http://koran.bisnis.com/read/20140208/270/201881/middle-income-trap-atau-middle-income-gap
Arif Budisusilo
Bisnis.com, JAKARTA - "Kalau institusi masih seperti Jurassic Park, jangan datang dengan policy yang kualitasnya Star Wars."
Anda barangkali pernah mendengar pernyataan itu, yang kerap diucapkan Menteri Keuangan Chatib Basri.
Bukan bermaksud mengecilkan institusi yang ada saat ini, saya kira, kalau Menteri Chatib mengucapkan hal itu dalam seminar yang mengambil tema mentereng: Menghindari Jebakan Kelas Menengah yang digelar Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia yang bekerjasama dengan Kementerian Keuangan, baru-baru ini.
Banyak pejabat yang berbicara, mulai dari Kepala Bapenas, Menteri Keuangan, Wakil Menteri Keuangan, Mantan Gubernur Bank Indonesia, Komisioner Otoritas Jasa Keuangan, ekonom, dan beberapa pembicara lain dari luar negeri termasuk dari Korea Selatan.
Satu benang merah yang mereka sampaikan, untuk lepas dari jebakan kelas menengah atau middle income trap, diperlukan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, sumberdaya manusia yang berkualitas, dan transformasi ekonomi menuju pertumbuhan yang berkualitas berbasis produktivitas dan inovasi.
Dan tatkala terminologi Jurassic Park dan Star Wars keluar dari Menkeu Chatib, tentu bukan sekadar joke atau kelakar semata.
Jurassic Park adalah judul sekuel film Hollywood yang menggambarkan dunia lama, era kuno binatang purba. Sebaliknya, Star Wars menggambarkan pertempuran digital yang sebenarnya, pertarungan produk teknologi, yang membuat Amerika hingga kini tetap survive karena ekonomi yang ditopang inovasi atau dikenal di kalangan ahli sebagai knowledge-based economy.
Mengapa dua gambaran yang kontradiktif itu dipertemukan? Ya. Maksud Pak Menteri jelas: berfikir dan bertindaklah secara pragmatis.
Intinya, jangan berharap first best policy dalam lingkungan institusi yang masih perlu dipermak lebih banyak lagi.
Beberapa tahun lalu saya mendengarkan pidato Lee Kuan Yew, mantan perdana menteri Singapura, dalam sebuah seminar lainnya yang berjualan tentang potensi negeri jiran itu di Singapura.
Pak Lee, yang selepas menjabat perdana menteri menyandang gelar Menteri Senior, memaparkan kunci sukses Singapura, di mana salah satunya adalah pragmatisme.
Dalam berbagai pidatonya, Pak Lee selalu mengulang-ulang apa yang membawa Singapura menempati posisi yang kokoh seperti sekarang ini, yakni good governance, antikorupsi, meritokrasi, dan pragmatisme. “Jika Anda hilangkan salah satu faktor itu, Anda akan kehilangan momentum,” begitu kata Pak Lee ketika itu.
Seperti kata Pak Lee, Singapura memang pragmatis. Sepanjang ada mutual benefit, Singapura siap bekerjasama dengan siapapun, dan bermitra dengan negara tetangga dengan saling menguntungkan.
Negeri itu juga sangat pragmatis dalam penyesuaian kembali kebijakan demi benefit ekonomi dan bisnis.
Perdana Menteri Lee Hsien Loong, penerus Pak Lee, juga senantiasa berjualan tentang negaranya secara pragmatis, termasuk mengunggulkan sumberdaya manusia dan pendidikan, lingkungan bisnis, inovasi, kemudahan rezim perpajakan, dan keterjangkauan negeri itu dari berbagai negara.
"Hanya dengan enam atau tujuh jam penerbangan dari dan ke Singapura, anda sudah bisa mencapai Tokyo, Beijing, Sidney, Dubai, New Delhi dan Seoul," begitu kurang lebih cara PM Loong berjualan untuk menarik perusahaan multinasional berkantor di Singapura.
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pun tahun lalu juga menyatakan perlunya pemimpin bersikap pragmatis.
Hanya saja, karena kata pragmatisme kerap diasosiasikan dengan hal yang negatif, Presiden Yudhoyono menyertainya dengan catatan, perlunya "pragmatisme dengan visi".
Maksudnya, pragmatisme yang bisa menunjukkan arah dan bisa mengerjakannya.
Pernyataan Pak SBY itu kebetulan disampaikan di akun twiternya saat berkunjung ke Singapura April tahun lalu, ketika diundang menyampaikan pidato di Nanyang Technological University.
