Wednesday, January 25, 2012

4 Steps to Aha!: How to Figure Out Exactly What You Want Read

http://www.oprah.com/spirit/How-to-Figure-Out-What-You-Want-in-Life

Bemoaning the things that upset you is easy. Figuring out what would work better? Not so much. Martha Beck shares the four steps you need to visualize the best solution—and then make it happen.

Saturday, January 21, 2012

Pengukuran Customer Satisfaction

http://www.research.marketing.co.id/2011/09/10/pengukuran-customer-satisfaction/
SEPTEMBER 10, 2011





Sebagian perusahaan melakukan pengukuran dengan cara yang lebih kompleks dan umumnya mengacu kepada suatu konsep kepuasan pelanggan. Tanpa konsep kepuasan pelanggan yang jelas, sangat sulit untuk mengoperasionalkan perhitungan indeks kepuasannya.
Konsep yang paling umum untuk menghasilkan indeks kepuasan pelanggan adalah konsep performance-importance. Pertama, responden diminta untuk menjawab performance atau tingkat kepuasan dari berbagai dimensi atau atribut yang mempengaruhi kepuasan pelanggan. Bila pengukuran hanya sebatas tingkat dimensi, maka hanya diperlukan sekitar 3 hingga 10 pertanyaan. Bila pengukuran dilakukan pada tingkat atribut atau hal-hal yang sudah berhubungan dengan harapan spesifik dari pelanggan, maka bisa mencapai hingga 10-50 pertanyaan. Pemilihan ini terntunya tergantung dari kedalaman dari survei yang diinginkan.
Misalnya, untuk produk sepatu, manajemen perusahaan meyakini bahwa ada 5 dimensi yang penting dalam mempengaruhi kepuasan pelanggan yaitu keawetan, kenyamanan, desain, harga dan garansi. Dengan dasar ini, kemudian disusun pertanyaan seperti “Bagaimana kepuasan Anda terhadap sepatu merek X dalam hal keawetannya ?”. Kemudian, diikuti pertanyaan untuk 4 dimensi lainnya. Sekali lagi, berdasarkan pengalaman melakukan riset pasar selama ini, saya lebih menyukai dengan menggunakan skala kepuasan dengan skala 5 atau skala 7.
Dengan dimensi dan atribut yang sama, maka responden ditanyakan tingkat kepentingan untuk masing-masing dimensi atau masing-masing atribut. Tingkat kepentingan ini perlu ditanyakan, karena berfungsi sebagai pembobot dari skor yang diperoleh dari tingkat kepuasan atau performance. Tidak ada ketentuan bahwa skala yang digunakan untuk mengukur tingkat kepuasan haruslah sama dengan skala yang digunakan untuk mengukur tingkat importance. Bahkan kadang-kadang digunakan jenis skala yang berbeda. Misalnya, untuk mengukur skor performance digunakan skala interval 1-5 yang biasa dikenal dengan skala Likert. Untuk mengukur tingkat kepentingan, bisa digunakan jenis skala yang disebut sum-scale yaitu skala dimana responden diminta untuk memberikan angka untuk masing-masing dimensi sehingga total berjumlah 100%.
Dari hasil survei ini, diperolehlah 5 jawaban untuk performance atau tingkat kepuasan dan 5 jawaban untuk tingkat kepentingan. Angka-angka ini, kemudian dapat digunakan sebagai dasar untuk menghitung indeks kepuasan pelanggan dengan mengalikan angka tingkat kepuasan dan tingkat kepentingan.
