Seorang bapak yang menggunakan batik coklat berlengan pendek tersenyum sambil menatap ke arah saya. Sejenak kemudian dengan tegas dia membuat pernyataan, “Walau saya tidak punya uang, saya akan tetap maju. Saya masih PeDe kok. Toh pendukung setia saya banyak hampir di tujuh Kecamatan di Kota ini.” Bapak ini salah seorang kandidat Walikota di sebuah daerah.
Kepercayaan diri memang sebuah kualitas yang bagus yang harus dimiliki oleh seorang calon kepala daerah, entah itu calon Gubernur atau calon Bupati/Walikota. Hanya sayangnya untuk kasus bapak di atas, dia melupakan 3 hal.
Pertama, dia melupakan bahwa secara matematis (yang tentu juga secara sosiologis dan psikologis) PENDUKUNG SETIA dalam setiap perhelatan politik, termasuk Pilkada, tidak pernah lebih dari 30 persen orang yang mengaku setia (bukan 30 % calon pemilih). Kalau ada 100.000 orang yang mengaku setia kepada Anda, itu artinya hanya ada 30.000 yang betul-betul setia. 70% lainnya hanya “mengaku”. Mereka sebenarnya pragmatis. Dan itu sah-sah saja. Jadi jika ada seorang calon Walikota/Bupati mengatakan ada 100.000 pendukung setia dan dia sudah PD bahwa 100.000 itu akan benar2 memilihnya, ini sebuah asumsi yang gegabah. Dan yang perlu diingat lagi adalah, untuk menciptakan pendukung menjadi setia ada banyak hal yang harus dilakukan oleh si calon dan memerlukan waktu yang intens dan agak lama. Ingatlah fenomena ini: kesetiaan dalam politik setipis embun pagi; kesetiaan yang sebenarnya adalah 5 menit saat para pemilih berada di bilik suara. Hanya 5 menit itu. Dan percayakah bahwa 1 menit sebelum menuju ke 5 menit itu keputusan seseorang dapat berubah dalam sekejap? Ya, salah satunya melalui “serangan fajar” atau apalah namanya.
Kedua, si bapak tadi mengatakan bahwa “walau tidak punya uang…” dia merasa akan tetap dapat bertarung dengan aman, syukur bisa menang. Ini agak mustahil dalam konteks masyarakat dan budaya politik kita sekarang. Apa saya sedang membenarkan kuatnya pengaruh politik uang? Ya. Kenyataannya demikian. Sulit seorang calon Walikota/Bupati akan merebut Kota/Kabupaten tanpa uang. Toh dia perlu safari, mengerahkan massa, membiayai kampanye below & above the line, dll. Mungkin tidak perlu memberi “amplop” kepada calon pemilih, namun tetap saja dia harus keluar uang. Ini biaya politik, dan di dalamnya akan ada terkandung unsur politik uang.
Ketiga, yang dilupakan bapak tadi adalah STRATEGI. Dia merasa -bersama team kampanyenya (oya, umumnya yang dimaksud team kampanye itu adalah orang-orang dekat atau kerabat yang membantu dia untuk kampanye, bukan profesional. Orang-orang itu tentu hanya orang-orang yang cenderung menjadi pelaku lapangan dan bukan konseptor) bahwa tanpa strategipun dia akan baik-baik saja terjun ke medan tempur Pilkada. Ini jelas jelas jelas jelas jelas sangat tidak valid. Tidak ada satu tindakan pun di muka bumi ini yang berhasil tanpa strategi. Mau dibilang aksidental atau mengalir bagai air? No..no..no.. Sangat mustahil itu dilakukan. Dan Pilkada MUTLAK memerlukan strategi.
Ada lima tahap strategi yang harus dilakukan seseorang dalam kaca mata marketing politik untuk bisa mengungguli lawan, yakni:
(1) Tahap Brand Awareness. Pada tahap ini si calon memperkenalkan diri kepada calon pemilih. Baru sebatas memperkenalkan diri. Hasil pada tahap ini adalah begini, “Ooooh si anu mencalonkan diri menjadi Walikota/Bupati.” Baru sebatas bahwa calon pemilih tahu ada dia dalam bursa calon Walikota/Bupati.
(2) Tahap Brand Knowledge. Pada tahap ini calon pemilih sudah mulai punya pemaham lebih terhadap calon Walikota/Bupati. Hasil dari tahap ini adalah begini, “Waaah…ternyata si anu punya program Pembangunan UKM dan ingin mengembangkan program community development secara berkelanjutan.”
(3) Tahap Brand Preference. Pada tahap ini calon pemilih sudah mulai membandingkan antara calon yang satu dengan calon yang lain. Hasil dari tahap ini adalah, “Kayak-kayaknya si A emang lebih bagus daripada si B.” Mulai membandingkan keunggulan.
(4) Tahap Brand Liking. Pada tahap ini calon pemilih mulai memiliki rasa suka terhadap calon Walikota/Bupati. Jika seorang calon Walikota/Bupati sudah memasuki tahap ini dan memperoleh hasilnya, maka dapat dibilang dia sudah aman, Namun belum 100% aman. Pada tahap ini calon pemilih sudah mulai bilang, “Ya, saya akan pilih si A.” Namun ingatlah, rasa suka seseorang masih bisa dibombardir oleh “serangan fajar” dan yang sejenisnya. Karena itu ada satu tahap lagi untuk mengikat calon pemilih.
(5) Tahap Brand Loyalty. Pada tahap ini calon pemilih sudah setia kepada calon Walikota/Bupati yang akan dipilihnya. Sudah tidak akan goyah oleh apapun termasuk oleh serangan fajar. “Pokoknya saya pilih si A. Titik.”
Dalam menjalankan 5 tahap strategi tersebut, perlu ada komitmen yang kuat dari calon Kepala Daerah. Karena 5 tahap tadi akan diisi oleh strategi-strategi yang cukup menguras tenaga, pikiran, waktu dan tentu saja biaya. Misalnya pada tahap 1 dan 2 akan diisi oleh strategi PENCITRAAN, roadshow, dll. Pada tahap 3, 4 dan 5 akan diisi oleh strategi yang lain lagi.
Jadi jika dikatakan seorang calon Walikota/Bupati akan mampu bertarung tanpa strategi lalu menang, maka saya berani mengatakan bahwa itu merupakan HIL YANG MUSTAHAL.
Mohon digarisbawahi, ulasan di atas bisa saja tidak benar 100%. Saya sadar itu. Tak ada gading yang tak retaktoh.
Maju Indonesia ku!
No comments:
Post a Comment