario Research Institute found that people who exercised twice a week for 10 weeks felt more socially, intellectually, and athletically competent. They also rated their body image and self-esteem higher.
Best of all, rather than the physical changes in their bodies being responsible for the uptick in confidence, which is key to mental toughness, it was the immediate, endorphin-fueled positivity from exercise that made all the difference.
They Get Enough Sleep
It’s difficult to overstate the importance of sleep to increasing your mental toughness. When you sleep, your brain removes toxic proteins, which are by-products of neural activity when you’re awake.
Unfortunately, your brain can remove them adequately only while you’re asleep, so when you don’t get enough sleep, the toxic proteins remain in your brain cells, wreaking havoc by impairing your ability to think—something no amount of caffeine can fix.
Mentally tough people know that their self-control, focus, and memory are all reduced when they don’t get enough—or the right kind—of sleep, so they make quality sleep a top priority.
They Limit Their Caffeine Intake
Drinking excessive amounts of caffeine triggers the release of adrenaline, the source of the fight-or-flight response. The fight-or-flight mechanism sidesteps rational thinking in favor of a faster response to ensure survival. This is great when a bear is chasing you but not so great when life throws you a curve.
When caffeine puts your brain and body into this hyper-aroused state of stress, your emotions overrun your behavior. Caffeine’s long half-life ensures you stay this way as it takes its sweet time working its way out of your body. Mentally tough people know that too much caffeine is trouble, and they don’t let it get the better of them.
They Don’t Wait For An Apology To Forgive
Mentally tough people know that life goes a lot smoother once you let go of grudges and forgive even those who never said they were sorry. Grudges let negative events from your past ruin today’s happiness. Hate and anger are emotional parasites that destroy your joy in life.
The negative emotions that come with holding on to a grudge create a stress response in your body, and holding on to stress can have devastating consequences (both physically and mentally). When you forgive someone, it doesn’t condone their actions; it simply frees you from being their eternal victim.
They’re Relentlessly Positive
Keep your eyes on the news for any length of time, and you’ll see that it’s just one endless cycle of war, violent attacks, fragile economies, failing companies, and environmental disasters. It’s easy to think the world is headed downhill fast.
And who knows? Maybe it is. But mentally tough people don’t worry about that because they don’t get caught up in things they can’t control. Instead of trying to start a revolution overnight, they focus their energy on directing the two things that are completely within their power—their attention and their effort.
Bringing It All Together
Mental toughness is not an innate quality bestowed upon a select few. It can be achieved and enjoyed.
What else makes people mentally tough? How many of these 15 qualities describe youhttp://www.forbes.com/video/2902014943001/ease share your thoughts in the comments section below as I learn just as much from you as you do from me.
Subscribe to:
Posts (Atom)