Indeks yang dihasilkan dengan cara ini sangat beragam, tergantung dari skala yang digunakan ataupun cara perhitungannya. Oleh karena itu, membandingkan indeks yang dihasilkan melalui cara ini haruslah hati-hati karena sedikit saja berbeda cara perhitungannya, kita tidak akan memperoleh perbandingan yang “apple to apple’.
Dibandingkan dengan pengukuran indeks kepuasan pelanggan yang langsung dan sederhana, perhitungan indeks dengan cara performance-importance ini memiliki kelemahan dan kelebihan. Kelemahan yang pertama adalah kesulitan dalam mengkomunikasikan hasil kepada karyawan karena angka-angka yang dihasilkan relatif sulit dimengerti. Memang, dengan cara pengukuran seperti ini, angka absolut yang diperoleh kurang dapat diinterpretasikan, misalnya apakah tingkat kepuasan yang diperoleh adalah sudah cukup, baik atau buruk. Bila hasilnya dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dari indeks pesaing atau dibandingkan indeks yang diperoleh dari studi periode sebelumnya, barulah indeks kepuasan ini mudah diinterpretasikan.
Kelemahan kedua adalah adanya subyektivitas dalam melakukan metode perhitungan indeksnya. Hal ini bisa memberikan kesan adanya manipulasi dalam perhitungan. Tidak jarang, karena ada asumsi yang harus digunakan, maka bisa menjadi debat yang berkepanjangan dari para penguna hasil kepuasan pelanggan atau dengan pihak yang melakukan penelitian. Misalnya, mengapa indeks diperoleh dengan cara mengalikan skor performance dengan skor importance ? Mengapa tidak dijumlahkan saja ? Mengapa skala yang sudah diperoleh kemudian ditransformasikan tanpa alasan jelas dan terkesan sekedar mempermudah perhitungan ? Bila hal-hal seperti ini terjadi, jelas bisa membuat kredibilitas dari hasil survei menjadi terganggu. Akhirnya, pemanfaatan hasil survei tidaklah maksimal atau bahkan bisa hanya menjadi sekedar buku catatan yang tersimpan di lemari kerja.
Kelemahan ketiga adalah ketidakstabilan dari indeks yang dihasilkan. Ketidakstabilan ini bisa disebabkan karena adanya perubahan dimensi atau atribut yang diukur. Pada pengukuran tingkat kepuasan pelanggan yang pertama, seringkali tidak mudah mendapatkan atribut yang benar-benar komprehensif. Karena itu, pada survei berikutnya, seringkali baru ditemukan atribut lain yang dianggap penting. Bila hal ini terjadi, maka indeks sudah sulit untuk dibandingkan dengan hasil sebelumnya.
Kelebihan dari metode ini adalah efisiensi. Peneliti kepuasan pelanggan, tidak hanya mendapatkan indeks kepuasan pelanggan, tetapi sekaligus memperoleh informasi yang berhubungan dengan dimensi atau atribut yang perlu diperbaiki. Hal ini dimungkinkan karena skor dari setiap dimensi atau skor dari setiap atribut dapat diperoleh.
Adalah lebih baik untuk memisahkan pertanyaan yang digunakan untuk perhitungan indeks kepuasan dan pertanyaan yang digunakan untuk mencari prioritas perbaikan. Kombinasi antara dua hal ini akan menetralisir berbagai kelemahan dan tetap mempertahankan kesederhanaan dalam mengkomunikasikan hasil. (www.marketing.co.id)