Suka atau tidak, kemajuan Indonesia saat ini dicapai berkat pragmatisme pula. Sikap pragmatis, seperti disampaikan Menkeu Chatib, Mr Lee Pm Loong dan Pak SBY, sebenarnya merujuk pada "kemampuan menentukan tujuan sesuai kapasitas untuk mencapainya."
Namun, itu saja tidaklah cukup. Singapura maju karena pragmatismenya disertai inovasi.
Korea Selatan lolos dan berhasil naik kelas menjadi negara maju karena dukungan inovasi yang begitu kuat. Inovasi yang kuat tentu memerlukan sumberdaya manusia yang unggul.
Dengan kata lain, pragmatisme Indonesia perlu pula disertai banyak upaya lainnya. "Indonesia tidak bisa lagi bertahan seperti era VOC dengan mengandalkan keunggulan bahan mentah terus menerus atau buruh murah terus-menerus," begitu merujuk Chatib Basri.
VOC, tentu Anda tahu, adalah firma dagang dari Belanda yang sukses menguasai dan menguras kekayaan alam hasil pertanian Indonesia selama lebih dari tiga abad.
Pelajaran dari negara lain tentang hal itu sudah terlalu banyak. Brasil dan Afrika Selatan, misalnya, adalah dua negara yang tahun 1970-an memiliki posisi sama dengan Korea Selatan, yakni negara berpendapatan menengah.
Namun, saat kini Korsel naik kelas menjadi negara maju, Brasil dan Afrika Selatan tinggal kelas. Brasil dan Afrika Selatan seolah terjebak di kelas menengah atau middle income trap. Mengapa? Karena terninabobokkan oleh kekayaan alam yang dimiliki.
Mungkin merujuk Presiden SBY, dua contoh kasus itu menggambarkan pragmatisme yang tidak disertai visi yang kuat.
Istilah middle income trap merujuk Eichengreen (2011) yang dikutip Wamenkeu Bambang PS Brodjonegoro, mengacu pada kondisi suatu negara yang tidak mampu bersaing dengan negara lain yang memiliki tingkat buruh murah dalam memproduksi ekspor, dan juga tidak mampu bersiang dengan negara maju yang menghasilkan produk dengan teknologi tinggi dan inovasi.
Maka yang terjadi, negara-negara seperti itu mengandalkan kekayaan alam, dan eksploitasi sumberdaya alam.
Kekayaan alam memang meninabobokkan. Begitu pula buruh murah. Ia adalah hantu yang selalu mengelabui kemampuan bangsa yang sesungguhnya. Apalagi jika cara-cara mengelolanya dengan eksploitasi yang berkelebihan. Ia menghambat peningkatan produktivitas industri secara keseluruhan.
Maka itulah sesungguhnya ancaman yang dihadapi Indonesia ke depan. Kelas menengah yang tumbuh kencang belakangan ini, boleh dikata, adalah produk "ekonomi sumberdaya alam" dan "eksploitasi buruh murah".
Apa implikasinya? Orang kaya dan mampu secara ekonomi cenderung mendapatkan manfaat ekonomi lebih besar, antara lain dari subsidi energi dan pemanfaatan infrastruktur. Itulah yang barangkali disebut sebagai middle income gap atau kesenjangan ekonomi akibat tumbuhnya kelas menengah.
Kesenjangan pun menjadi menu di mana-mana. Tidak hanya terjadi antara kota dengan desa, atau kesenjangan antara Jawa dan luar Jawa, tetapi lebih ekstrim lagi, kata Bambang, antara Jabodetabek dan luar Jabodetabek.
Akan lebih jelas lagi jika merujuk kalimat Rektor Universitas Gadjah Mada Prof Pratikno, dalam diskusi yang digelar Keluarga Alumni Universitas Gadjah Mada di kantor harian ini beberapa waktu lalu.
Ekonomi Indonesia, katanya, sebenarnya sudah lama melambat alias declining, tetapi selalu didongkrak dengan eksploitasi sumberdaya alam yang menimbulkansustainable cost dalam jangka panjang.
Apa penyebabnya? Ekonomi rente itu dipaksa membiayai demokrasi kita. Akibatnya, ada kelompok kaya dan mampu yang menikmati jauh lebih banyak dan berkelanjutan, sebaliknya banyak penduduk miskin yang menikmati jauh lebih sedikit tetapi harus membayar ongkosnya.
Maka Chatib benar. Jika institusi --ekonomi, politik, parlemen, birokrasi-- masih seperti Jurassic Park, jangan berharap terlahir kebijakan secanggih Star Wars. Dan itu pekerjaan rumah kita semua. Bagaimana menurut Anda?
No comments:
Post a Comment