February 21, 2011
Meminjam cerita Anthony de Mello, suatu waktu ada gadis desa yang hamil tanpa suami. Tentu saja orang tuanya mengamuk, kemudian memaksa agar putrinya menunjuk lelaki yang menghamilinya. Di tengah kekalutan, remaja ini kemudian menunjuk orang tua bijaksana di pinggir hutan. Dan marahlah warga desa, kemudian semuanya memaki. Di tengah amukan dan cacian warga desa, orang tua bijaksana ini hanya berucap tenang, “Baiklah!”
Berbulan-bulan perempuan hamil ini dirawat dengan baik. Tanpa keluhan, tanpa keributan. Merasa dirinya diperlakukan sangat baik, ibu muda ini dihinggapi rasa bersalah mendalam kepada orang tua bijaksana tadi. Kemudian ia mengaku ke orang desa bahwa bukan orang tua bijaksana itu yang menghamilinya, melainkan sejumlah lelaki tidak bertanggung jawab. Maka kembalilah warga desa ke pinggir hutan sambil minta maaf. Lagi-lagi orang tua bijaksana ini berucap pelan, “Baiklah.” Di mata kepintaran, orang tua ini masuk ke dalam kotak kebodohan, tetapi di mata makhluk tercerahkan orang tua ini sungguh mengagumkan.
Bila boleh jujur, keseharian manusia di mana-mana penuh kemarahan. Di Amerikat Serikat daftar kemarahan dengan bahasa sarkastis semakin panjang. Di negeri ini, banyak sekali hal yang bisa membakar api kemarahan. Terlebih menjelang pemilihan presiden, tuduh-menuduh dengan judul bohong berseliweran.
Sesungguhya tidak ada yang berniat marah. Bila digali lebih dalam, manusia mewarisi bibit kemarahan dari orang tua, sekolah, lingkungan. Bibit ini kemudian disirami dengan menonton televisi yang berisi perkelahian, radio yang memberitakan kebencian, media cetak yang laris justru dengan berita kriminalitas, pemimpin yang miskin keteladanan. Sehingga tanpa perbaikan serius, manusia akan terus dibakar kemarahan.
Berbeda dari logika sebagian ilmu kedokteran Barat yang membuang organ tubuh bermasalah, meditasi mengajarkan untuk mengawasi kemarahan. Tatkala sakit kepala, tidak mungkin seseorang membuang kepalanya, melainkan merawat kepalanya. Hal serupa terjadi dengan kemarahan, membuang kemarahan serupa dengan membuang malam dan hanya mau siang.
Ada beberapa pendekatan yang tersedia dalam hal ini. Memandang secara mendalam adalah sebuah pendekatan. Sejujurnya kemarahan terjadi bukan karena godaan orang, melainkan lebih banyak karena manusia kebanyakan serupa jerami yang sedang terbakar (baca: iri, dengki, sakit hati dan lain-lain). Godaan yang datang dari luar mirip angin yang bertiup.
Karena itulah, lebih disarankan untuk mengawasi bibit kemarahan yang ada di dalam. Tolehlah ke dalam ketika kemarahan datang, cermati jerami terbakar yang datang dari pikiran negatif seperti iri dan tidak sabar, tarik napas pelan-pelan, rasakan segarnya udara yang masuk melalui hidung. Sebenarnya ada rahasia kesegaran, ketenangan, kebeningan di balik ketekunan menyatu dengan napas. Sebagaimana kita tahu, masa lalu sudah lewat, masa depan belum datang, satu-satunya uang tunai kehidupan adalah saat ini. Maka, dalam bahasa Inggris masa kini disebut the present (hadiah). Indah, sejuk, lembut, itulah hadiah buat mereka yang rajin terhubung dengan kekinian melalui memperhatikan napas.
Di samping memperhatikan napas, bibit kemarahan juga bisa diawasi dengan meditasi jalan. Terutama dengan melihat hakikat semua fenomena (termasuk kemarahan) yang muncul lenyap sebagaimana langkah kaki. Membadankan dalam-dalam bahwa semuanya muncul lenyap bisa menjadi awal terbukanya pintu kesabaran. Sebagai tambahan, mengerti dengan penuh belas kasih bahwa orang yang menyakiti sesungguhnya sedang menderita, adalah pendekatan lain. Ia yang bisa memandang seperti ini, mengalami transformasi di dalam. Dari mau melawan menjadi mau menolong.
Dengan demikian, menyejukkan kemarahan dapat dilakukan dengan kesabaran,terutama karena kemarahan membuat bumi penuh api. Setelah tersejukan terlihat terang, kita semua sama yakni mau bahagia. Lebih mudah menjadikan bumi ini tanah suci dengan melihat kesamaan-kesamaan dibanding bertempur tentang perbedaan.
Dan akhirnya, ketika seorang ayah ditanya putranya apakah perhiasan yang paling indah, dengan lembut ia menjawab: “Kesabaran adalah perhiasan yang terindah.” Terutama karena kesabaran menjadikan bumi ini tanah suci. Dalam bahasa seorang guru, senapan hanya bisa melenyapkan sejumlah musuh. Namun kesabaran bisa melenyapkan semua musuh. Inilah ciri manusia yang sudah mengenakan perhiasan terindah kehidupan. Tidak saja musuhnya lenyap, tetapi semua tempat menjadi tanah suci.
Penulis buku Pencerahan Dalam Perjalanan dan Simfoni di Dalam Diri.
No comments:
Post a Comment