Pentingnya Mengukur Kepuasan Pelanggan

http://www.research.marketing.co.id/2011/09/10/pentingnya-mengukur-kepuasan-pelanggan/




Berapa jumlah pelanggan yang kita puas? Apakah tingkat kepuasan pelanggan kita naik atau turun? Apakah kepuasan pelanggan kita lebih tinggi dibandingkan kepuasan pelanggan pesaing? Berapakah target kepuasan pelanggan di masa mendatang?
Tanpa melakukan pengukuran tingkat kepuasan pelanggan, tidaklah mungkin ke-empat pertanyaan di atas dapat dijawab. Karena itu, perusahaan yang percaya bahwa kepuasan pelanggan adalah hal yang penting, haruslah mengagendakan program pengukuran kepuasan pelanggan secara periodik. Hasil utama dari pengukuran kepuasan ini adalah dihasilkannya sebuah indeks kepuasan pelanggan yang dapat memberikan jawaban atas 4 pertanyaan tersebut.
Bicara mengenai indeks, yang sering kita bayangkan adalah sederetan formula yang sangat rumit. Sebenarnya, hal ini tidaklah selalu demikian. Menyusun suatu indeks kepuasan pelanggan, bisa menggunakan metode yang paling sederhana hingga metode yang sangat rumit. Indeks kepuasan yang digunakan dalam Indonesian Customer Satisfaction Award atau ICSA misalnya, adalah contoh indeks kepuasan yang relatif kompleks. Indeks ini disusun berdasarkan formula yang melibatkan analisa mutivariate seperti multiple regression.
Metode yang sederhana untuk menyusun indeks adalah dengan menggunakan pengukuran langsung berdasarkan hasil jawaban terhadap pertanyaan kepuasan pelanggan. Dalam hal ini, untuk menghasilkan indeks, tidak diperlukan penggunaan rumus-rumus yang rumit atau analisa statistik tingkat lanjut. Jumlah pertanyaan dapat hanya satu pertanyaan seperti “bagaimanakah kepuasan Anda secara keseluruhan terhadap produk X atau pelayanan Y atau perusahaan Z”.
Bisa juga digunakan lebih dari satu pertanyaan. Misalnya, ditanyakan kepuasan secara keseluruhan terhadap masing-masing driver kepuasan pelanggan yaitu kepuasan terhadap produknya, terhadap pelayanannya dan terhadap value atau harga yang diberikan oleh perusahaan itu. Setelah itu, hasilnya kemudian dirata-rata dengan memperhatikan bobot dari masing-masing driver kepuasan pelanggan.
Skala yang digunakan untuk menghasilkan indeks kepuasan pelanggan biasanya adalah 4, 5,6,7 atau skala 10. Kriteria pertama dari skala yang baik adalah sensitivitas. Oleh karena itu, skala kurang dari 4, jarang digunakan karena kurang sensitif atau kurang mampu membedakan tingkat kepuasan dari pelanggan. Misalnya, penggunaan skala binomial yaitu dimana responden memberikan jawaban “puas” atau “tidak puas”, dirasakan kurang halus dalam membedakan antara responden yang agak puas, puas dan sangat puas.
Kriteria kedua adalah tingkat reliabilitas. Dalam hal ini, banyak studi menunjukkan bahwa skala 5 dan 7, seringkali mempunyai tingkat reliabilitas yang cukup tinggi. Dengan skala 5, maka kepuasan pelanggan dibagi menjadi 5 kelompok yaitu respoden yang sangat tidak puas, tidak puas, netral, puas dan sangat puas. Tak mengherankan, skala 5 dan 7, adalah skala yang relatif favorit dalam pengukuran kepuasan pelanggan.
Skala 4 dan 6, biasanya disukai untuk para peneliti kepuasan pelanggan yang menggunakan “mailing” sebagai cara untuk mengumpulkan data. Dengan skala ini, tidak ada skor nilai tengah atau titik netral. Hal ini dimaksudkan untuk menghindari kecenderungan responden yang asal isi dan memilih skor tengah dari skala yang digunakan.
Beberapa model pengukuran kepuasan pelanggan menggunakan skala 1-10. Dengan skala ini, tidak diberikan nama untuk setiap skala tetapi hanya kedua ujungnya saja yaitu skor 1 adalah sangat tidak puas dan skor 10 adalah sangat puas. Kelebihan dari skala ini adalah tingkat sensitivitasnya yang tinggi. Kelemahannya, responden, terutama yang tingkat pendidikannya tidak tinggi, akan mengalami kesulitan dalam memilih dan seringkali membutuhkan waktu yang lebih lama dibandingkan skala lainnya.
Lalu bagaimana indeks dihasilkan ? Bila skala 1-5 digunakan, peneliti dapat menghasilkan indeks dalam bentuk mean atau rata-rata. Penggunaan indeks dengan nilai rata-rata ini sederhana tetapi kurang komunikatif dalam prakteknya. Bagaimana CEO dapat memberikan interpretasi bahwa tingkat kepuasan dari perusahaannya adalah 3.6 dari skala 1-5 ? Apakah artinya ? Karyawan akan sangat sulit untuk memahaminya. Padahal, salah satu cara untuk membuat indeks ini berharga adalah dengan mengomunikasikan kepada seluruh karyawan agar mereka tahu posisi perusahaan mereka dalam hal tingkat kepuasan pelanggan.
Karena itu, seringkali digunakan indeks dalam bentuk top two boxes index yaitu jumlah responden yang memberikan jawaban puas atau sangat puas. Jadi, bila indeks top two boxes menyatakan angka 80% maka dapat di-interpretasikan bahwa jumlah pelanggan yang terpuaskan adalah sebanyak 80% dan yang belum terpuaskan adalah 20%. Indeks semacam ini , lebih mudah dikomunikasikan. Bila skala yang digunakan adalah 1-7, bias digunakan indeks top three boxes yaitu penjumlahan dari jumlah responden yang menjawab skor 4, 5 dan 6.
Dalam situasi yang sangat kompetitif ini, perusahaan seringkali tertarik melihat jumlah responden yang hanya benar-benar puas atau delighted customer. Mengapa? Karena kelompok inilah yang ternyata benar-benar loyal. Mereka yang hanya puas, tingkat loyalitasnya ternyata hanya sedang. (www.marketing.co.id)

Kesehatan Karyawan Menjadi Prioritas

http://www.research.marketing.co.id/2011/10/07/kesehatan-karyawan-menjadi-prioritas/


Survei Towers Watson menemukan sebagian besar organisasi multinasional memandang kesehatan karyawan sebagai prioritas yang lebih tinggi dalam beberapa tahun ke depan.
Guna menghadapi biaya kesehatan yang meningkat dan kekhawatiran mengenai kesehatan karyawan, mayoritas organisasi multinasional berencana menempatkan skema kesehatan karyawan dan kesejahteraan karyawan mereka secara keseluruhan sebagai prioritas yang lebih tinggi, dalam beberapa tahun ke depan. Begitulah garis besar hasil survei yang dilakukan oleh Towers Watson—sebuah perusahan global servis profesional—terhadap 149 perusahaan multinasional yang mewakili 5,2 juta karyawan di 37 negara, termasuk negara maju dan negara berkembang, di seluruh dunia.
Berdasarkan survei tersebut, 75% responden menyatakan bahwa kesehatan karyawan akan lebih menjadi prioritas pada tahun 2011 dan 2012, sementara 87% akan melakukan hal yang sama dalam tiga hingga lima tahun mendatang—di tahun 2013–2015.
Meskipun demikian, hanya 33% dari responden mengaku telah memiliki strategi kesehatan global (naik dari 26% dibandingkan hasil survei tahun lalu); 47% responden menyatakan berencana mengadopsi strategi tersebut dalam satu hingga dua tahun mendatang; sementara 21% responden mengungkapkan tidak memiliki rencana untuk meningkatkan strategi global kesehatan karyawannya (gambar 2). Organisasi multinasional Asia-Pasifik memiliki risiko tertinggal; hanya 23% dari organisasi multinasional yang memiliki headquarter di Asia-Pasifik memiliki strategi kesehatan global.

Andrew Heard, Managing Director Asia Pacific Benefits Towers Watson, menyatakan, “Perawatan pencegahan masih merupakan hal yang baru mulai tumbuh di Asia-Pasifik. Dalam sejarah, perusahaan-perusahaan Asia telah mengadopsi langkah yang relatif perlahan dalam menangani kesehatan karyawan. Sebagai contoh, mereka mengimplementasikan program pemeriksaan risiko kesehatan, tetapi tidak menindaklanjuti dengan strategi jangka panjang. Tidak heran jika usaha-usaha ini mencapai kesuksesan yang tidak biasa. Walau begitu, dengan organisasi multinasional di sekitarnya mulai mengatasi masalah kesehatan dan kesejahteraan secara keseluruhan, perusahaan Asia diprediksikan akan mengikuti tren ini.”
Hal tersebut serupa dengan keadaan di Indonesia. “Perusahaan-perusahaan di sini juga sudah melakukan screening kesehatan, tapi belum ada follow up. Itu pun berlaku di perusahaan yang tergolong perusahaan global, masih jarang di perusahaan lokal. Biasanya mereka bergerak di bidang oil & gas dan consumer goods,” kata I Gede Eka Sarmaja, Director of Benefits Indonesia Towers Watson.
Tujuan dan Hambatan
Alasan organisasi multinasional memberikan penekanan lebih besar terhadap strategi kesehatan karyawan berbeda-beda, berdasarkan wilayah operasinya. Ketika diminta memberikan tiga tujuan yang paling penting dari strategi kesehatan mereka, secara global, lebih dari separuh (54%) responden menjawab strategi kesehatan mereka merupakan bentuk kepedulian terhadap kesehatan karyawan, ketahanan tubuh, serta manajemen stres. Di antara responden Asia-Pasifik, 62% memilih penghargaan yang kompetitif sebagai satu dari tiga tujuan paling penting (gambar 4). Hal tersebut mencerminkan tingginya kompetisi dalam pasar tenaga kerja di sebagian besar wilayah.
“Bersamaan dengan bisnis yang terus menarik perusahaan multinasional top di seluruh dunia dan bisnis lokal yang tumbuh dan bersaing di area global, banyak negara di Asia mengalami peningkatan tajam dalam permintaan tenaga kerja,” ujar Heard. Lanjut dia, dalam konteks ini, program-program kesehatan merupakan hal yang membedakan pemberi tenaga kerja yang baik, dan tidak mengherankan jika perusahaan-perusahaan di Asia memandang program kesehatan mereka sebagai cara untuk menarik dan mempertahankan karyawan-karyawan unggulan/paling berbakat.
Selain itu, biaya juga masih merupakan faktor penghambat dalam strategi kesehatan karyawan: 52% dari seluruh responden dan 42% dari responden Asia-Pasifik menilai pengendalian peningkatan biaya kesehatan sebagai objektif strategi kesehatan global mereka (gambar 4).
Pada umumnya, perusahaan multinasional di Asia kesulitan dalam membuat bisnis untuk membangun strategi kesehatan global—67% dari responden Asia-Pasifik menyatakan bahwa kesehatan global bukan prioritas saat ini. Seperti wilayah sekitar lainnya, perusahaan multinasional Asia-Pasifik juga kesulitan dengan kurangnya sumber daya, termasuk anggaran dan staf. Survei juga mencatat bahwa 44% dari perusahaan multinasional Asia-Pasifik—persentase tertinggi dari semua wilayah sekitarnya—mengatakan bahwa strategi kesehatan global mereka tidak dikomunikasikan sama sekali, atau hanya dikomunikasikan sebagian kecil kepada para pemimpin regional atau lokal.
“Data yang baik, penerapan yang terbukti, serta komunikasi yang kuat kepada para pemimpin regional dan lokal penting untuk menunjukkan kasus bisnis di balik strategi kesehatan global dan mendapatkan persetujuan dari pemimpin senior. Persetujuan tersebut kemudian menjamin bahwa strategi kesehatan memainkan peran yang tepat dalam organisasi keseluruhan dan program reward ini berkelanjutan,” kata Heard. Dia menambahkan bahwa hambatan yang teridentifikasi oleh perusahaan multinasional Asia-Pasifik dalam survei—termasuk kurangnya data, kurangnya sumber daya, dan komunikasi yang buruk—akan sulit untuk diatasi tanpa strategi perspektif yang luas.
Dalam tiga tahun ke depan, perusahaan multinasional akan semakin bergantung pada peraturan global untuk program manfaat perawatan kesehatan mereka. Pengelolaan data, dukungan pihak ketiga, dan penawaran program pencegahan dan kesehatan adalah bagian yang kemungkinan besar muncul di bawah beberapa jenis pemerintahan global di organisasi responden.
Bagaimana dengan di Indonesia? Mungkin sudah saatnya perusahaan-perusahaan lokal di Indonesia lebih serius mempertimbangkan untuk mengadopsi strategi kesehatan global bagi karyawan di perusahaan mereka untuk mengoptimalkan manfaat dana perawatan kesehatan, mengontrol biaya yang dikeluarkan, juga meningkatkan produktivitas karyawan. (www.marketing.co.id/Hanantiwi Adityasari)

Tuesday, January 17, 2012

Menggoyang Tungku Berkaki Tiga

http://robertusarian.wordpress.com/tag/permenkes-no-755menkesperiv2011/



Latar Belakang.  Permenkes no. 755/MENKES/PER/IV/2011 mengenai Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit baru saja terbit. Tulisan ini akan membahas dan memberikan sedikit pandangan mengenai peraturan baru ini. Tulisan ini dibuat dalam latar belakang rumah sakit swasta non pendidikan.
Pendahuluan. Sungguh mengesalkan bila sebuah peraturan yang mengubah prinsip dasar datang ketika peraturan sebelumnya baru saja diimplementasi dengan investasi tidak sedikit. Menjadi sedikit menghibur, apabila lahirnya permenkes baru ini adalah bukti kinerja kementerian kesehatan dalam mengusahakan perlindungan dan keselamatan masyarakat atas kinerja staf medis. Hanya saja, perubahan mendadak mengesankan kurang matangnya regulasi sebelumnya, dan memberatkan rumah sakit. Rumah sakit besar serupa kapal besar dan berat. Konsekuensinya adalah pergerakan menjadi sangat lambat. Tiap perubahan mendasar dibuat dengan investasi tenaga dan waktu yang besar. Peraturan menteri ini datang tiba-tiba dan walaupun dengan judul “Penyelenggaraan Komite Medik di Rumah Sakit”, namun isinya mengubah berbagai hal penting dalam penyelenggaraan organisasi rumah sakit secara mendasar. Mengapa demikian? Mari kita telaah satu demi satu.
Menganulir Tiga Keputusan Menteri Kesehatan. Peraturan menteri kesehatan ini terkesan “hanya” mengurus komite medik. Ternyata tidak. Pasal 20 yang menyatakan bahwa ada tiga keputusan menteri kesehatan yang dinyatakan tidak berlaku seiring berlakunya peraturan menteri ini. Keputusan yang dinyatakan tidak berlaku adalah Kepmenkes 772/2002 mengenai pedoman internal rumah sakit (hospital bylaws/HBL) sepanjang mengenai pengaturan staf medis, Kepmenkes 496/2005 tentang pedoman audit medis, dan Kepmenkes 631/2005 mengenai pedoman penyusunan peraturan internal staf medis. Kepmenkes yang disebut terakhir saja isinya sangat panjang, kompleks, dan dianggap sebagai buku manual penyusunan komite medis di tiap rumah sakit. Kita akan melihat seberapa besar perubahan yang terjadi pada komite medis pada bagian-bagian lain tulisan ini.
Hospital Bylaws (HBL) dan Medical Staff Bylaws (MSBL)Hospital bylaws (HBL) mendapatkan definisi yang sama dengan keputusan menteri yang sebelumnya. HBL adalah aturan dasar mengenai penyelenggaraan rumah sakit dan meliputi peraturan internal korporasi (corporate bylaws/CBL) dan peraturan internal staf medis (medical staff bylaws/MSBL). Pada CBL terletak penjelasan mengenai konsep three-legged stool(tiga tungku sejerangan/tungku berkaki tiga) mengenai hubungan pemilik, pengelola, dan komite medik rumah sakit. MSBL, menurut permenkes baru, disusun komite medik dan disahkan direktur utama rumah sakit, bukan pemilik rumah sakit seperti pada kepmenkes sebelumnya. MSBL mengacu kepada CBL. Dalam permenkes baru ini, MSBL sekurang-kurangnya mencakup pendahuluan dan dua belas bab berikutnya. Dalam kepmenkes yang lalu penyusunan MSBL juga dipilah ke dalam dua belas bab, namun lebih banyak mekanisme teknis dan mengatur mengenai staf medis. Dalam permenkes baru, MSBL bisa menjadi lebih ramping namun berbobot karena pembagian bab langsung mengacu kepada fungsi komite medis.
Definisi Komite Medis. Komite medis menurut pasal 5 permenkes baru merupakan organisasi non struktural yang dibentuk di rumah sakit oleh direktur utama dan bukan merupakan wadah perwakilan dari staf medis. Definisi ini bertolak belakang dengan definisi komite medis pada kepmenkes sebelumnya yang menyatakan bahwa komite medis adalah wadah profesional medis yang keanggotaannya berasal dari ketua kelompok staf medis atau yang mewakili. Menilik definisi, siapakah anggota komite medik? Menurut pasal 6, 7, dan 8, komite medis dibentuk oleh direktur rumah sakit, sekurang-kurangnya terdiri dari ketua, sekretaris, dan subkomite. Keanggotaan ditunjuk langsung oleh direktur utama, baik persona maupun jumlahnya. Ketua komite medik langsung ditunjuk direktur utama dengan memperhatikan masukan dari staf medis. Sekretaris dan ketua-ketua subkomite ditetapkan direktur utama menurut rekomendasi ketua komite medik dengan memperhatikan masukan staf medik.
Subkomite. Lain dengan kepmenkes sebelumnya, keanggotaan komite medik seperti diatur pada permenkes baru ini langsung dimasukkan ke dalam tiga subkomite, yaitu kredensial, mutu profesi, dan etika dan disiplin profesi. Pembagian ini benar-benar langsung merujuk pada tugas komite medik seperti dijelaskan pada pasal 11, yaitu melakukan kredensial, memelihara mutu profesi staf medis, dan menjaga disiplin, etika, dan perilaku profesi staf medis. Ketiga tugas tersebut diimplementasikan lebih konkret dalam beberapa fungsi.
Kelompok Staf Medis. Berbeda dengan Kepmenkes 631/2005 yang memberikan fungsi besar pada kelompok staf medis (KSM), pada permenkes baru ini KSM hanya disebut satu kali pada saat pembahasan mengenai kredensial dan satu kali lagi pada lampiran bab kedua permenkes mengenai organisasi komite medik. Tertulis jelas bahwa kelompok staf medis (atau departemen klinis) diorganisasi langsung oleh direktur rumah sakit. Dengan ini, ditegaskan kembali bahwa komite medis bukan wadah perwakilan kelompok staf medis seperti definisi pada Kepmenkes 631/2005. Pada kepmenkes yang lalu, pengorganisasian staf medis dalam kelompok staf medis mendapatkan porsi panduan yang besar.
Subkomite. Pada dasarnya, tidak ada perubahan bermakna pada tugas subkomite. Hanya saja, pada Kepmenkes 631/2005 terdapat subkomite audit medis dan subkomite peningkatan mutu profesi medis. Dalam permenkes baru ini, audit medis adalah salah satu fungsi subkomite mutu profesi medis. Terdapat panduan bagaimana memilih topik audit medis dan semacam panduan kerja dalam lampiran permenkes ini. Beberapa peran subkomite juga memiliki titik berat berbeda dengan pedoman survei akreditasi rumah sakit versi yang sekarang masih berlaku. Misalnya mengenai kredensial. Kredensial dalam pedoman survei akreditasi rumah sakit menitikberatkan pada “memasukkan” staf medis ke dalam kelompoknya, namun pada kepmenkes yang lama dan permenkes yang baru, kredensial menitikberatkan pada penilaian dan pemberian kewenangan klinis yang khas. Kewenangan klinis pada permenkes baru ini terkesan sama dengan buku pedoman kredensial yang ditetapkan oleh PERSI.
Lain-lain. Permenkes baru ini mencegah terlalu banyaknya campur tangan komite medis dalam manajemen rumah sakit secara umum. Salah satu peran yang tidak direkomendasikan adalah pembuatan panitia-panitia dalam lingkup rumah sakit di bawah struktur komite medis, misalnya panitia keselamatan pasien, panitia rekam medis, dan panitia pengendalian infeksi rumah sakit. Permenkes baru ini mengatur bahwa panitia-panitia ini hendaknya dibentuk langsung oleh direktur utama dan bertanggung jawab langsung pada direktur utama.
Dampak pada rumah sakit swasta besar. Uraian sepanjang apapun tidak bermanfaat bila tidak kita refleksikan untuk rumah sakit. Berikut adalah beberapa hal yang saya catat berpengaruh untuk rumah sakit, khususnya rumah sakit swasta besar non pendidikan.
  1. Perlu penyusunan HBL, CBL, dan MSBL yang baru untuk menyesuaikan dengan peraturan menteri kesehatan ini.
  2. Regulasi baru ini membuat direktur utama lebih mudah “mengendalikan” komite medik. Ini dalam pengertian bahwa anggota dan pimpinan komite medik dipilih langsung oleh direktur dan ketua komite medik. Namun, pengendalian ini akan menjadi kekuatan semu apabila para staf medis yang dipilih oleh direktur utama bukanlah staf medis yang mempunyai “status terpandang” di antara staf-staf medis yang lain. Komite medik rawan menjadi boneka dalam keadaan seperti ini. Penetapan anggota dan pengurus komite medik harus sangat hati-hati dan memperhatikan masukan staf medis yang lain.
  3. Organisasi komite medik menjadi lebih ramping, lebih manageable. Tidak besar, berat, dan nggedibel. Ini akibat komite medik tidak perlu lagi mengurus kelompok staf medis dan segala konflik yang terjadi di antaranya, kecuali sudah masuk ke ranah etika dan disiplin profesi medis.
  4. Pengelompokan staf medis (kelompok staf medis) dengan keahlian serupa atau berkelompok dalam satu unit kerja dapat diintegrasikan pada kedua bidang di bawah direktur pelayanan medis. Misalnya, seluruh dokter IGD dan dokter jaga bangsal berada di bawah koordinasi bidang pelayanan medik. Contoh lain misalnya seluruh dokter radiologi dapat berada di bawah koordinasi bidang penunjang medik. Integrasi semacam ini memudahkan organisasi, pembinaan mutu, dan pendidikan berkelanjutan. Komite medik tidak perlu lagi membuatkan rencana pendidikan berkelanjutan, karena sudah direncanakan oleh kepala instalasi atau unit kerja terkait. Fungsi instalasi sebagai penyedia fasilitas dapat menjadi lebih nyata karena expert atau ahli dalam pemanfaatan fasilitas tersebut berada di bawah koordinator yang sama.
  5. Tumpang tindih antara komite medik, kelompok staf medis, dan panitia-panitia dalam rumah sakit dapat terhindarkan. Misalnya, audit medis, mortality review, dan keselamatan pasien. Ketiganya kadang saling berkaitan. Hasil audit medis dan mortality review dapat menjadi bahan laporan insiden. Contoh lain adalah kebijakan antibiotika benar-benar dapat menjadi wewenang panitia pengendalian infeksi (PPI). Dalam penentuan kebijakan antibiotika, PPI dapat mengangkat staf medis dengan keahlian di bidang tersebut untuk menjadi tim ahli tanpa harus merepotkan kerja sama di antara kelompok-kelompok staf medis.
Kesimpulan. Goyangan pada tungku berkaki tiga memang cukup banyak dengan adanya permenkes baru ini. Namun banyak hal terlihat lebih efisien. Pemilik, pengelola, dan staf medis harus diupayakan sinergis dalam CBL. Pelayanan medis sebagai core business atau pelayanan inti rumah sakit semakin nampak dalam hal pemberian kewenangan klinis, pengawasan mutu, dan pembinaan etika. Rumah sakit juga tidak terlalu repot dengan banyaknya struktur dan percabangan dalam struktur.
Disusun oleh dr. Robertus Arian D., dokter jaga IGD dan ruang perawatan sekaligus sekretaris komite medis RS Panti Rapih Yogyakarta.

Tuesday, January 3, 2012

Agar Perempuan Bisa Menjadi Pebisnis Sukses

http://ciputraentrepreneurship.com/component/content/article/122-peluang-bisnis-perempuan/13992-agar-perempuan-bisa-menjadi-pebisnis-sukses.html
Rabu, 04 Januari 2012 11:18


Businesswoman


Data yang dilansir Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, Linda Gumelar, saat memperingati Hari Ibu ke-83 pada 22 Desember 2011 lalu menyebutkan, sebanyak 60 persen pelaku Usaha Kecil dan Menengah adalah perempuan. Hal ini menunjukkan bahwa perempuan saat ini bisa menjadi tenaga kerja potensial yang dapat berpartisipasi bagi pembangunan perekonomian bangsa.

Berkaitan dengan hal tersebut, perempuan dinilai memiliki 7 kriteria yang mumpuni untuk bisa menjadi entrepreneur sukses. Kriteria itu seakan sudah menjadi bakat alami atau bisa disebut juga DNA yang biasanya dimiliki oleh semua perempuan. Lalu, bagaimana caranya merealisasikan ide menjadi sesuatu yang dapat membawa perempuan pada puncak kesuksesan?

Yakinkan diri.
Tanyakan pada diri sendiri, apakah Anda benar-benar ingin menjadi entrepreneur atau ingin memilih menjadi pekerja kantoran yang profesional. Bila memang passion Anda adalah entrepreneur maka fokuslah untuk mengembangkan ide atau impian menjadi realita yang membawa Anda pada kesuksesan.

Pilih bidang.
Setelah Anda yakin ingin menjadi entrepreneur, renungkan kembali bidang apa yang ingin dikembangkan menjadi bisnis. Jabarkan beberapa bidang dan pilih yang benar-benar sesuai dengan misalkan bakat, hobi atau cita-cita Anda.

Tambah wawasan.
Asah wawasan dan ketrampilan dengan memperluas cakrawala mengenai bidang bisnis yang akan Anda geluti. Wawasan di sini bukan hanya berkaitan dengan ketrampilan dasar bisnis yang bersifat formal tapi juga hal-hal non formal lain sesuai bidang bisnis Anda. Baca informasi sebanyak-banyaknya, ikuti pelatihan atau seminar untuk menambah relasi dan sebagainya.

Belajar membangun relasi secara efektif.
Pelajari cara membangun relasi yang efektif. Pemahaman wawasan seputar industri yang akan Anda lakoni memang sangat penting tapi ketika bisnis berjalan, Andapun membutuhkan jaringan yang bisa membantu mencapai kesuksesan. Anda butuh koneksi dan untuk menggapainya Anda harus memiliki jaringan.

Membangun jaringan tak hanya digunakan untuk memeroleh bantuan dari orang lain tapi juga menyalurkan ide serta aktivitas yang bisa Anda lakukan untuk membantu orang lain dan membangun kepercayaan.

Bekerja keras.
Sukses tak bisa diperoleh dengan mudah dan cepat. Kisah keberhasilan itu tak datang secara tiba-tiba tanpa usaha apapun. Butuh kerja keras di baliknya. Begitu pula halnya dengan cerita sukses Anda, harus dimulai dengan kerja keras dan penuh dedikasi.

Jangan takut bila di tengah perjalanan itu, Anda akan menemui kerikil tajam yang bisa sebabkan bisnis jatuh. Persiapan diri Anda dari sekarang akan kemungkinan-kemungkinan terburuk yang dapat saja terjadi sehingga ketika hal itu menimpa Anda, Anda bisa segera bangkit dengan menerapkan sejumlah solusi.